Ji'alah (Fikih)

Ji’alah

A. Pengertian
Ji’alah menurut Bahasa adalah “nama yang digunakan seseorang pada barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan.” Sedangkan menurut istilah syara’ ialah "Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan." Atau Secara istilah, menurut madzab Malikiyah, ju’alah adalah akad sewa (ijarah) atas semua manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan). Seperti halnya ucapan seseorang, barang siapa yang mempu menemukan mobil saya yang hilng, atau barang siapa yang mampu menggali sumur ini hingga mengalir airnya, maka ia berhak mendapatkan hadiah yang saya janjikan.
Atau dengan perkataan lain mengenai hal ini bahwa Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan oleh pihak yang kehilangan. Dapat dicontohkan bilamana ada seseorang yang kehilangan kuda, kemudian dia berkata, "Barangsiapa yang mendapatkan kudaku yang telah hilang dan dia kembalikan kepadaku, maka aku bayar sekian."
Hal ini sedikit berbeda dengan pemaknaan kata ji'alah yang ada di dalam kitab fatkhul qorib di atas dengan pemaknaan kata ji'alah di dalam kitab kifayatur akhyar edisi terjemah. Yang umum digunakan adalah kata ji'alah dengan pemaknaan sayembara, namun di dalam penerjemahan kitab kifayatul akhar yang digunakan adalah ja'alah dengan pemaknaan upahan. Di bawah ini akan dikutipkan penerjemahan yang ada di dalam kitab kifayatul akhyar.
Di dalam kitab kifayatul akhyar edisi terjemahan manyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ja'alah adalah mensyaratkan bila dapat dikembalikan binatangnya yang hilang, akan dibayar upahan yang tertentu. Maka barang siapa yang mengembalikan, dia berhak menerima upahan yang disyaratkan itu. Kata ja'alah boleh juga disebut dengan kata ji'alah. Sama halnya dengan pendapat yang berada di dalam kitab kifayatul akhyar, menurut al-Jazairi yang dikutip oleh Ismail Nawawi mengatakan bahwa, pengupahan atau ja'alah menurut bahasa adalah apa yang diberikan kepada seseoarng karena sesuatu yang dikerjakannya. Sedangkan pengupahan atau ji'alah menurut syari'at, menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui. Misalnya, seseoarang berkata "barang siapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapat uang sekian." Maka orang yang membangun tembok untuknya berhak atas hadiah yang ia sediakan, banyak atau sedikit.
Berbeda dengan ketiga penggunaan penetapan kata di dalam masing-masing kitab, di dalam kitab Bidayatul Mujtahid, mengenai pembahasan pada tema ini. Ji'alah ialah pemberian upah (hadiah) atas suatu manfa'at yang diduka bakal terwujud, seperti mempersyaratkan kesembuhan dari seorang dokter, atau kepandaian dari seorang guru, atau pencari/penemu hamba yang lari.
Akad Ju’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikannya, maka ia berhak mendapatkan upah atau hadiah. Secara harfiah, ju’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Menurut ahli hukum (qonun), ju’alah diartikan dengan hadiah yang dijanjikan ketika seseorang berhasil melakukan sebuah pekerjaan.
Jialah juga bermakna menetapkan kebebasan bekerja pada orang yang disuruh yang nantinya akan diberi ganti/upah atas pekerjaannya dan gantinya itu sudah ditentukan. Contohnya: Sayembara.

B. Rukun Ji’alah
1. Adanya 2 orang yang berakad yaitu Ja'il dan 'Amil.
a. Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas
b. 'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu orang-orang tertentu (bebas).
2. Shighat. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.
3. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang memiliki harta dalam sayembara tersebut).
4. Upah. Harta yang wajib diberikan oleh ja'il kepada 'amil.
Jika orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, "Siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri uang sekain." kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya

C. Yang Membatalkan Ji’alah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ju’alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ju’alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalakan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan. Atau dengan kata lain, masing-masing pihak boleh menghentikan (membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.

D. Landasan Syari’ah
Menurut madzab Hanafiyah, akad ju’alah tidak diperbolehkan, karena mengandung unsur gharar di dalamnya. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini ketika dianalogkan dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama’ Hanafiyah yang meperbolehkannya, dengan dasar istihsan (karena ada nilai manfaat).
Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, dan hanabilah, secara syar’i, akad ju’alah diperbolehkan. Dengan landasarn kisah Nabi Yusuf beserta saudaranya.Firman Allah:
       
Artinya: ”Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta.” (Q.S Yusuf : 72)
Begitu juga dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali Imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri. Suatu ketika sahabat Rasulullah mendatangkan sebuah perkampungan Arab. Namun mereka tidak dilayani layaknya seorang tamu. Tiba-tiba pemimpin merka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul meng-iya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca al-Fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulullah, maka Rasulullah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.

E. Kesimpulan
Ji’alah menurut Bahasa adalah “nama yang digunakan seseorang pada barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan.” Sedangkan menurut istilah syara’ ialah "Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan."
Rukun ji’alah ialah;
1. Adanya 2 orang yang berakad yaitu Ja'il dan 'Amil.
2. Shighat.
3. Pekerjaan
4. Upah
Masing-masing pihak boleh menghentikan (membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.
Landasan diperbolehkannya ji’alah sebagaimana di dalam al-Qur’an,
       
Artinya: ”Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta.” (Q.S Yusuf : 72).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Amar, Imron, 1983. Terjemah Fathul Qarib, Menara Kudus, Kudus.
AlHusain, Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad, 2003. Terjemah Kifayatul Akhyar, CV Bina Ilmu, Surabaya.
As-Syarbaji, Ali, 2005. Fiqih Manhaji as-Syafi'I, Darul Qolam, Damsyik.
Nawai, Imam. 2000, Tausyeh, Hidayah, Banten.
Nawawi, Ismail. 2009, Fiqih Muamalah, Wirajaya Multipress, Surabaya.
Rasjid, H. Sulaiman, 1994. Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung.
Rusyd, Ibnu, 1989 Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta.
Zuhaili, Wahbah, 1989. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid IV, Darul Fikr, Damaskus.

Read More..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kritik Matan Mengenai hadist 2 kewajiban mendasar

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur'an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus dilakukan
Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur'an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujah. Hadis ada yang dapat dipakai, ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis.
Melalui makalah ini penulis mencoba menganalisa ke-shahih-an hadits dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib mengenai "Dua kewajiban yaitu bagi seseorang yang meninggal dalam keadaan musyrik (menyekutukan Allah SWT) maka ia masuk neraka dan bagi seseorang yang meninggal dalam keadaan tidak musyrik (tidak menyekutukan Allah SWT) maka ia akan masuk surga".

B. Fokus Masalah
1. Meneliti matan dengan terlebih dahulu melihat kualitas sanadnya.
2. Meneliti susunan redaksional matan hadis-hadis yang semakna.
3. Meneliti kandungan makna matan hadits.
4. Langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan.

PEMBAHASAN
I. KRITIK MATAN
A. Makna Kritik Matan
Kata “kritik” dari bahasa Yunani krites, artinya “seorang hakim, krinein berarti “menghakimi”, kriterion berarti “dasar penghakiman”. Dalam konteks tulisan ini kata “kritik” dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi hadis. Dalam literatur Arab kata “an-naqd” dipakai untuk arti “kritik”, atau “memisahkan yang baik dari yang buruk.” Kata “an-naqd” ini telah digunkan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua Hijriah, hanya saja istilah ini belum populer di kalangan mereka. Kata “an-naqd” memiliki pengertian yang sama dengan kata TAMYIZ yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain.
Dari pengertian kata kritik di atas, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak.

B. Tujuan Kritik Matan
Untuk mendapatkan data teks hadits yang mempetahankan formula kesahihan redaksi dan makna, dengan mengeliminir unsur sisipan, tambahan yg mengganggu dan pertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat.

C. Kerangka Metodologi
1) secara prinsip, acuan kritik matan adalah kaidah kesahihan hadits
2) kritik sanad merupakan langkah awal bagi kritik matan
3) meneliti apakah pada matan itu terdapat syudzudz dan atau illat

Langkah metodologis kritik matan :
• Pertama, meneliti matan dengan terlebih dahulu melihat kualitas sanadnya
• Kedua, meneliti susunan redaksional matan hadis-hadis yang semakna
• Ketiga, meneliti kandungan makna matan hadis
• Keempat, langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan.

Tujuan penelitian redaksi matan adalah:
a) mewaspadai gejala Idraj (sisipan kata)
b) mewaspadai gejala Taqlib (pindah tata letak kata)
c) mewaspadai gejala Idhtirab (kekacauan atau rancu)
d) mewaspadai gejala Tashif atau tahrif (perubahan)
e) mewaspadai gejala Ziyadah (penambahan anak kalimat)
f) mewaspadai gejala reduksi (penyusutan). Yang berakibat terjadinya tafarrud atau syudzudz.

II. HADITS YANG DI-TELAAH

و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُوجِبَتَانِ فَقَالَ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّار

َ

Redaksi matan yang semakna ditemukan pada :
1. Redaksi matan dengan menggunakan الموجبتان
Riwayat Imam Muslim
 وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب قالا حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر قال : أتى النبي صلى الله عليه و سلم رجل فقال يا رسول الله ما الموجبتان ؟ فقال من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة ومن مات يشرك بالله شيئا دخل النار
[ ش ( الموجبتان ) معناه الخصلة الموجبة للجنة والخصلة الموجبة للنار]

Riwayat Imam Ahmad bin Hambal
 حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا الْمُبَارَكُ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيُّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُوجِبَتَانِ مَنْ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ مُشْرِكٌ دَخَلَ النَّارَ

 حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُوجِبَتَانِ قَالَ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ دَخَلَ النَّارَ

 حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَرَسَ غَرْسًا فَأَكَلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ طَيْرٌ أَوْ سَبُعٌ أَوْ دَابَّةٌ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُوجِبَتَانِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ

 حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا النضر بن إسماعيل أبو المغيرة ثنا بن أبي ليلى عن أبي الزبير عن جابر قال : أتى النبي صلى الله عليه و سلم رجل فقال يا رسول الله أي الصلاة أفضل قال طول القنوت قال يا رسول الله وأي الجهاد أفضل قال من عقر جواده وأريق دمه قال يا رسول الله أي الهجرة أفضل قال من هجر ما كره الله عز و جل قال يا رسول الله فأي المسلمين أفضل قال من سلم المسلمون من لسانه ويده قال يا رسول الله فما الموجبتان قال من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة ومن مات يشرك بالله شيئا دخل النار

 حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد أنا المسعودي عن الركين بن الربيع عن رجل عن خريم بن فاتك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : الأعمال ستة والناس أربعة فموجبتان ومثل بمثل وحسنة بعشر أمثالها وحسنة بسبعمائة فأما الموجبتان فمن مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة ومن مات يشرك بالله شيئا دخل النار وأما مثل بمثل فمن هم بحسنة حتى يشعرها قلبه ويعلمها الله منه كتبت له حسنة ومن عمل سيئة كتبت عليه سيئة ومن عمل حسنة فبعشر أمثالها ومن انفق نفقة في سبيل الله فحسنة بسبعمائة وأما الناس فموسع عليه في الدنيا مقتور عليه في الآخرة ومقتور عليه في الدنيا موسع عليه في الآخرة ومقتور عليه في الدنيا والآخرة وموسع عليه في الدنيا والآخرة

 حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو النضر ثنا المسعودي عن الركين بن الربيع عن أبيه عن خريم بن فاتك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : الأعمال ستة والناس أربعة فموجبتان ومثل بمثل والحسنة بعشر أمثالها والحسنة بسبعمائة فأما الموجبتان من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة ومن مات يشرك بالله شيئا دخل النار وأما مثل بمثل فمن هم بحسنة حتى يشعرها قلبه ويعلم الله عز و جل ذلك منه كتبت له حسنة ومن عمل سيئة كتبت عليه سيئة ومن عمل حسنة كتبت له بعشر أمثالها ومن أنفق نفقة في سبيل الله فحسنة بسبعمائة والناس أربعة موسع عليه في الدنيا مقتور عليه في الآخرة وموسع عليه في الآخرة مقتور عليه في الدنيا وموسع عليه في الدنيا والآخرة ومقتور عليه في الدنيا والآخرة
2. Redaksi matan bahwa sabda Rasulullah SAW من مات يشرك بالله شيئا دخل النار
Riwayat Imam Muslim
 حدثنا محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا أبي ووكيع عن الأعمش عن شقيق عن عبدالله ( قال وكيع قال رسول الله صلى الله عليه و سلم وقال ابن نمير سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم ) يقول : من مات يشرك بالله شيئا دخل النار وقلت أنا ومن مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة

Riwayat Imam Bukhori
 حدثنا عمر بن حفص حدثنا أبي حدثنا الأعمش حدثنا شقيق عن عبد الله رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( من مات يشرك بالله شيئا دخل النار ) . وقلت أنا من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة
Riwayat Imam Ahmad bin Hambal
 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَلِمَةً وَقُلْتُ أُخْرَى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئاً دَخَلَ النَّارَ ». وَقُلْتُ مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئاً دَخَلَ الْجَنَّةَ

3. Redaksi matan bahwa sabda Rasulullah SAW مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئاً دَخَلَ الْجَنَّةَ
Riwayat Imam Ahmad bin Hambal
 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَلِمَةً وَقُلْتُ أُخْرَى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئاً دَخَلَ الْجَنَّةَ ». قَالَ وَقُلْتُ أَنَا مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئاً دَخَلَ النَّارَ

 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئاً دَخَلَ الْجَنَّةَ ». قَالَ وَقُلْتُ مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئاً دَخَلَ النَّار

 حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو معاوية ثنا الأعمش عن شقيق عن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : كلمة وقلت أخرى قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة قال وقلت أنا من مات يشرك بالله شيئا دخل النار

 حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو معاوية ثنا الأعمش عن شقيق عن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة قال وقلت من مات يشرك بالله شيئا دخل النار

SKEMA SANAD

ANALISA SINGKAT SANAD

Ditinjau dari segi kualitas perowi, hadits ini merupakan hadits ahad. Pada thobaqot pertama termasuk hadits ahad masyhur karena diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yaitu sahabat Jabir bin Abdullah bin Amr bin Hiram, Abdullah bin Mas'ud bin Ghafil bin Habib serta Khorim bin Fatik. Pada thobaqot kedua yaitu pada tingkatan tabi'in juga merupakan hadits ahad masyhur karena diriwayatkan lebih dari tiga orang yaitu tujuh orang diantaranya Syaqiq bin Salmah, Tholhah bin Nafi', Muhammad bin Muslim bin Tadris, Bakar bin Abdullah, ar-Rabi' bin 'Amilah serta Isim Mubham. Pada thobaqot ketiga yaitu pada tingkatan tabi'it tabi'in juga merupakan hadits ahad masyhur karena diriwayatkan oleh empat orang yaitu Sulaiman bin Mahran, Muhammad bin Abdur Rahman bin Abi Laila, Mubarok bin Fudholah bin Abi Umaiyyah serta Rakin bin ar-Rabi' bin 'Amilah. Pada thobaqot keempat yaitu pada tingkatan tabi'it tabi'it tabi'in juga merupakan hadits ahad masyhur karena diriwayatkan oleh tujuh orang yaitu Hafs bin Ghiyats bin Thalq, Abdullah bin Numair, Waki', Muhammad bin Khozim, an-Nadhor bin Isma'il bin Hazim, Hasyim bin al-Qosim bin Muslim bin Muqsam serta Abdur Rahman bin Abdillah bin 'Utbah bin Abdullah bin Mas'ud. Pada thobaqot kelima yaitu pada tingkatan tabi'it tabi'it tabi'in kebawah juga merupakan hadits ahad masyhur karena diriwayatkan oleh enam orang yaitu Umar bin Hafs bin Ghiyas, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Muhammad bin Abdil 'Ila' bin Kuraib, Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin Ghiyas, Yazid bin Harun serta Ahmad bin Hambal. Sedang pada thobaqot keenam merupakan hadits ahad masyhur karena hanya diriwayatkan oleh dua orang yaitu al-Bukhori, Abdullah serta Muslim bin al-Hujjaj.
Sedangkan jika ditinjau dari segi kualitas sanad, hadits ini kami asumsikan sebagai hadits shahih.


ANALISA REDAKSI MATAN

1. Analisa Pertama
Riwayat Imam Muslim
 وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب قالا حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر قال : أتى النبي صلى الله عليه و سلم رجل فقال يا رسول الله ما الموجبتان ؟ فقال من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة ومن مات يشرك بالله شيئا دخل النار

Riwayat Imam Ahmad bin Hambal
 حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا الْمُبَارَكُ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيُّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُوجِبَتَانِ مَنْ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ مُشْرِكٌ دَخَلَ النَّارَ
Kritik:
Pada riwayat Imam Muslim menggunakan redaksi مَاتَ (meninggal) sedangkan pada riwayat Imam Ahmad bin Hambal dengan redaksi لَقِيَ (bertemu) kedua hadits tersebut meskipun dengan menggunakan redaksi yang berbeda itu tetap bisa dikompromikan karena artinya tidak bertentangan.

2. Analisa Kedua
Riwayat Imam Muslim
 وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب قالا حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر قال : أتى النبي صلى الله عليه و سلم رجل فقال يا رسول الله ما الموجبتان ؟ فقال من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة ومن مات يشرك بالله شيئا دخل النار

 حدثنا محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا أبي ووكيع عن الأعمش عن شقيق عن عبدالله ( قال وكيع قال رسول الله صلى الله عليه و سلم وقال ابن نمير سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم ) يقول : من مات يشرك بالله شيئا دخل النار وقلت أنا ومن مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة
Riwayat Imam Ahmad bin Hambal
 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَلِمَةً وَقُلْتُ أُخْرَى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئاً دَخَلَ الْجَنَّةَ ». قَالَ وَقُلْتُ أَنَا مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئاً دَخَلَ النَّارَ

Kritik :
Kedua hadits yang pertama sama-sama riwayat Imam Muslim, akan tetapi hadits pertama menggunakan redaksi مَا الْمُوجِبَتَانِ sehingga ketika nabi ditanya beliau menjawab
مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ .
Pada hadits kedua sabda Rasulullah hanya مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ sedangkan مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ merupakan tambahan atau ucapan dari sahabat. Pada hadits ketiga, hadits riwayat Imam Ahmad bin Hambal, Rasulullah bersabda sebaliknya yaitu مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ sedangkan مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ merupakan tambahan atau ucapan sahabat untuk menjelaskan maksudnya. Disini ada indikasi bahwa nabi bersabda مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ dan diwaktu yang lain beliau juga bersabda مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ . Dari kedua sabda nabi tersebut oleh sahabat diformat menjadi satu dalam bentuk dialog dengan menggunakan kata tanya yaitu مَا الْمُوجِبَتَانِ. Sehingga pada hadits tersebut terdapat idraj (sisipan) yaitu redaksi مَا الْمُوجِبَتَانِ .
KESIMPULAN
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُوجِبَتَانِ فَقَالَ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّار

Pada hadits ini terdapat idraj (sisipan) sehingga hadits ini merupakan hadits mudraj yaitu pada redaksi مَا الْمُوجِبَتَانِ . Akan tetapi para ulama’ masih memberikan toleransi karena motif penyisipan ini hanya bertujuan untuk penjelas.

Idraj (sisipan) :
• Ialah sisipan kata /kalimat oleh perawi (sahabat), yang menyatu dengan matan asal, tanpa penyekat yang memisah, dan tanpa menunjuk perawi yang menyisipkan.
• Letak kata/kalimat yg disisipkan bisa di awal, tengah atau akhir.
• Motif memberi sisipan, adalah lebih didorong untuk kepentingan penjelasan lafadz yg gharib

Akibat idraj :
• Jika motif penyisipan hanya untuk tujuan penjelasan, maka sebagaian ulama masih memberikan toleransi
• Jika motif penyisipan tidak untuk tujuan penjelasan, maka dapat menggugurkan sifat Adalah bagi perawi (tertuduh berdusta)
• Hadits yang terbukti dimasuki sisipan, dinamakan Hadits Mudraj

Hadist ini merupakan matan yang maqbul artinya dapat diterima sehingga dapat dijadikan hujjah sebagaimana persyaratan matan maqbul menurut Al-Khatib Al-Baghdadi yaitu :
• Tidak bertentangan dengan akal sehat.
• Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muhkam.
• Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
• Tidak bertentangan dengan ijma’ ulama’
• Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti
• Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang lebih kuat

Diantara ayat al-Qur’an yang menerangkan bahwa orang yang syirik itu masuk neraka diantaranya :
• Surat al-Bayyinah ayat 6
•         •        
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.

• Surat al-Fath ayat 6
                    •    
Artinya :
Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang Amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam) Itulah sejahat-jahat tempat kembali.


Sedangkan ayat al-Qur’an yang meneerangkan bahwa orang yang tidak syirik masuk surga diantaranya :
• Surat an-Nisa’ ayat 122 dan 124
     •                  
            •    
Artinya :
122. Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah ?
124. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.

• Surat al-Mu’min ayat 40
                   •     
Artinya :
Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.


• Surat an-Nahl ayat 31
•                 
Artinya :
(yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang bertakwa

Read More..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Penjelasan Tentang Hadist mengenai sholat

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjadi suatu bentuk yang tidak bisa dilepaskan dari sisi kehidupan manusia sebagai insan ilahiyah untuk selalu merefleksikan diri dengan bentuk ibadah yang penuh dengan sarat, bukan hanya rutinitas belaka, yang mana menjadi suatu bentuk yang berbeda diantara ibadah yang lain. Sholat yang menjadi fokus pembahasan pada makalah ini yang mempunyai keunikan tersendiri, mulai dari pembahasan pra-sholat yaitu adzan sampai pada hal-hal yang menuntut kepada para pelaku untuk menjaga keshahan sholat itu sendiri.
Dalam langkah terbatah-batah, usaha dalam menjelaskan 11 hadist yang menjadi bagian dari penugasan, yang boleh dibilang sulit karena harus merujuk langsung pada kitab-kitab sumber, akhirnya terselesaikan yang walaupun tidak sesempurna yang telah ditargetkan oleh dosen pembimbing.
Bergelindang berbagai maksud dalam keterangan-keterangan 11 hadist yang menjadi objek inti yang bisa dikatakan mudah dipahami. Oleh karena itu, bila ada maksud yang tidak tersampai dalam bentuk yang tidak bisa dipahami merupakan menjadi suatu hal yang lumrah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana maksud hadist tentang amalan yang pertama diperthitungkan?
2. Bagaimana maksud tentang hadist yang menerangkan sholat adalah tiang agama?
3. Bagaimana maksud kafir dalam meninggalkan sholat?
4. Bagaimana maksud peniruan dalam adzan sholat dan larinya setan jika mendengarkan suara adzan?
5. Bagaimana maksud keutamaan sholat berjama’ah dari pada sendiri?
6. Apa maksud Rosul menyuruh orang mengumpulkan kayu?
7. Apa yang dimaksud pemalingan Allah dalam syaf-syaf?
8. Bagaimana maksud bolehnya memperpanjang bacaan yang tidak memberatkan?
BAB II
PEMBAHASAN

Hadist ke-1
أَخْبَرَنَا أَبُو دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا هَارُونُ هُوَ ابْنُ إِسْمَعِيلَ الْخَزَّازُ قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ حُرَيْثِ بْنِ قَبِيصَةَ قَالَ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ قَالَ قُلْتُ اللَّهُمَّ يَسِّرْ لِي جَلِيسًا صَالِحًا فَجَلَسْتُ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ فَقُلْتُ إِنِّي دَعَوْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُيَسِّرَ لِي جَلِيسًا صَالِحًا فَحَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَنْفَعَنِي بِهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ بصلاته فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرقَالَ هَمَّامٌ لَا أَدْرِي هَذَا مِنْ كَلَامِ قَتَادَةَ أَوْ مِنْ الرِّوَايَةِ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلُ بِهِ مَا نَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى نَحْوِ-النسانئ

Artinya: Abu Daud menceritakan kepada kami, ia berkata, "Harun (putra Ismail al-Khazzaj) telah menceritakan kepada kami, ia berkata, "menceritakan kepada kami yaitu Hammam dari Qatadah, Al-Hasan, Khuraist bin Qubaishah, ia berkata: saya datang ke Madinah, ia berkata, "Aku mengucapkan: Ya Allah permudahkanlah aku dalam tempat yang baik, maka ceritakan kepadaku dengan hadist yang pernah kamu dengar dari Rasulullah, semoga Allah memberikan manfaat kepadaku dengannya, ia berkata, "aku mendengar Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya yang pertama kali diperhitungkan pada seorang hamba adalah shalatnya, apabila shalatnya baik maka ia telah beruntung dan berhasil, namun apabila shalatnya rusak shalatnya rusak maka ia telah gagal dan rugi. (Hammam berkata: aku tidak mengetahui dari permasalahan ini dari ucapan Qatadah ataupun dari riwayat lain, "Apabila dalam shalat fardhunya belum sempurna, maka dikatakan: lihatlah, apakah ia mengerjakan (shalat-shalat) sunnah? Jika ia memiliki (shalat) sunnah maka (shalat-shalat) sunnah itu menyempurnakan yang fardhunya. Kemudian barulah diperhitungkan amal-amal fardhu yang lainnya seperti demikian. (HR. An-Nasa'i)
Implementasi
1. Ibadah shalat merupakan ibadah yang pertama kali diperhitungkan pada setiap hamba
2. Setiap hamba itu mempunyai kewajiban ibadah shalat dan tidak bisa gugur karena sebab apapun selama masih sadar (tidak hilang ingatan).
3. Semua amal itu tergantung pada pelaksanaan shalat. Allah tidak akan menerima puasanya orang yang meninggalkan shalat, tidak pula menerima hajinya, sedekahnya, jihad serta amal-amal lainnya. Sebagaimana dikatakan 'Aun bin Abdullah: sesungguhnya seorang hamba itu apabila masuk di dalam kuburnya, ia akan ditanya tentang shalatnya sebagai hal yang pertama kali ditanyakan kepadanya, jika ia sukses dalam hal it, maka akan dilihatlah amal lainnya, namun jika tidak maka amal lainnyatidak akan dilihat.
4. Ibadah shalat sunnah itu bisa menyempurnakan ibadah fardhu, jika dalam ibadah fardhunya belum sempurna.
Dalam Islam, shalat menempati kedudukan tertinggi dibandingkan ibadah apa pun. Ia merupakan tiang agama sebagaimana dalam hadist berikut.


Hadist ke-2
الصلاة عماد الدين فمن أقامها فقد اقام الدين ومن تركها فقد هدم الدين (رواه البيهقى)

Artinya: Shalat itu tiang agama, maka barang siapa yang meninggalkannya, sungguh ia telah merobohkan agama. (HR. Baihaqi)
Dari perumpamaan hadist di atas yang menyatakan bahwa perumpamaan sholat seperti tiang agama. Bukankah kita tahu bahwa atap itu jika tiangnya roboh, maka atap itu akan jatuh, sehingga tidak berfungsi tali pancang dan patoknya, jika tiang atap itu berdiri, barulah tali pancang dan patoknya itu berfungsi. Demikian juga halnya sholat dalam Islam.
Shalat itu merupakan pondasi dari segala macam amal ibadah kepada Allah karena ibadah shalat merupakan tendensi dimana setiap amal ibadah seseorang itu akan diterima, tatkala ibadah sholatnya telah sempurna sesuai dengan syariat agama Islam. Dan jika shalatnya masih belum sempurna bahkan ditolak, maka seluruh amal seseorang itu juga akan ditolak.
Maka shalat kita adalah akhir dari agama kita. Shalat itu adalah amal yang akan dipertanyakan kepada kita kelak di hari kiamat diantara amal-amal kita yang lain. Maka tidak ada lagi Islam dan tidak pula agama setelah tidak adanya shalat, sebab shalat itu adalah yang paling akhir yang menghilangkan Islam. Hal ini merupakan pendapat Imam Ahmad.
Implementasi
1. Orang yang beriman mendapat kewajiban dari Allah SWT yaitu untuk melakukan shalat.
2. Ibadah shalat merupakan pilar dari semua ibadah dan mempunyai tempat yang istimewa di banding ibadah lainnya.
3. kita harus menjalankan ibadah shalat sesuai dengan aqidah dan syari'ah yang benar sesuai dengan aturan agama Islam.

Hadist ke-3
Peringatan dari meninggalkan sholat dengan sengaja dan menunda dari waktunya dengan memandang remeh.
أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ قَالَ أَنْبَأَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ الْحُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَهْدَ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ- النسانئ
Dari Buraidah RA. Aku mendengar Rasululloh bersabda, janji yang ada diantara kita dan diantara mereka adalah sholat, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia sungguh telah kafir. HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasai dan at-Tirmidzi serta dinilai shohih olehnya dan juga oleh Ibnu Khibban al-Hakim.
Al-Hakim mengatakan “Kami tidak mengetahui hadist tersebut memiliki illat. Pengarang berkata: sekelompok dari kawanan sahabat dan tabi’in berpendapat “kafirnya orang yang meninggalkan sholat". Diantara ahlul fiqih yang mengatakan demikian ialah an-Nakhai, al-Hakam bin Ibnu Mubarok, dan Ishaq, serta aku katakan; dan sebagian ulama’ madzab Syafi’i.
فَقَدْ كَفَرَ: Orang yang meninggalkannya karena menentang dan mengingkari kewajibannya, maka sungguh ia telah kafir dan keluar dari agama serta wajib bagi imam untuk membunuhnya karena murtad kecuali jika dia masuk Islam.
Adapun dasarnya itu juga disebutkan dalam ayat Al-Qur'an:
        
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
Implementasi
1. Orang yang meninggalkan sholat fardu dengan sengaja hingga keluar waktunya, maka ia menjadi kafir murtad .
2. Merupakan dosa besar bagi orang-orang yang meniggalkan shholat fardu.
3. Orang-orang yang meninggalkan sholat fardu tidak akan mendapatkan rahmat dari Allah.

Hadist ke-4
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ (البخارى)
Artinya: menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf, dia berkata: Malik memberitahukan kepada kami dari Ibnu Syihab dari 'Atha' bin yazid al-Laitsi dari Abu Sa’id Al-khudri r.a. menceritakan hadist berikut., bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: ”Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh juru adzan.”
Setiap orang yang mendengar suara adzan disunnahkan mengikuti suara muadzin, cukup dengan suara yang dapat didengar oleh yang bersangkutan.
Dari hadist yang dipaparkan diatas menjelaskan bahwa setiap orang muslim yang mendengarkan suara adzan, maka dia harus menjawabnya. Dan ketika waktu muadzin mengucapkan Hayya’alatain, maka orang muslim yang mendengar itu mengucapkan Laa Haulaa Wa Laa Quwwata Illa Billahil ‘aliyyil ‘adzim.
Jawaban yang dilakukan oleh si pendengar dinamakan hikayatul adzan (meniru adzan), yaitu dengan cara menirukan semua lafaznya kecuali hanya ‘alash shalaah dan hayya ‘alal falaah. Maka jawaban masing-masing dari keduanya ialah dengan kalimat laa haula walaa quwwata illa billaah.
Hikmah jawaban ini adalah pihak pendengar ketika mendengar suara adzan itu bersegera menuju ke tempat shalat. Hal ini berarti ia memenuhi seruannya dengan ucapan dan perbuatannya, yaitu berwudlu dan berangkat ke masjid untuk berjama’ah. Mengingat dengan jawabannya itu si pendengar tidak bermaksud menirukan suara adzan untuk menyeru manusia, melainkan membangunkan perasaan khususnya, maka yang diucapkan adalah laa haula walaa quwwata illaa billaah. hal itu sebagai pengakuan atas ketidakmampuannya sekaligus dan sekaligus meminta pertolongan untuk beribadah melalui taufik rabbnya. Dengan demikian, si pendengar mendapat pahala dari bacaan hauqalahnya sebagai imbangan dari ucapan Hayya’alatain yang diucapkan oleh penjuru adzan.


Analisis Lafadz.
مِثْلَ مَا يَقُولُ, pengertian lahiriyah mumatsalah dalam ucapan atau meniru ucapan tidak disyaratkan sama dari seluruh segi, karena para Ulama’ telah sepakat bahwa orang yang menjawab tidak harus mengeraskan suara. Lain halnya dengan muadzin yang bertujuan memberitahukan kepada orang banyak, maka diperlukan suara yang keras. Sedangkan si pendengar dengan jawabannya bertujuan untuk berdzikir mengingat Allah dan menggugah perasaan khususnya, maka cukup dilakukan dengan perlahan-lahan.
Menurut riwayat Bukhari melalui Mu’awiyah ra. Disebutkan hadist serupa, yakni hal yang sama dengan hadist Abu sa’id, yaitu bahwa si pendengar meniru apa yang diucapkan oleh juru adzan dalam semua kalimatnya kecuali hayya’alatain. Karena ketika mu'adzin itu mengumandangkan hayya’alatain itu dijawab oleh pendengar dengan kalimat
laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Fadhlul qauli, dalam keutamaan mengucapkan jawaban adzan. Disebut sebagai keutamaan sebagaimana yang diterangkan dalam akhir hadist Umar r.a. disebutkan seperti berikut:
فإذَا قال السامع ذلك من قبله دخل الجنة
”Apabila si pendengar mengucapkan hal tersebut dengan tulus ikhlas dari dalam lubuk hatinya, niscaya ia masuk surga.” Dari keterangan hadist tersebut dapat dipaparkan bahwa terdapat beberapa keutamaan ketika kita menjawab bacaan adzan yang dikumandangkan oleh muadzin.
Implementasi
1. Disyariatkan menjawab suara muadzin dalam segala keadaan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang dalam keadaan suci dan berhadast, begitu pula orang yang haid dan orang mempunyai junub, sebab jawaban tersebut merupakan dzikrullah, sedangkan mereka berhak melakukan dzikir. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi orang yang sedang menunaikan hajat (buang air) dan orang yang sedang bersetubuh.
2. Hukum menjawab adzan ialah sunnat, karena para ulama' telah sepakat mengenainya.
3. Si pendengar mengganti hayya’alatain dengan hauqalatani.
4. Keutamaan ikhlas di dalam beramal. Diterimanya amal merupakan suatu anugerah yang besar sehingga membawa pelakunya masuk surga.

Hadist ke-5
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قُضِيَ النِّدَاءُ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ حَتَّى إِذَا قُضِيَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الْمَرْءُ لا يَدْرِي كَمْ صَلَّى (رواه بخاري)
Artinya: “Menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf, dia berkata: Malik memberitahukan kepada kami dari Abi Az-Zinad dari Al-A'raj diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Ketika adzan dikumandangkan, setan lari terbirit-birit sambil kentut sehingga dia tidak mendengar suara adzan. Ketika adzan telah selesai diperdengarkan ia muncul lagi dan pada saat iqamah diperdengarkan ia kembali lari terbirit-birit dan setelah iqamah selesai, ia muncul lagi dan membisikkan sesuatu ke dalam hati manusia untuk mencegah manusia khusuk dalam shalatnya dan membuatnya teringat segala sesuatu apa yang tidak dia ingat ketika belum mengerjakan shalat dan menyebabkan ia lupa berapa banyak rokaat shalatnya.”
Dalam hadist di atas menjelaskan bahwa dalam ibadah shalat itu tatkala adzan itu diperdengarkan, maka hendaklah bersegera shalat.
التَّثْوِيبُ makna asalnya ialah ucapan seorang muadzin dalam adzan shubuh, yaitu Ash Shalatu Khairum Minan Naum(sholat lebih baik daripada tidur). Akan tetapi, makna yang dimaksud dalam hadist ini adalah mengulangi seruan adzan, maksudnya iqamah. Hadist ini menceritakan tentang keutamaan adzan dan iqamah. Setiap kali dikumandangkan suara adzan dan iqamah, setan lari terbirit-birit menjauh sehingga tidak mendengar suara itu lagi. Setan juga selalu menggoda seseorang yang sedang shalat, sehingga orang itu teringat pada hal-hal yang sebelumnya dilupakannya. Kadang-kadang, seseorang yang hanyut dalam oleh godaan setan tidak menyadari jumlah rakaat shalat yang telah dikerjakannya. Akan tetapi, Nabi SAW telah memberi penangkal untuk menanggulanginya, yaitu tetap berpegang pada yang diyakininya. Setelah selesai shalatnya, lakukan sujud sahwi.

Hadist ke-6
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً- البخاري
Abdullah bin Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda: sembahyang berjama'ah lebih afdhal (utama) dari sembahyang sendirian dua puluh tujuh derajat (tingkat). (Bukhari, muslim) .
Makna keseluruhan
Menunaikan sholat berjama'ah di dalam masjid telah disyari'atkan karena banyak mengandung hikmah yang besar dan banyak keistimewaan, antara lain; pahala semakin bertambah, selaras banyaknya langkah yang terayun menuju masjid, terlebih lagi dalam malam yang gelap.
Di dalam berjama'ah terpadulah kerukunan diantara kaum muslim, hati mereka bersatu dalam naungan ubadah yang paling besar. Di dalamnya orang yang besar berdiri sejajar dengan orang yang kecil, orang kaya dengan orang yang miskin.
Analisis lafadz
Al-jama'ah menurut bahasa adalah suatu golongan atau suatu himpunan sesuatu, sedangkan menurut pengertian syara' ialah penghubung antara sholat makmum dan imam dan jumlahnya minimal terdiri atas imam dan makmum. Jumhur ulama' mengatakan bahwa sholat berjama'ah hukumnya sunnah muakkad.
Menurut Imam Ahmad, sholat berjama'ah itu berhukum wajib sebagaimana hadist yang artinya "tidak sekali-kali berani meninggalkannya kecuali orang-orang yang munafik.". al-Hafid Ibnu hajar al-Asqolani mengatakan bahwa sholat berjama'ah berpahala dua puluh tujuh kali lipat, khusus bagi sholat jahriyah (sholat yang bacaannya keras), sedangkan yang berpahala dua puluh lima kali lipat khusus bagi sholat sirriyah (sholat yang bacaannya pelan-pelan).
Implementasi
1. Sholat seorang diri hukumnya syah-syah saja.
2. Keutamaan sholat berjama'ah dan pahalanya yang diliipat gnadakan Allah.

Hadist ke-7
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاء-البخاري
Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw bersabda: Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh saya ingin menyuruh orang mengumpulkan kayu, kemudian saya suruh orang adzan untuk sembahyang, kemudian saya suruh orang yang mangimami orang-orang, dan aku pergi dengan beberapa orang untuk membakar rumah orang-orang yang tidak hadir sembahyang berjama'ah. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya. Andaikan seorang dari mereka mengetahui akan mendapat sepotong daging yang gemuk atau kaki kambing yang baik pasti mereka akan hadir sembahyang isya' dengan berjama'ah. (Bukhari, Muslim)
Rasulullah saw bersumpah dalam salah satu shalat ketika beliau merasa kehilangan orang-orang yang biasa mengikuti shalat berjama'ah. Beliau berniat akan melakukan suatu perkara besar untuk menghukum mereka atas ketidakhadirannya dalam shalat berjama'ah. Beliau berniat akan memerintahkan agar mengumpulkan kayu. Lalu beliau memerintahkan seorang lelaki untuk mengimami orang-orang sebagai pengganti dirinya, sementara beliau sendiri pergi menemui orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama'ah tersebut. Beliau akan membakar rumah-rumah mereka sebagai hukuman atas perbuatan mereka karena tidak menghadiri shalat berjama'ah.
Nabi saw mengulangi sumpahnya seraya menegaskan bahwa mereka yang tidak menghadiri shalat berjama'ah itu hanyalah mementingkan perkara duniawi. Seandainya mereka mengetahui bahwa dalam shalat berjama'ah itu mereka akan memperoleh bagian duniawi, niscaya mereka akan menghadiri shalat berjama'ah tersebut. Mereka melakukannya karena tujuan duniawi itu, bukan karena pahala akhirat serta kenikmatan yang ada padanya. Dalam hal ini terkandung kecaman yang pedas terhadap mereka yang tidak menghadirinya karena merka lebih suka menerima imbalan sesuatu yang tidak berharga daripada memperoleh pahala yang berlimpah dan kedudukan yang terhormat di hari kemudian.
Implementasi
1. Disyariatkan bersumpah dengan menyebut asma Allah, sekalipun tanpa diminta dengan tujuan menarik perhatian lawan bicara dan mengukuhkan hal yang akan dibicarakannya.
2. Boleh mengangkat seseorang menjadi imam, sekalipun ada orang yang lebih utama dari pada dirinya, bilamana hal ini mengandung maslahat.
3. Boleh menjatuhkan hukuman terhadap harta milik terdakwa, bukan pada badannya. Hal ini diakatakan oleh segolongan ulama dari kalangan mazhab Maliki, sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa sesungguhnya sanksi ini hanya berlaku pada zaman permulaan Islam, setelah itu tidak berlaku lagi.
4. Boleh mendahulukan ancaman dan peringatan sebelum menjatuhkan hukuman. Apabila kerusakan itu dapat dihindari dengan cara yang lebih ringan berupa peringatan maupun larangan keras, maka cukuplah menggunakan cara yang ringan tanpa hukuman yang lebih berat.
5. Imam yang resmi boleh menunjuk seseorang untuk mengimami orang-orang sebagai pengganti dirinya untuk sementara, apabila ia mempunyai kesibukan yang mendadak.

Hadist ke-8 & 9
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ- البخاري
Anas r.a. berkata: Nabi saw bersabda: Ratakan barisanmu, maka sesungguhnya meratakan barisan itu termasuk dalam menegakkan (menyempurnakan) shalat.
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ أَبِي الْجَعْدِ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ- البخاري

An-Nu’man bin Basyr ra. Berkata: Nabi saw bersabda: Hendaklah kalian meratakan barisanmu, atau jika tidak, maka Allah akan merubah wajahmu (Bukhari Muslim).
Pennjelasan
لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ artinya Allah benar-benar akan membuat arah muka kalian saling bertantangan. Tersirat dari hadist ini bahwa pelurusan sikap lahiriyah menunjukkan kesatuan pendapat. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernaah bersabda; "Luruskanlah Syaf kalian karena sesungguhnya meluruskan syaf termasuk kesempurnaan sholat.


Hadist ke 10
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ- البخاري
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw bersabda: ‘Apabila seseorang dari kamu mengimami orang, maka hendaklah dia meringankan shalatnya, karena dalam kalangan mereka ada yang kecil, yang tua, yang lemah dan yang mempunyai keperluan. Apabila dia shalat sendirian, maka boleh dia shalat menurut yang dia sukai. (Muttafaq ‘Alaih)
Di dalam Hadist tersebut terkandung dalil yang menunjukkan boleh bagi orang yang shalat sendirian melamakan shalatnya dalam semua rukun-rukunnya, walaupun ada yang kekhawatiran keluar atau habis waktunya.
Hadist tersebut dinilai shahih oleh sebagian Ulama’ yang mengikuti mazhab Syafi’I, hanya saja hadist tersebut bertentangan dengan hadist Qatadah (yang artinya): Termasuk kesalahan karena hanya penundaan shalat sehingga masuk waktu yang lain. Hadist ini diriwayatkan oleh Muslim.
Barang siapa yang meninggalkannya tanpa ada penentangan karena ada alasan seperti tidur atau lupa, maka dia wajib mengqhada saja dan jika meninggalkannya karena malas, maka dia berdosa dan wajib membunuhnya jika terus menerus melakukannya setelah disuruh bertaubat.
Yang benar bahwa dia tidak dikafirkan dan tetap dimandikan, dikafani dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.
Dan di dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqolaniy menafsirkan hadist di atas sebagai berikut;
- Secara umum, kata yang banyak digunakan adalah kata فَإِنَّ مِنْهُمْ tapi menurut Qusymihanyy, kata yang digunakan adalah فَإِنَّ مِنْهُمْ.
- Yang dimaksud dengan kata lemah ((الضَّعِيفَ di sini adalah lemah secara pembawaannya. Dan yang dimaksudkan dari kata sakit (السَّقِيمَ) adalah sakit dari penyakit. Dari aspek lain, Imam Muslim menambahkan dari Abi Zinad kata الصَّغِير. Dan begitu juga dengan at-Thobaraniyy menambahkan, dari Usman bin Abi Asy, kata وَالْحَامِل وَالْمُرْضِع.
- Sesungguhnya yang dimaksud dengan keumuman perintah untuk peringanan adalah khusus untuk para imam. Adapun sholat sendirian, maka tidak ada masalah untuk memperpanjang dalam sholat. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana bila bacaan yang panjang itu akan menghabiskan waktu yang ditentukan. Bagi Imam Muslim " فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ " maksudnya ialah meringankan atau memperpanjang adalah boleh walaupun sampai keluarnya waktu (habisnya waktu yang ditentukan). Tetapi hal ini bertentangan dengan pendapatnya Imam Muslim sendiri yang dikabarkan dari Abi Qatadah "Sesungguhnya suatu kecerobohan mengakhirkan sholat sehingga masuk waktu sholat yang lain". Jika terdapat pertentangan seperti ini, maka yang lebih didahulukan adalah menghilangkan kerusakan dalam masalah ini adalah meninggalkan hal-hal yang dapat merusak sholat harus didahulukan. Dari konteks yang umum juga, maka boleh untuk memperpanjang I'tidal dan duduk diantara dua sujud.
Makna Keseluruhan
Nabi saw memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada para imam dan ulama kaum muslim untuk memudahkan orang-orang yang shalat. Beliau memerintahkan mereka agar memperhatikan kondisi para makmumnya masing-masing. Tidak memperpanjang shalatnya sehingga tidak menjenuhkan.

Hadist ke-11
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلَاةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ - البخاري
Di dalam periwayatan Basyar bin bakr, redaksi awal hadist ini sedikit berbeda, yakni menggunakan لَأَقُومُ إِلَى اَلصَّلَاةِ وَأَنَا أُرِيد ُ
Secara eksplisit, sesungguhnya anak kecil beserta ibunya di dalam masjid namun ibunya tertidur di rumah membiarkan anaknya dan tibalah waktu sholat, maka terjagalah. Yang dimaksudkan disini (anaknya yang ditinggal dimasjid) ialah rumah sang ibu dekat dengan masjid yang sekiranya sang ibu bisa mendengarkan tangisan anaknya. Dan perlu diketahui bahwa hadist ini menunjukkan bolehnya memasukkan anak kecil di dalam masjid dan bolehnya wanita berjamaah bersama laki-laki.
Dan menurut Abul Abbas Azzabidi juga menjelaskan bahwa; seorang imam hendaknyalah sholatnya dengan singkat, tetapi sempurna agar semua makmun yang memgikuti di belakang menunaikannya dengan sempurna pula. Jika imam memberatkan makmumnya dengan cara mengerjakan sholat dalam waktu yang lama, sehingga makmumnya gelisah dan tidak dapat menunaikannya dengan sempurna, maka ialah yang menanggung dosanya.
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sesungguhnya yang pertama kali diperhitungkan pada seorang hamba adalah shalatnya, apabila shalatnya baik maka ia telah beruntung dan berhasil, namun apabila shalatnya rusak shalatnya rusak maka ia telah gagal dan rugi dan Ibadah shalat sunnah itu bisa menyempurnakan ibadah fardhu, jika dalam ibadah fardhunya belum sempurna.
Shalat itu merupakan pondasi dari segala macam amal ibadah kepada Allah karena ibadah shalat merupakan tendensi dimana setiap amal ibadah seseorang itu akan diterima, tatkala ibadah sholatnya telah sempurna sesuai dengan syariat agama Islam. Dan jika shalatnya masih belum sempurna bahkan ditolak, maka seluruh amal seseorang itu juga akan ditolak.
Orang yang meninggalkan sholat karena menentang dan mengingkari kewajibannya, maka sungguh ia telah kafir dan keluar dari agama serta wajib bagi imam untuk membunuhnya karena murtad kecuali jika dia masuk Islam, sebagaimana juga tertera di dalam al-Qur’an
        
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
Setiap orang yang mendengar suara adzan disunnahkan mengikuti suara muadzin, cukup dengan suara yang dapat didengar oleh yang bersangkutan. Jawaban yang dilakukan oleh si pendengar dinamakan hikayatul adzan (meniru adzan), yaitu dengan cara menirukan semua lafaznya kecuali hanya ‘alash shalaah dan hayya ‘alal falaah. Maka jawaban masing-masing dari keduanya ialah dengan kalimat laa haula walaa quwwata illa billaah.
Setiap kali dikumandangkan suara adzan dan iqamah, setan lari terbirit-birit menjauh sehingga tidak mendengar suara itu lagi. Setan juga selalu menggoda seseorang yang sedang shalat, sehingga orang itu teringat pada hal-hal yang sebelumnya dilupakannya. Kadang-kadang, seseorang yang hanyut dalam oleh godaan setan tidak menyadari jumlah rakaat shalat yang telah dikerjakannya. Akan tetapi, Nabi SAW telah memberi penangkal untuk menanggulanginya, yaitu tetap berpegang pada yang diyakininya. Setelah selesai shalatnya, lakukan sujud sahwi.
Menunaikan sholat berjama'ah di dalam masjid telah disyari'atkan karena banyak mengandung hikmah yang besar dan banyak keistimewaan, antara lain; pahala semakin bertambah, selaras banyaknya langkah yang terayun menuju masjid, terlebih lagi dalam malam yang gelap. Di dalam berjama'ah terpadulah kerukunan diantara kaum muslim, hati mereka bersatu dalam naungan ubadah yang paling besar. Di dalamnya orang yang besar berdiri sejajar dengan orang yang kecil, orang kaya dengan orang yang miskin. Sholat berjama'ah berpahala dua puluh tujuh kali lipat, khusus bagi sholat jahriyah (sholat yang bacaannya keras), sedangkan yang berpahala dua puluh lima kali lipat khusus bagi sholat sirriyah (sholat yang bacaannya pelan-pelan).
Rasulullah saw bersumpah dalam salah satu shalat ketika beliau merasa kehilangan orang-orang yang biasa mengikuti shalat berjama'ah. Beliau berniat akan melakukan suatu perkara besar untuk menghukum mereka atas ketidakhadirannya dalam shalat berjama'ah. Beliau berniat akan memerintahkan agar mengumpulkan kayu. Lalu beliau memerintahkan seorang lelaki untuk mengimami orang-orang sebagai pengganti dirinya, sementara beliau sendiri pergi menemui orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama'ah tersebut. Beliau akan membakar rumah-rumah mereka sebagai hukuman atas perbuatan mereka karena tidak menghadiri shalat berjama'ah. Seandainya mereka mengetahui bahwa dalam shalat berjama'ah itu mereka akan memperoleh bagian duniawi, niscaya mereka akan menghadiri shalat berjama'ah tersebut. Mereka melakukannya karena tujuan duniawi itu, bukan karena pahala akhirat serta kenikmatan yang ada padanya.
Ratakan barisanmu, maka sesungguhnya meratakan barisan itu termasuk dalam menegakkan (menyempurnakan) shalat dan bilamana tidak, maka Allah benar-benar akan membuat arah muka kalian saling bertantangan.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan keumuman perintah untuk peringanan adalah khusus untuk para imam. Adapun sholat sendirian, maka tidak ada masalah untuk memperpanjang dalam sholat. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana bila bacaan yang panjang itu akan menghabiskan waktu yang ditentukan. Bagi Imam Muslim " فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ " maksudnya ialah meringankan atau memperpanjang adalah boleh walaupun sampai keluarnya waktu (habisnya waktu yang ditentukan). Tetapi hal ini bertentangan dengan pendapatnya Imam Muslim sendiri yang dikabarkan dari Abi Qatadah "Sesungguhnya suatu kecerobohan mengakhirkan sholat sehingga masuk waktu sholat yang lain". Jika terdapat pertentangan seperti ini, maka yang lebih didahulukan adalah menghilangkan kerusakan dalam masalah ini adalah meninggalkan hal-hal yang dapat merusak sholat harus didahulukan. Dari konteks yang umum juga, maka boleh untuk memperpanjang I'tidal dan duduk diantara dua sujud.
Seorang imam hendaknyalah sholatnya dengan singkat, tetapi sempurna agar semua makmun yang memgikuti di belakang menunaikannya dengan sempurna pula. Jika imam memberatkan makmumnya dengan cara mengerjakan sholat dalam waktu yang lama, sehingga makmumnya gelisah dan tidak dapat menunaikannya dengan sempurna, maka ialah yang menanggung dosanya.








DAFTAR PUSTAKA

Abbas Az-Zabidi, Abdul, 1995. Syarah At-Tajridush Shariih Li-Ahaadiitsiil Jaami’ish Shahih Jilid I, Bandung Trigenda Karya.
'Alawi abbas Al-Makiki, Hasan Sulaiman An-Nuri, Penerjemah: Abu Bakar, Bahrun, 1994. Penjelasan Hukum-hukum syariat islam (ibanatul ahkam), Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Bakar Muhammad, Abu, 1991. terjemahan subulus salam juz II, Surabaya: al-Ikhlas.
Bahreisy, Salim, Terjemahan Al-Lu'lu' wal Marjan jilid I, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Hajar Al-Asqalani, Ibnu, 2006. Targhib wa arhib, Jakarta: Pustaka Azzam.
Hajar Al-Asqalani, Ibnu. Syarah kitab shohih bukhori. Maktab as-yamilah.
Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu, 2005. Rahasia Dibalik Shalat, Jakarta: Pustaka Azzam.
Dari kitab shalat dalam “Thabaqat al-Hanabilah”.

Read More..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Konsep belajar dan faktor yg melingkupi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Panca indera yang merupakan sebagai bagian dari instrumental dalam proses belajar tidaklah dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran yang pasti dan akurat karena hal ini disebabkan adanya perbedaan muatan kejelian dari setiap individu yang dibawa sejak lahir atau sering disebut sebagai hereditas individual serta lingkungan yang membentuk kejelian tersebut.
Hal ini sangat disadari oleh para ahli, namun hal semacam ini bukan merupakan suatu penghalang yang perlu dikhawatir secara intensif karena para ahli sendiri telah membuat suatu definitif yang beragam tergantung dari aspek apa, peninjauan batas ruang lingkup belajar serta apa saja yang menyangkut atau melingkupi proses belajar, yang diobservasi.
Dapat dicontohkan melalui penetapan syilabi yang kami spesifikkan dalam pembahasan proses belajar dan faktor-faktor yang berpengaruh, dimulai dari definisi belajar itu sendiri serta disusul dengan unsur-unsur belajar, perbuatan yang dapat disebut belajar, karakteristik, manifestasi, serta ragam hasil belajar, faktor yang mempengaruhi belajar dan hasil belajar, dan hasil eksperimen tentang proses belajar.
Dari contoh syilabi di atas, dapat dipahami secara mendasar bahwa wacana mengenai proses belajar yang walaupun berangkat dari instrumental-instrumental yang terbatas, tidak perlu dirisaukan karena batasan-batasan yang dipatokan oleh para ahli sangat proporsional dan bisa dipertanggungjawabkan dalam skala ruang lingkup wacana belajar.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dan apa saja unsur-unsur belajar itu?
2. Seperti apa perbuatan yang dapat disebut belajar itu?
3. Bagaimana karakteristik, manifestasi, dan ragam hasil belajar itu?
4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses dan hasil belajar?
5. Seperti apa hasil eksperimen tentang proses belajar?

BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Belajar dan Faktor-faktor yang Berpengaruh

A. Definisi belajar dan Unsur-unsurnya.
A. Definisi Belajar
Dalam skala waktu yang tidak begitu panjang atau lama, definisi belajar beragam adanya, hal ini disebabkan karena masalah belajar memang merupakan hal yang mendasar bagi manusia. Beberapa definisi mengenai belajar akan dijelaskan disebutkan di bawah ini.
1) Menurut Cronbach, dalam bukunya Edicational Psychology, mengatakan bahwa "Learning is shown by a change in the behavior as a result of experience." Jadi menurut Cronbach, belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami. Dan dengan mengalami itu si pelajar menggunakan panca inderanya.
2) Menurut Berelsom dan Steiner, dalam bukunya human behavior, mengemukakan bahwa "Learning: Change in behavior result from previous behavior in similar situations." Jadi yang dimaksudkan di sini mengacu kepada akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pengalaman, baik secara langsung maupun simbolik, terhadap tingkahlaku berikutnya.
3) Laurine, dalam bukunya Building the High School Curriculum, mengemukakan bahwa "Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melakui pengalaman." Menurut pengertian ini, belajar merupakan proses, kegiatan dan bukan hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, tetapi lebih luas dari itu dan bukan hanya penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan.
4) Menurut Muhibbin syah, dalam bukunya, psikologi belajar, menyatakan bahwa "Belajar adalah kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan."
B. Unsur-unsur Belajar
Adapun unsur-unsur belajar menurut Gagne adalah:
a. Pembelajar
Pembelajar dapat berupa peserta didik, pembelajar, warga belajar dan peserta pelatihan. Pembelajar memiliki organ pengindraan yang digunakan untuk menangkap rangasangan; otak yang digunakan untuk mentransformasikan hasil pengindraannya ke dalam memori yang kompleks; dan syaraf atau otot yang digunakan untuk menampilkan kinerja yang menunjukkan apa yang telah dipelajari.
b. Rangsangan
Peristiwa yang merangsang penginderaan pembelajar disebut situasi stimulus. Dalam kehidupan seseorang terdapat banyak stimulus yang berada di lingkungannya. Agar pembelajar mampu belajar optimal, maka ia harus memfokuskan pada stimulus tertentu yang diminati.
c. Memori
Memori pembelajar berisi pelbagai kemampuan yang berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang dihasilkan dari aktifitas belajar sebelumnya.
d. Respon
Tindakan yang dihasilkan dari aktualisasi memori disebut dengan respon. Pembelajar yang sedang mengamati stimulus, maka memori yang ada dalam dirinya kemudian memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon yang terjadi dalam pembelajaran diamati pada akhir proses belajar yang disebut perubahan perilaku atau perubahan kinerja.


B. Beberapa Perbuatan yang Dapat Dikatakan Belajar.
1) Mendengarkan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bergaul dengan orang lain. Dalam pergaulan itu terjadi komunikasi verbal berupa percakapan. Percakapan memberi situasi sendiri bagi orang-orang yang terlibat atau tidak teribat tetapi secara tidak langsung mendengar informasi. Situasi ini memberi kesempatan kepada seseorang untuk belajar. Seseorang menjadi belajar atau tidak dalam situasi ini, tergantung ada tidaknya kebutuhan, motivasi, dan set seseorang itu. Dengan adanya kondisi pribadi seperti itu, memungkinkan seseorang tidak hanya mendengar, melainkan mendengarkan secara aktif dan bertujuan.
2) Memandang
Setiap stimuli visual memberi kesempatan bagi seseorang untuk belajar. Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal yang dapat kita pandang, akan tetapi tidak semua pandangan atau penglihatan kita adalah belajar. Meskipun pandangan kita tertuju pada suatu objek visual, apabila dalam diri kita tidak terdapat kebutuhan, motivasi dan set tertentu untuk mencapai suatu tujuan, maka pandangan yang demikian tidak termasuk belajar. Apabila kita memandang segala set suatu dengan set tertentu untuk mencapai tujuan yang mengakibatkan perkembangan dari kita, maka dalam hal yang demikian kita sudah belajar.
3) Meraba, mencium, mencicipi atau mencecap.
Meraba, mencium, dan mencecap adalah aktivitas sensoris seperti halnya mendengarkan dan memandang. Aktivitas meraba, mencium, ataupun mencecap dapat dikatakan belajar, apabila aktivitas-aktivitas itu didorong oleh kebutuhan, motivasi untuk mencapai tujuan dengan menggunakan set tertentu untuk memperoleh perubahan tingkah laku.
4) Menulis atau Mencatat
Tidak setiap aktivitas mencatat adalah belajar. Aktivitas mencatat yang bersifat menurun, menjiplak atau mengkopi adalah tidak dapat dikatakan sebagai aktivitas belajar. Mencatat yang termasuk belajar yaitu apabila dalam mencatat itu orang menyadari kebutuhan serta tujuannya, serta menggunakan set tertentu agar catatan itu nantinya berguna bagi pencapaian tujuan belajar. Mencatat yang menggunakan set tertentu akan dapat dipergunakan sewaktu-waktu tanpa adanya kesulitan.
5) Membaca
Orang yang membaca buku pelajaran sambil berbaring santai di tempat tidurnya hanya dengan maksud agar dia bisa tertidur, bukan termasuk aktivitas belajar. menurut ilmu jiwa, orang yang membaca sambil berbaring dengan tujuan belajarpun masih belum disebut sebagai aktivitas belajar. Bela jar adalah aktif, dan membaca untuk keperluan belajar hendaknya dilakukan di meja belajar daripada di tempat tidur, karena dengan sambil tiduran itu perhatian dapat terbagi. Dengan demikian, belajar dapat menggagu set belajar.
6) Membuat Ikhtisar, dan Menggarisbawahi
Banyak orang yang merasa terbantu dalam belajarnya karena menggunakan ikhtisar-ikhtissar materi yang dibuatnya. Ikhtisar atau ringkasan ini memang dapat membantu kita dalam hal mengingat atau mencari kembali materi dalam buku untuk masa-masa yang akan datang. Untuk keperluan belajar yang itensif, bagaimanapun juga hanya membuat ikhtisar adalah belum cukup. Sementara membaca, pada hal-hal yang penting kita beri garis bawah. Hal ini sangat membantu kita dalam usaha menemukan kembali materi itu dikemudian hari.
7) Mengamati tabel-tabel, diagram-diagram dan bagan-bagan.
Dalam buku ataupun di lingkungan lain sering kita jumpai tabel-tabel, diagram-diagram ataupun bagan-bagan. Materi non-verbal semacam ini sangat berguna bagi kita dalam mempelajari materi yang relevan itu. Demikian pula gambar-gambar, peta-peta dan lain-lain dapat menjadi bahan ilustratif yang membantu pemahaman kita tentang suatu hal.
8) Menyusun paper atau kertas kerja
Tidak semua aktivitas penyusunan paper merupakan aktivitas belajar. Banyak pelajar atau mahasiswa yang menyusun paper dengan jalan mengkopi atau menjiplak. Memang cara yang demikian sering menguntungkan mereka karena denngan mengambil materi sana-sini, diatur hubungannya sehingga membentuk sajian yang sistematis dan lengkap, dengan bahasa yang bagus karena dibuat oleh para ahli. Maka mereka memperoleh angka lulus.
9) Mengingat
Mengingat dengan maksud agar ingat tentang sesuatu, belum termasuk dalam aktivitas belajar. Mengingat yang didasari atas kebutuhan serta kesadaran untuk mencapai tujuan belajar lebih lanjut adalah termasuk aktivitas belajar, apalagi jika mengingat itu berhubungan dengan aktivitas-aktivitas belajar lainnya.
10) Berfikir
Adapun yang menjadi objek serta tujuan berfikir adalah termasuk aktivitas belajar. Dengan berfikir, orang memperoleh penemuan baru, setidak-tidaknya orang menjadi tahu tentang hubungan antar sesuatu.
11) Latihan atau Praktik.
Latihan atau praktik adalah termasuk aktivitas belajar. Orang yang melaksanakan kegiatan berlatih tentunya sudah mempunyai dorongan untuk mencapai tujuan tertentu yang dapat mengembangkan sesuatu aspek pada dirinya. Orang yang berlatih atau berpraktik sesuatu tentunya menggunakan set tertentu sehingga setiap gerakan atau tindakannya terarah kepada suatu tujuan. Dalam berlatih atau berpraktik terjadi interaksi yang interaktif dan terarah ke suatu tujuan. Hasil dari latihan atau praktik itu sendiri akan berupa pengalaman yang dapat mengubah diri subjek serta mengubah lingkungannya.
C. Karakteristik, Manifestasi dan Ragam Hasil Belajar.
setiap perilaku belajar selalu ditandai oleh ciri-ciri perubahan yang spesifik.
A. Karakteristik
Karakteristik perilaku belajar dalam beberapa pustaka rujukan, antara lain psikologi pendidikan oleh surya, disebut juga prinsip-prinsip belajar. Di antara ciri khas perubahan yang menjadi karakteristik prilaku belajar meliputi perubahan–perubahan yang bersifat: 1) intensional (disengaja); 2) positif dan aktif (bermanfaat dan atas hasil usaha sendiri); 3) efektif dan fungsional (berpengaruh dan mendorong timbulnya perubahan baru).
B. Manifestasi
Manifestasi perilaku belajar tampak dalam: 1) kebiasaan seperti siswa belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar; 2) keterampilan seperti menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi; 3) pengamatan yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga siswa mampu mencapai pengertian yang benar; 4) berfikir asosiatif yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat; 5) berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti "bagaimana (how)" dan "mengapa (why)"; 6) sikap yakni kecenderungan yang relative menetap untuk bereaksi dengan cara baik dan buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan; 7) inhibisi (menghindari hal yang mubazir); 8) apresiasi (menghargai karya-karya bermutu); 9) tingkah laku afektif yakni tingkah laku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, dan sebagainya sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.


C. Ragam Belajar
Ragam belajar dalam proses belajar dikenal adanya bermacam-macam kegiatan yang memiliki corak yang berbeda antara satu dengan lainnya, baik dalam aspek materi dan metodenya maupun dalam aspek tujuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Ragam belajar meliputi: 1) Belajar abstak yaitu belajar yang menggunakan cara-cara berfikir abstrak yang dalam mempelajarinya diperlukan peranan akal yang kuat disamping penguasaan atas prinsip, konsep, dan generalisasi. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Misalnya belajar matematika, kimia, kosmografi, dan juga sebagian materi bidang studi agama seperti tauhid. 2) Belajar keterampilan yaitu belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot(neuromuscular). Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Misalnya belajar olah raga, menari, musik, melukis, dan juga sebagian materi pelajaran agama, seperti ibadah salat dan haji. 3) Belajar sosial yaitu belajar memahami masalah-masalah dan teknik-teknik untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial seperti masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah lain yang bersifat kemasyarakatan. 4) Belajar pemecahan masalah yaitu belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berfikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti yang dalam mempelajarinya, kemampuan dalam menguasai konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi serta insight (tilikan akal) amat diperlukan. Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. 5) Belajar rasional yaitu belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir secara logis dan rasional (sesuai dengan akal sehat) yang disebut juga rational problem solving yaitu kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis, dan sistematis. Tujuannya ialah untuk memperoleh aneka ragam kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep. 6) Belajar kebiasaan yaitu proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras degan kebutuan ruang dan waktu (konstekstual). 7) Belajar Apresiasi yaitu belajar mempertimbangkan (judgment) arti penting atau nilai suatu objek. Tujuannya agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (affective skills) yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik, dan sebagainya. 8) Belajar pengetahuan (studi) yaitu belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Tujuannya agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat laboratorium dan penelitian lapangan.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar.
A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar indivivdu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu faktor endogen atau yang disebut juga faktor internal dan eksogen atau yang disebut juga faktor eksternal, yang akan dijelaskan sebagai di bawah ini.
a. Faktor Endogen
Faktor endogen atau faktor yang berada di dalam diri individu meliputi faktor, yakni faktor fisik dan faktor psikis.

i. Faktor Fisik
Faktor fisik ini bisa kita kelompokkan lagi menjadi beberapa kelompok, antara lain adalah faktor kesehatan. Bilamana anak yang kurang sehat atau kurang gizi, daya tangkap dan kemampuan belajarnya akan kurang dibandigkan dengan anak yang sehat.
Selain faktor kesehatan, ada faktor lain yang penting, yaitu cacat-cacat yang dibawa anak sejak berada di dalam kandungan. Keadaan cacat ini juga bisa menghambat keberhasilan seseorang dan menjadi penghambat dalam perkembangan anak, sehingga anak menghadapi kesulitan berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungannya.
ii. Faktor Psikis
Banyak faktor yang termasuk dalam aspek psikis yang bisa mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran. Di antara begitu banyak faktor psikis, yang paling banyak atau sering disoroti pada saat ini adalah faktor-faktor sebagai berikut:
1) Faktor Intelegensi dan Kemampuan
Pada dasarnya, manusia berbeda satu sama lainnya. Salah satu perbedaan itu adalah dalam hal kemampuan atau intelegensi. Kenyataan menunjukkan, ada orang yang dikaruniai kemampuan tinggi, sehingga mudah dalam mempelari sesuatu. Dan, sebaliknya, ada orang yang kemampuannya kurang sehingga megalami kesulitan untuk mempelajari sesuatu. Dengan demikian, perbedaan dalam mempelajari sesuatu disebabkan, antara lain, oleh perbedaan taraf kemampuannya dalam mempelajari sesuatu.
2) Faktor Perhatian dan Minat.
Bagi seseorang, mempelajari sesuatu hal yang menarik perhatian akan lebih mudah diterima daripada mempelajari hal yang tidak menarik perhatian..
Dalam hal minat, tentu saja seseorang yang menaruh minat pada seatu bidang akan lebih mudah mempelajari bidang tersebut. Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan gairah yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Keinginan atau minat dan kemauan atau kehendak sangat memengaruhi corak perbuatan yang akan diperlihatkan seseorang. Sekalipun seseorang itu mampi\u mempelajari sesuatu, tetapi bila tidak mempunyai minat, tidak mau, atau tidak ada kehendak untuk mempelajari, ia tidak akan bisa mengikuti proses belajar. Minat atau keinginan ini erat pula hubungannya dengan perhatian yang dimiliki, karena perhatian mengarahkan timbulnya kehendak pada seseorang. Kehendak atau keinginan ini juga erat kaitannya dengan kondisi fisik seseorang, misalnnya dalam keadaan sakit, capek, atau juga sebaliknya. Hal ini juga erat kaitannya dengan kondisi psikis, seperti senang, tidak senang, bergairah, dan seterusnya.
3) Faktor Bakat.
Pada dasarnya bakat itu mirip dengan intelegensi. Itulah sebabnya seseorang yang memiliki inteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) yang disebut juga sebagai talented human.
4) Faktor Motivasi.
Motivasi adalah keadaan internal organisme yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Karena belajar merupakan suatu proses yang timbbul dari dalam, faktor motivasi memegang peranan pula. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal ataupun yang bersifat eksternal akan menyebabkan kurang kebersemangatnya dalam melakukan proses pembelajaran materi-materi, baik di sekolah maupun di rumah.
5) Faktor Kematangan.
Kematangan adalah tingkat perkembangan pada individu atau organ-organna sehingga sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam proses belajar, kematangan atau kesiapan ini sangat menentukan. Oleh karena itu, setiap usaha belajar akan lebih berhasil bila dilakukan bersamaan dengan tingkat kematangan individu.
6) Faktor Kepribadian.
Faktor kepribadian seseorang turut memegang peranan dalam belajar. Orang tua atau masyarakat umum terkadang melupakan faktor ini, yaitu bahwa anak adalah makhluk kecil yang memiliki kepribadian sendiri. Jadi, faktor kepribadian seseoarang mempengaruhi keadaan seseorang.
b. Faktor Eksogen
Seperti sudah dijelaskan, faktor eksogen berasal dari luar diri seseorang. Fffaktor eksogen sebetulnya meliputi banyak hal, namun secara garis besar kita bisa membaginya dalam tiga faktor, yakni (a) faktor keluarga, (b) faktor sekolah, dan (c) faktor lingkungan lain, di luar keluarga dan sekolah.
i. Faktor Keluarga
Menurut pandangan sosiologis, keluarga adalah lembaga sosial terkecil dari masyarakat. Pengertian keluarga ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan bagian dari masyarakat; bagian ini menenrukan keseluruhan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh kesejahteraan keluarga.
Individu-individu yang yang baru berkembang, yang dilahirkan dalam suatu keluarga, harus mengalami proses belajar sehingga akan mengambil alih nilai-nilai yang umum berlaku dalam kelompoknya.
Dalam hubungan dengan belajar, faktor keluarga tentu saja mempunyai peranan penting. Keadaan keluarga akan sangat menetukan berhasil-tidaknya anak dalam menjalin proses belajarnya.
Faktor keluarga sebagai salah satu penentu yang berpengaruh dalam belajar, dapat dibagi lagi menjadi tiga aspek, yakni: (1) kondisi ekonomi keluarga, (2) hubungan emosional orang tua dan anak, serta (3) cara-cara orang tua mendidik anak.
1) Kondisi Ekonomi Keluarga
Faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya terhadap kelangsungan kehidupan keluarga. Keharmonisan hubungan antara orang tua dan anak kadang-kadang tidak terlepas dari faktor ekonomi ini. Begitu pula faktor keberhasilan seorang anak.
2) Hubungan Emosional Orang Tua dan Anak
Hubungan emosional antara orang tua dan anak juga berpengaruh dalam keberhasilan anak. Dalam suasana rumah yang selalu rebut dengan pertengkaran akan mengakibatkan terganggunya ketenangan dan konsentrasi anak, sehingga anak tidak bisa belajar dengan baik. Hubungan orang tua dan anak yang ditandai sikap acuh tak acuh dapat pula menimbulkan reaksi frustasi pada anak. Orang tua yang terlalu keras pada anak dapat menyebabkan "jauh"-nya hubungan mereka yang pada gilirannya menghambat proses belajar. Sebaliknya, hubungan anak dan orang tua yang terlalu dekat.
3) Cara Mendidik Anak
Biasanya, setiap keluarga mempunyai spesifikasi dalam mendidik. Ada keluarga yang menjalankan cara-cara mendidik anaknya secara dictator militer, ada yang demokratis, pendapat anak diterima oleh orang tua, tetapi ada juga orang tua yang acuh tak acuh dengan setiap pendapat anggota keluarga. Ketiga cara mendidik ini, langsung atau tidak langsung, dapat berpengaruh pada proses belajar anak.
ii. Faktor Sekolah
keadaan sekolah tempat belajar turut mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar. Kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas/perlengkapan disekolah, keadaan ruangan, jumlah murid per kelas, pelaksanaan tata tertib sekolah, dan sebagainya, semua itu turut mempengaruhi keberhasilan belajar anak. Bila suatu sekolah kurang memperhatikan tata tertib (disiplin), maka murid-muridnya kurang mematuhi perintah para guru dan akibatnya mereka tidak mau belajar sungguh-sungguh di sekolah atau di rumah. Hal ini mengakibatkan prestasi belajar anak menjadi rendah. Demikian pula jika jumlah murid per kelas terlalu banyak (50-60 orang), dapat mengakibatkan kelas kurang tenang, hubungan guru dengan murid kurang akrab, kontrol guru menjadi lemah, murid menjadi kurang perhatian terhadap gurunya, sehingga motivasi belajar menjadi lemah.
iii. Faktor Lingkungan sekitar.
Keadaan lingkungan tempat tingal, juga sangat penting dalam mempengaruhi prestasi belajar. Keadaan lingkungan, suasana sekitar, suara hiruk-pikuk orang disekitar, polusi udara, iklim yang terlalu panas, semuanya itu akan mempengaruhi kegairahan belajar dan begitu pula sebaliknya. Demikian juga keadaan masyarakat yang menentukan prestasi belajar. Bila disekitar tempat tinggal keadaan masyarakatnya terdiri dari orang-orang berpendidikan, terutama anak-anaknya rata-rata bersekolah tinggi dan moralnya baik hal ini akan mendorong anak lebih giat belajar dan fakta yang terjadi akan sebaliknya bila lingkungannya tidak seperti di atas.
B. Hasil Belajar
Menurut Dimyati dan Mudjiono, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar.
Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran.
Menurut Oemar Hamalik hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif, psikomotor. Perinciannya adalah sebagai berikut:
1. Ranah Kognitif
Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.
2. Ranah Afektif
Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
3. Ranah Psikomotor
Meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan, mengamati).
Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah.

E. Beberapa Hasil Eksperimen Tentang Proses Belajar.
Hasil belajar bisa dinilai dari hasil eksperimen seperti contoh :
a) seorang siswa misalnya, dapat dianggap sukses secara afektif dalam belajar agama apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran ajaran agama yang ia pelajari, lalu menjadikannya sebagai ”sistem nilai diri”. Kemudian, pada giliranya ia menjadikan sistem nilai ini sebagai penuntun hidup, baik dikala suka maupun duka ( Darajat, 1985 ).
b) kegiatan siswa dalam bidang studi fisika mengenai "gerak" menurut hukum Newton. Dalam hal ini siswa melakukan eksperimen untuk membuktikan bahwa setiap benda tetap diam atau bergerak secara beraturan, kecuali kalau ada gaya luar yang mempengaruhinya.
c) kegiatan siswa dalam bidang studi biologi mengenai protoplasma, yakni zat hidup yang ada pada tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dalam hal ini siswa melakukan investigasi terhadap senyawa organik yang terdapat dalam protoplasma yang meliputi: karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami atau dengan panca indera. Ada juga yang mengatakan bahwa belajar itu mengacu kepada akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pengalaman, baik secara langsung meupun simbolik, terhadap tingkahlaku berikutnya dan lebih luas lagi ada yang mengatakan bahwa belajar merupakan proses, kegiatan dan bukan hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, tetapi lebih luas dari itu dan bukan hanya penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Sedangakan unsur-unsur belajar diantaranya ialah: 1) Pembelajar, 2) Rangsangan, 3) Memori, 4) Respon.
Beberapa perbuatan yang dapat dikatakan belajar diantaranya yaitu: 1) Mendengarkan, 2) Memandang, 3) Meraba, mencium, mencicipi atau mencecap, 4) Menulis atau Mencatat, 5) Membaca, 6) Membuat Ikhtisar, dan Menggarisbawahi, 7) Mengamati table-tabel, diagram-diagram dan bagan-bagan, 8) Menyusun paper atau kertas kerja, 9) Mengingat, 10) Berfikir, 11) Latihan atau Praktik.
Di antara ciri khas perubahan yang menjadi karakteristik prilaku belajar meliputi perubahan–perubahan yang bersifat: 1) intensional; 2) positif dan aktif; 3) efektif dan fungsional. Sedangkan Manifestasi perilaku belajar tampak dalam: 1) kebiasaan; 2) keterampilan; 3) pengamatan; 4) berfikir asosiatif; 5) berfikir rasional dan kritis; 6) sikap; 7) inhibisi; 9) tingkah laku afektif. Adapun Ragam Ragam belajar meliputi: 1) Belajar abstak; 2) Belajar keterampilan; 3) Belajar sosial; 4) Belajar pemecahan masalah; 5) Belajar rasional; 6) Belajar kebiasaan; 7) Belajar apresiasi; 8) Belajar pengetahuan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar hanya dua yaitu faktor Indogen dan Eksogen. Sedangkan hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif, psikomotor.
DAFTAR PUSTAKA

Abror, Abd. Rohman, 1993. Psikologi Pendidikan, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Sobur, Alex, 2003. Psikologi Umum, Pustaka Setia, Bandung.
Syah, Muhibbin, 2001. Psikologi Belajar, PT Logos Wacana Ilmu, Ciputat.
Dalyono, 1997. Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.
Dimyati dan Mudjiono, 1999. Belajar Dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta
Hamalik, Oemar, 2006. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara, Bandung.

Read More..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS