Penjelasan Tentang Hadist mengenai sholat

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjadi suatu bentuk yang tidak bisa dilepaskan dari sisi kehidupan manusia sebagai insan ilahiyah untuk selalu merefleksikan diri dengan bentuk ibadah yang penuh dengan sarat, bukan hanya rutinitas belaka, yang mana menjadi suatu bentuk yang berbeda diantara ibadah yang lain. Sholat yang menjadi fokus pembahasan pada makalah ini yang mempunyai keunikan tersendiri, mulai dari pembahasan pra-sholat yaitu adzan sampai pada hal-hal yang menuntut kepada para pelaku untuk menjaga keshahan sholat itu sendiri.
Dalam langkah terbatah-batah, usaha dalam menjelaskan 11 hadist yang menjadi bagian dari penugasan, yang boleh dibilang sulit karena harus merujuk langsung pada kitab-kitab sumber, akhirnya terselesaikan yang walaupun tidak sesempurna yang telah ditargetkan oleh dosen pembimbing.
Bergelindang berbagai maksud dalam keterangan-keterangan 11 hadist yang menjadi objek inti yang bisa dikatakan mudah dipahami. Oleh karena itu, bila ada maksud yang tidak tersampai dalam bentuk yang tidak bisa dipahami merupakan menjadi suatu hal yang lumrah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana maksud hadist tentang amalan yang pertama diperthitungkan?
2. Bagaimana maksud tentang hadist yang menerangkan sholat adalah tiang agama?
3. Bagaimana maksud kafir dalam meninggalkan sholat?
4. Bagaimana maksud peniruan dalam adzan sholat dan larinya setan jika mendengarkan suara adzan?
5. Bagaimana maksud keutamaan sholat berjama’ah dari pada sendiri?
6. Apa maksud Rosul menyuruh orang mengumpulkan kayu?
7. Apa yang dimaksud pemalingan Allah dalam syaf-syaf?
8. Bagaimana maksud bolehnya memperpanjang bacaan yang tidak memberatkan?
BAB II
PEMBAHASAN

Hadist ke-1
أَخْبَرَنَا أَبُو دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا هَارُونُ هُوَ ابْنُ إِسْمَعِيلَ الْخَزَّازُ قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ حُرَيْثِ بْنِ قَبِيصَةَ قَالَ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ قَالَ قُلْتُ اللَّهُمَّ يَسِّرْ لِي جَلِيسًا صَالِحًا فَجَلَسْتُ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ فَقُلْتُ إِنِّي دَعَوْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُيَسِّرَ لِي جَلِيسًا صَالِحًا فَحَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَنْفَعَنِي بِهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ بصلاته فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرقَالَ هَمَّامٌ لَا أَدْرِي هَذَا مِنْ كَلَامِ قَتَادَةَ أَوْ مِنْ الرِّوَايَةِ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلُ بِهِ مَا نَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى نَحْوِ-النسانئ

Artinya: Abu Daud menceritakan kepada kami, ia berkata, "Harun (putra Ismail al-Khazzaj) telah menceritakan kepada kami, ia berkata, "menceritakan kepada kami yaitu Hammam dari Qatadah, Al-Hasan, Khuraist bin Qubaishah, ia berkata: saya datang ke Madinah, ia berkata, "Aku mengucapkan: Ya Allah permudahkanlah aku dalam tempat yang baik, maka ceritakan kepadaku dengan hadist yang pernah kamu dengar dari Rasulullah, semoga Allah memberikan manfaat kepadaku dengannya, ia berkata, "aku mendengar Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya yang pertama kali diperhitungkan pada seorang hamba adalah shalatnya, apabila shalatnya baik maka ia telah beruntung dan berhasil, namun apabila shalatnya rusak shalatnya rusak maka ia telah gagal dan rugi. (Hammam berkata: aku tidak mengetahui dari permasalahan ini dari ucapan Qatadah ataupun dari riwayat lain, "Apabila dalam shalat fardhunya belum sempurna, maka dikatakan: lihatlah, apakah ia mengerjakan (shalat-shalat) sunnah? Jika ia memiliki (shalat) sunnah maka (shalat-shalat) sunnah itu menyempurnakan yang fardhunya. Kemudian barulah diperhitungkan amal-amal fardhu yang lainnya seperti demikian. (HR. An-Nasa'i)
Implementasi
1. Ibadah shalat merupakan ibadah yang pertama kali diperhitungkan pada setiap hamba
2. Setiap hamba itu mempunyai kewajiban ibadah shalat dan tidak bisa gugur karena sebab apapun selama masih sadar (tidak hilang ingatan).
3. Semua amal itu tergantung pada pelaksanaan shalat. Allah tidak akan menerima puasanya orang yang meninggalkan shalat, tidak pula menerima hajinya, sedekahnya, jihad serta amal-amal lainnya. Sebagaimana dikatakan 'Aun bin Abdullah: sesungguhnya seorang hamba itu apabila masuk di dalam kuburnya, ia akan ditanya tentang shalatnya sebagai hal yang pertama kali ditanyakan kepadanya, jika ia sukses dalam hal it, maka akan dilihatlah amal lainnya, namun jika tidak maka amal lainnyatidak akan dilihat.
4. Ibadah shalat sunnah itu bisa menyempurnakan ibadah fardhu, jika dalam ibadah fardhunya belum sempurna.
Dalam Islam, shalat menempati kedudukan tertinggi dibandingkan ibadah apa pun. Ia merupakan tiang agama sebagaimana dalam hadist berikut.


Hadist ke-2
الصلاة عماد الدين فمن أقامها فقد اقام الدين ومن تركها فقد هدم الدين (رواه البيهقى)

Artinya: Shalat itu tiang agama, maka barang siapa yang meninggalkannya, sungguh ia telah merobohkan agama. (HR. Baihaqi)
Dari perumpamaan hadist di atas yang menyatakan bahwa perumpamaan sholat seperti tiang agama. Bukankah kita tahu bahwa atap itu jika tiangnya roboh, maka atap itu akan jatuh, sehingga tidak berfungsi tali pancang dan patoknya, jika tiang atap itu berdiri, barulah tali pancang dan patoknya itu berfungsi. Demikian juga halnya sholat dalam Islam.
Shalat itu merupakan pondasi dari segala macam amal ibadah kepada Allah karena ibadah shalat merupakan tendensi dimana setiap amal ibadah seseorang itu akan diterima, tatkala ibadah sholatnya telah sempurna sesuai dengan syariat agama Islam. Dan jika shalatnya masih belum sempurna bahkan ditolak, maka seluruh amal seseorang itu juga akan ditolak.
Maka shalat kita adalah akhir dari agama kita. Shalat itu adalah amal yang akan dipertanyakan kepada kita kelak di hari kiamat diantara amal-amal kita yang lain. Maka tidak ada lagi Islam dan tidak pula agama setelah tidak adanya shalat, sebab shalat itu adalah yang paling akhir yang menghilangkan Islam. Hal ini merupakan pendapat Imam Ahmad.
Implementasi
1. Orang yang beriman mendapat kewajiban dari Allah SWT yaitu untuk melakukan shalat.
2. Ibadah shalat merupakan pilar dari semua ibadah dan mempunyai tempat yang istimewa di banding ibadah lainnya.
3. kita harus menjalankan ibadah shalat sesuai dengan aqidah dan syari'ah yang benar sesuai dengan aturan agama Islam.

Hadist ke-3
Peringatan dari meninggalkan sholat dengan sengaja dan menunda dari waktunya dengan memandang remeh.
أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ قَالَ أَنْبَأَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ الْحُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَهْدَ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ- النسانئ
Dari Buraidah RA. Aku mendengar Rasululloh bersabda, janji yang ada diantara kita dan diantara mereka adalah sholat, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia sungguh telah kafir. HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasai dan at-Tirmidzi serta dinilai shohih olehnya dan juga oleh Ibnu Khibban al-Hakim.
Al-Hakim mengatakan “Kami tidak mengetahui hadist tersebut memiliki illat. Pengarang berkata: sekelompok dari kawanan sahabat dan tabi’in berpendapat “kafirnya orang yang meninggalkan sholat". Diantara ahlul fiqih yang mengatakan demikian ialah an-Nakhai, al-Hakam bin Ibnu Mubarok, dan Ishaq, serta aku katakan; dan sebagian ulama’ madzab Syafi’i.
فَقَدْ كَفَرَ: Orang yang meninggalkannya karena menentang dan mengingkari kewajibannya, maka sungguh ia telah kafir dan keluar dari agama serta wajib bagi imam untuk membunuhnya karena murtad kecuali jika dia masuk Islam.
Adapun dasarnya itu juga disebutkan dalam ayat Al-Qur'an:
        
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
Implementasi
1. Orang yang meninggalkan sholat fardu dengan sengaja hingga keluar waktunya, maka ia menjadi kafir murtad .
2. Merupakan dosa besar bagi orang-orang yang meniggalkan shholat fardu.
3. Orang-orang yang meninggalkan sholat fardu tidak akan mendapatkan rahmat dari Allah.

Hadist ke-4
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ (البخارى)
Artinya: menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf, dia berkata: Malik memberitahukan kepada kami dari Ibnu Syihab dari 'Atha' bin yazid al-Laitsi dari Abu Sa’id Al-khudri r.a. menceritakan hadist berikut., bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: ”Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh juru adzan.”
Setiap orang yang mendengar suara adzan disunnahkan mengikuti suara muadzin, cukup dengan suara yang dapat didengar oleh yang bersangkutan.
Dari hadist yang dipaparkan diatas menjelaskan bahwa setiap orang muslim yang mendengarkan suara adzan, maka dia harus menjawabnya. Dan ketika waktu muadzin mengucapkan Hayya’alatain, maka orang muslim yang mendengar itu mengucapkan Laa Haulaa Wa Laa Quwwata Illa Billahil ‘aliyyil ‘adzim.
Jawaban yang dilakukan oleh si pendengar dinamakan hikayatul adzan (meniru adzan), yaitu dengan cara menirukan semua lafaznya kecuali hanya ‘alash shalaah dan hayya ‘alal falaah. Maka jawaban masing-masing dari keduanya ialah dengan kalimat laa haula walaa quwwata illa billaah.
Hikmah jawaban ini adalah pihak pendengar ketika mendengar suara adzan itu bersegera menuju ke tempat shalat. Hal ini berarti ia memenuhi seruannya dengan ucapan dan perbuatannya, yaitu berwudlu dan berangkat ke masjid untuk berjama’ah. Mengingat dengan jawabannya itu si pendengar tidak bermaksud menirukan suara adzan untuk menyeru manusia, melainkan membangunkan perasaan khususnya, maka yang diucapkan adalah laa haula walaa quwwata illaa billaah. hal itu sebagai pengakuan atas ketidakmampuannya sekaligus dan sekaligus meminta pertolongan untuk beribadah melalui taufik rabbnya. Dengan demikian, si pendengar mendapat pahala dari bacaan hauqalahnya sebagai imbangan dari ucapan Hayya’alatain yang diucapkan oleh penjuru adzan.


Analisis Lafadz.
مِثْلَ مَا يَقُولُ, pengertian lahiriyah mumatsalah dalam ucapan atau meniru ucapan tidak disyaratkan sama dari seluruh segi, karena para Ulama’ telah sepakat bahwa orang yang menjawab tidak harus mengeraskan suara. Lain halnya dengan muadzin yang bertujuan memberitahukan kepada orang banyak, maka diperlukan suara yang keras. Sedangkan si pendengar dengan jawabannya bertujuan untuk berdzikir mengingat Allah dan menggugah perasaan khususnya, maka cukup dilakukan dengan perlahan-lahan.
Menurut riwayat Bukhari melalui Mu’awiyah ra. Disebutkan hadist serupa, yakni hal yang sama dengan hadist Abu sa’id, yaitu bahwa si pendengar meniru apa yang diucapkan oleh juru adzan dalam semua kalimatnya kecuali hayya’alatain. Karena ketika mu'adzin itu mengumandangkan hayya’alatain itu dijawab oleh pendengar dengan kalimat
laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Fadhlul qauli, dalam keutamaan mengucapkan jawaban adzan. Disebut sebagai keutamaan sebagaimana yang diterangkan dalam akhir hadist Umar r.a. disebutkan seperti berikut:
فإذَا قال السامع ذلك من قبله دخل الجنة
”Apabila si pendengar mengucapkan hal tersebut dengan tulus ikhlas dari dalam lubuk hatinya, niscaya ia masuk surga.” Dari keterangan hadist tersebut dapat dipaparkan bahwa terdapat beberapa keutamaan ketika kita menjawab bacaan adzan yang dikumandangkan oleh muadzin.
Implementasi
1. Disyariatkan menjawab suara muadzin dalam segala keadaan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang dalam keadaan suci dan berhadast, begitu pula orang yang haid dan orang mempunyai junub, sebab jawaban tersebut merupakan dzikrullah, sedangkan mereka berhak melakukan dzikir. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi orang yang sedang menunaikan hajat (buang air) dan orang yang sedang bersetubuh.
2. Hukum menjawab adzan ialah sunnat, karena para ulama' telah sepakat mengenainya.
3. Si pendengar mengganti hayya’alatain dengan hauqalatani.
4. Keutamaan ikhlas di dalam beramal. Diterimanya amal merupakan suatu anugerah yang besar sehingga membawa pelakunya masuk surga.

Hadist ke-5
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قُضِيَ النِّدَاءُ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ حَتَّى إِذَا قُضِيَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الْمَرْءُ لا يَدْرِي كَمْ صَلَّى (رواه بخاري)
Artinya: “Menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf, dia berkata: Malik memberitahukan kepada kami dari Abi Az-Zinad dari Al-A'raj diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Ketika adzan dikumandangkan, setan lari terbirit-birit sambil kentut sehingga dia tidak mendengar suara adzan. Ketika adzan telah selesai diperdengarkan ia muncul lagi dan pada saat iqamah diperdengarkan ia kembali lari terbirit-birit dan setelah iqamah selesai, ia muncul lagi dan membisikkan sesuatu ke dalam hati manusia untuk mencegah manusia khusuk dalam shalatnya dan membuatnya teringat segala sesuatu apa yang tidak dia ingat ketika belum mengerjakan shalat dan menyebabkan ia lupa berapa banyak rokaat shalatnya.”
Dalam hadist di atas menjelaskan bahwa dalam ibadah shalat itu tatkala adzan itu diperdengarkan, maka hendaklah bersegera shalat.
التَّثْوِيبُ makna asalnya ialah ucapan seorang muadzin dalam adzan shubuh, yaitu Ash Shalatu Khairum Minan Naum(sholat lebih baik daripada tidur). Akan tetapi, makna yang dimaksud dalam hadist ini adalah mengulangi seruan adzan, maksudnya iqamah. Hadist ini menceritakan tentang keutamaan adzan dan iqamah. Setiap kali dikumandangkan suara adzan dan iqamah, setan lari terbirit-birit menjauh sehingga tidak mendengar suara itu lagi. Setan juga selalu menggoda seseorang yang sedang shalat, sehingga orang itu teringat pada hal-hal yang sebelumnya dilupakannya. Kadang-kadang, seseorang yang hanyut dalam oleh godaan setan tidak menyadari jumlah rakaat shalat yang telah dikerjakannya. Akan tetapi, Nabi SAW telah memberi penangkal untuk menanggulanginya, yaitu tetap berpegang pada yang diyakininya. Setelah selesai shalatnya, lakukan sujud sahwi.

Hadist ke-6
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً- البخاري
Abdullah bin Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda: sembahyang berjama'ah lebih afdhal (utama) dari sembahyang sendirian dua puluh tujuh derajat (tingkat). (Bukhari, muslim) .
Makna keseluruhan
Menunaikan sholat berjama'ah di dalam masjid telah disyari'atkan karena banyak mengandung hikmah yang besar dan banyak keistimewaan, antara lain; pahala semakin bertambah, selaras banyaknya langkah yang terayun menuju masjid, terlebih lagi dalam malam yang gelap.
Di dalam berjama'ah terpadulah kerukunan diantara kaum muslim, hati mereka bersatu dalam naungan ubadah yang paling besar. Di dalamnya orang yang besar berdiri sejajar dengan orang yang kecil, orang kaya dengan orang yang miskin.
Analisis lafadz
Al-jama'ah menurut bahasa adalah suatu golongan atau suatu himpunan sesuatu, sedangkan menurut pengertian syara' ialah penghubung antara sholat makmum dan imam dan jumlahnya minimal terdiri atas imam dan makmum. Jumhur ulama' mengatakan bahwa sholat berjama'ah hukumnya sunnah muakkad.
Menurut Imam Ahmad, sholat berjama'ah itu berhukum wajib sebagaimana hadist yang artinya "tidak sekali-kali berani meninggalkannya kecuali orang-orang yang munafik.". al-Hafid Ibnu hajar al-Asqolani mengatakan bahwa sholat berjama'ah berpahala dua puluh tujuh kali lipat, khusus bagi sholat jahriyah (sholat yang bacaannya keras), sedangkan yang berpahala dua puluh lima kali lipat khusus bagi sholat sirriyah (sholat yang bacaannya pelan-pelan).
Implementasi
1. Sholat seorang diri hukumnya syah-syah saja.
2. Keutamaan sholat berjama'ah dan pahalanya yang diliipat gnadakan Allah.

Hadist ke-7
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاء-البخاري
Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw bersabda: Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh saya ingin menyuruh orang mengumpulkan kayu, kemudian saya suruh orang adzan untuk sembahyang, kemudian saya suruh orang yang mangimami orang-orang, dan aku pergi dengan beberapa orang untuk membakar rumah orang-orang yang tidak hadir sembahyang berjama'ah. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya. Andaikan seorang dari mereka mengetahui akan mendapat sepotong daging yang gemuk atau kaki kambing yang baik pasti mereka akan hadir sembahyang isya' dengan berjama'ah. (Bukhari, Muslim)
Rasulullah saw bersumpah dalam salah satu shalat ketika beliau merasa kehilangan orang-orang yang biasa mengikuti shalat berjama'ah. Beliau berniat akan melakukan suatu perkara besar untuk menghukum mereka atas ketidakhadirannya dalam shalat berjama'ah. Beliau berniat akan memerintahkan agar mengumpulkan kayu. Lalu beliau memerintahkan seorang lelaki untuk mengimami orang-orang sebagai pengganti dirinya, sementara beliau sendiri pergi menemui orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama'ah tersebut. Beliau akan membakar rumah-rumah mereka sebagai hukuman atas perbuatan mereka karena tidak menghadiri shalat berjama'ah.
Nabi saw mengulangi sumpahnya seraya menegaskan bahwa mereka yang tidak menghadiri shalat berjama'ah itu hanyalah mementingkan perkara duniawi. Seandainya mereka mengetahui bahwa dalam shalat berjama'ah itu mereka akan memperoleh bagian duniawi, niscaya mereka akan menghadiri shalat berjama'ah tersebut. Mereka melakukannya karena tujuan duniawi itu, bukan karena pahala akhirat serta kenikmatan yang ada padanya. Dalam hal ini terkandung kecaman yang pedas terhadap mereka yang tidak menghadirinya karena merka lebih suka menerima imbalan sesuatu yang tidak berharga daripada memperoleh pahala yang berlimpah dan kedudukan yang terhormat di hari kemudian.
Implementasi
1. Disyariatkan bersumpah dengan menyebut asma Allah, sekalipun tanpa diminta dengan tujuan menarik perhatian lawan bicara dan mengukuhkan hal yang akan dibicarakannya.
2. Boleh mengangkat seseorang menjadi imam, sekalipun ada orang yang lebih utama dari pada dirinya, bilamana hal ini mengandung maslahat.
3. Boleh menjatuhkan hukuman terhadap harta milik terdakwa, bukan pada badannya. Hal ini diakatakan oleh segolongan ulama dari kalangan mazhab Maliki, sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa sesungguhnya sanksi ini hanya berlaku pada zaman permulaan Islam, setelah itu tidak berlaku lagi.
4. Boleh mendahulukan ancaman dan peringatan sebelum menjatuhkan hukuman. Apabila kerusakan itu dapat dihindari dengan cara yang lebih ringan berupa peringatan maupun larangan keras, maka cukuplah menggunakan cara yang ringan tanpa hukuman yang lebih berat.
5. Imam yang resmi boleh menunjuk seseorang untuk mengimami orang-orang sebagai pengganti dirinya untuk sementara, apabila ia mempunyai kesibukan yang mendadak.

Hadist ke-8 & 9
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ- البخاري
Anas r.a. berkata: Nabi saw bersabda: Ratakan barisanmu, maka sesungguhnya meratakan barisan itu termasuk dalam menegakkan (menyempurnakan) shalat.
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ أَبِي الْجَعْدِ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ- البخاري

An-Nu’man bin Basyr ra. Berkata: Nabi saw bersabda: Hendaklah kalian meratakan barisanmu, atau jika tidak, maka Allah akan merubah wajahmu (Bukhari Muslim).
Pennjelasan
لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ artinya Allah benar-benar akan membuat arah muka kalian saling bertantangan. Tersirat dari hadist ini bahwa pelurusan sikap lahiriyah menunjukkan kesatuan pendapat. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernaah bersabda; "Luruskanlah Syaf kalian karena sesungguhnya meluruskan syaf termasuk kesempurnaan sholat.


Hadist ke 10
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ- البخاري
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw bersabda: ‘Apabila seseorang dari kamu mengimami orang, maka hendaklah dia meringankan shalatnya, karena dalam kalangan mereka ada yang kecil, yang tua, yang lemah dan yang mempunyai keperluan. Apabila dia shalat sendirian, maka boleh dia shalat menurut yang dia sukai. (Muttafaq ‘Alaih)
Di dalam Hadist tersebut terkandung dalil yang menunjukkan boleh bagi orang yang shalat sendirian melamakan shalatnya dalam semua rukun-rukunnya, walaupun ada yang kekhawatiran keluar atau habis waktunya.
Hadist tersebut dinilai shahih oleh sebagian Ulama’ yang mengikuti mazhab Syafi’I, hanya saja hadist tersebut bertentangan dengan hadist Qatadah (yang artinya): Termasuk kesalahan karena hanya penundaan shalat sehingga masuk waktu yang lain. Hadist ini diriwayatkan oleh Muslim.
Barang siapa yang meninggalkannya tanpa ada penentangan karena ada alasan seperti tidur atau lupa, maka dia wajib mengqhada saja dan jika meninggalkannya karena malas, maka dia berdosa dan wajib membunuhnya jika terus menerus melakukannya setelah disuruh bertaubat.
Yang benar bahwa dia tidak dikafirkan dan tetap dimandikan, dikafani dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.
Dan di dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqolaniy menafsirkan hadist di atas sebagai berikut;
- Secara umum, kata yang banyak digunakan adalah kata فَإِنَّ مِنْهُمْ tapi menurut Qusymihanyy, kata yang digunakan adalah فَإِنَّ مِنْهُمْ.
- Yang dimaksud dengan kata lemah ((الضَّعِيفَ di sini adalah lemah secara pembawaannya. Dan yang dimaksudkan dari kata sakit (السَّقِيمَ) adalah sakit dari penyakit. Dari aspek lain, Imam Muslim menambahkan dari Abi Zinad kata الصَّغِير. Dan begitu juga dengan at-Thobaraniyy menambahkan, dari Usman bin Abi Asy, kata وَالْحَامِل وَالْمُرْضِع.
- Sesungguhnya yang dimaksud dengan keumuman perintah untuk peringanan adalah khusus untuk para imam. Adapun sholat sendirian, maka tidak ada masalah untuk memperpanjang dalam sholat. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana bila bacaan yang panjang itu akan menghabiskan waktu yang ditentukan. Bagi Imam Muslim " فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ " maksudnya ialah meringankan atau memperpanjang adalah boleh walaupun sampai keluarnya waktu (habisnya waktu yang ditentukan). Tetapi hal ini bertentangan dengan pendapatnya Imam Muslim sendiri yang dikabarkan dari Abi Qatadah "Sesungguhnya suatu kecerobohan mengakhirkan sholat sehingga masuk waktu sholat yang lain". Jika terdapat pertentangan seperti ini, maka yang lebih didahulukan adalah menghilangkan kerusakan dalam masalah ini adalah meninggalkan hal-hal yang dapat merusak sholat harus didahulukan. Dari konteks yang umum juga, maka boleh untuk memperpanjang I'tidal dan duduk diantara dua sujud.
Makna Keseluruhan
Nabi saw memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada para imam dan ulama kaum muslim untuk memudahkan orang-orang yang shalat. Beliau memerintahkan mereka agar memperhatikan kondisi para makmumnya masing-masing. Tidak memperpanjang shalatnya sehingga tidak menjenuhkan.

Hadist ke-11
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلَاةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ - البخاري
Di dalam periwayatan Basyar bin bakr, redaksi awal hadist ini sedikit berbeda, yakni menggunakan لَأَقُومُ إِلَى اَلصَّلَاةِ وَأَنَا أُرِيد ُ
Secara eksplisit, sesungguhnya anak kecil beserta ibunya di dalam masjid namun ibunya tertidur di rumah membiarkan anaknya dan tibalah waktu sholat, maka terjagalah. Yang dimaksudkan disini (anaknya yang ditinggal dimasjid) ialah rumah sang ibu dekat dengan masjid yang sekiranya sang ibu bisa mendengarkan tangisan anaknya. Dan perlu diketahui bahwa hadist ini menunjukkan bolehnya memasukkan anak kecil di dalam masjid dan bolehnya wanita berjamaah bersama laki-laki.
Dan menurut Abul Abbas Azzabidi juga menjelaskan bahwa; seorang imam hendaknyalah sholatnya dengan singkat, tetapi sempurna agar semua makmun yang memgikuti di belakang menunaikannya dengan sempurna pula. Jika imam memberatkan makmumnya dengan cara mengerjakan sholat dalam waktu yang lama, sehingga makmumnya gelisah dan tidak dapat menunaikannya dengan sempurna, maka ialah yang menanggung dosanya.
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sesungguhnya yang pertama kali diperhitungkan pada seorang hamba adalah shalatnya, apabila shalatnya baik maka ia telah beruntung dan berhasil, namun apabila shalatnya rusak shalatnya rusak maka ia telah gagal dan rugi dan Ibadah shalat sunnah itu bisa menyempurnakan ibadah fardhu, jika dalam ibadah fardhunya belum sempurna.
Shalat itu merupakan pondasi dari segala macam amal ibadah kepada Allah karena ibadah shalat merupakan tendensi dimana setiap amal ibadah seseorang itu akan diterima, tatkala ibadah sholatnya telah sempurna sesuai dengan syariat agama Islam. Dan jika shalatnya masih belum sempurna bahkan ditolak, maka seluruh amal seseorang itu juga akan ditolak.
Orang yang meninggalkan sholat karena menentang dan mengingkari kewajibannya, maka sungguh ia telah kafir dan keluar dari agama serta wajib bagi imam untuk membunuhnya karena murtad kecuali jika dia masuk Islam, sebagaimana juga tertera di dalam al-Qur’an
        
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
Setiap orang yang mendengar suara adzan disunnahkan mengikuti suara muadzin, cukup dengan suara yang dapat didengar oleh yang bersangkutan. Jawaban yang dilakukan oleh si pendengar dinamakan hikayatul adzan (meniru adzan), yaitu dengan cara menirukan semua lafaznya kecuali hanya ‘alash shalaah dan hayya ‘alal falaah. Maka jawaban masing-masing dari keduanya ialah dengan kalimat laa haula walaa quwwata illa billaah.
Setiap kali dikumandangkan suara adzan dan iqamah, setan lari terbirit-birit menjauh sehingga tidak mendengar suara itu lagi. Setan juga selalu menggoda seseorang yang sedang shalat, sehingga orang itu teringat pada hal-hal yang sebelumnya dilupakannya. Kadang-kadang, seseorang yang hanyut dalam oleh godaan setan tidak menyadari jumlah rakaat shalat yang telah dikerjakannya. Akan tetapi, Nabi SAW telah memberi penangkal untuk menanggulanginya, yaitu tetap berpegang pada yang diyakininya. Setelah selesai shalatnya, lakukan sujud sahwi.
Menunaikan sholat berjama'ah di dalam masjid telah disyari'atkan karena banyak mengandung hikmah yang besar dan banyak keistimewaan, antara lain; pahala semakin bertambah, selaras banyaknya langkah yang terayun menuju masjid, terlebih lagi dalam malam yang gelap. Di dalam berjama'ah terpadulah kerukunan diantara kaum muslim, hati mereka bersatu dalam naungan ubadah yang paling besar. Di dalamnya orang yang besar berdiri sejajar dengan orang yang kecil, orang kaya dengan orang yang miskin. Sholat berjama'ah berpahala dua puluh tujuh kali lipat, khusus bagi sholat jahriyah (sholat yang bacaannya keras), sedangkan yang berpahala dua puluh lima kali lipat khusus bagi sholat sirriyah (sholat yang bacaannya pelan-pelan).
Rasulullah saw bersumpah dalam salah satu shalat ketika beliau merasa kehilangan orang-orang yang biasa mengikuti shalat berjama'ah. Beliau berniat akan melakukan suatu perkara besar untuk menghukum mereka atas ketidakhadirannya dalam shalat berjama'ah. Beliau berniat akan memerintahkan agar mengumpulkan kayu. Lalu beliau memerintahkan seorang lelaki untuk mengimami orang-orang sebagai pengganti dirinya, sementara beliau sendiri pergi menemui orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama'ah tersebut. Beliau akan membakar rumah-rumah mereka sebagai hukuman atas perbuatan mereka karena tidak menghadiri shalat berjama'ah. Seandainya mereka mengetahui bahwa dalam shalat berjama'ah itu mereka akan memperoleh bagian duniawi, niscaya mereka akan menghadiri shalat berjama'ah tersebut. Mereka melakukannya karena tujuan duniawi itu, bukan karena pahala akhirat serta kenikmatan yang ada padanya.
Ratakan barisanmu, maka sesungguhnya meratakan barisan itu termasuk dalam menegakkan (menyempurnakan) shalat dan bilamana tidak, maka Allah benar-benar akan membuat arah muka kalian saling bertantangan.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan keumuman perintah untuk peringanan adalah khusus untuk para imam. Adapun sholat sendirian, maka tidak ada masalah untuk memperpanjang dalam sholat. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana bila bacaan yang panjang itu akan menghabiskan waktu yang ditentukan. Bagi Imam Muslim " فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ " maksudnya ialah meringankan atau memperpanjang adalah boleh walaupun sampai keluarnya waktu (habisnya waktu yang ditentukan). Tetapi hal ini bertentangan dengan pendapatnya Imam Muslim sendiri yang dikabarkan dari Abi Qatadah "Sesungguhnya suatu kecerobohan mengakhirkan sholat sehingga masuk waktu sholat yang lain". Jika terdapat pertentangan seperti ini, maka yang lebih didahulukan adalah menghilangkan kerusakan dalam masalah ini adalah meninggalkan hal-hal yang dapat merusak sholat harus didahulukan. Dari konteks yang umum juga, maka boleh untuk memperpanjang I'tidal dan duduk diantara dua sujud.
Seorang imam hendaknyalah sholatnya dengan singkat, tetapi sempurna agar semua makmun yang memgikuti di belakang menunaikannya dengan sempurna pula. Jika imam memberatkan makmumnya dengan cara mengerjakan sholat dalam waktu yang lama, sehingga makmumnya gelisah dan tidak dapat menunaikannya dengan sempurna, maka ialah yang menanggung dosanya.








DAFTAR PUSTAKA

Abbas Az-Zabidi, Abdul, 1995. Syarah At-Tajridush Shariih Li-Ahaadiitsiil Jaami’ish Shahih Jilid I, Bandung Trigenda Karya.
'Alawi abbas Al-Makiki, Hasan Sulaiman An-Nuri, Penerjemah: Abu Bakar, Bahrun, 1994. Penjelasan Hukum-hukum syariat islam (ibanatul ahkam), Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Bakar Muhammad, Abu, 1991. terjemahan subulus salam juz II, Surabaya: al-Ikhlas.
Bahreisy, Salim, Terjemahan Al-Lu'lu' wal Marjan jilid I, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Hajar Al-Asqalani, Ibnu, 2006. Targhib wa arhib, Jakarta: Pustaka Azzam.
Hajar Al-Asqalani, Ibnu. Syarah kitab shohih bukhori. Maktab as-yamilah.
Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu, 2005. Rahasia Dibalik Shalat, Jakarta: Pustaka Azzam.
Dari kitab shalat dalam “Thabaqat al-Hanabilah”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar