BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dominasi pengaruh terhadap perkembangan seseorang tidak selalu dapat dilihat secara langsung dengan kasat mata karena kadangkala pengaruh yang ditanamkan tidak menancap dalam mempengaruhi pada psikis seseorang dan boleh jadi karena ketidakselarasan dengan nilai sosial sekitar yang digeluti yang secara tidak langsung dan sadar telah membentuk karakteristik dalam cara pandang.
Banyak faktor yang menyebabkan existnya diri seseorang yang tidak dapat diraba atau dipengaruhi dari luar dan begitu juga sebaliknya, lebih mudahnya untuk mempengaruhi seseorang.
Hal ini dapat dicontohkan pada existnya keyakinan Ibrahim terhadap Tuhan yang Esa, yang tidak ada sekutu atau partner bagi-Nya, bukan kepada berhala-berhala yang diyakini oleh masyarakat pada saat itu, baik raja Namrud sendiri maupun rakyatnya. Kuatnya faktor endogen yang ada pada diri Ibrahim tersebut tidak dapat dielakkan apalagi dinafikan dari dalam putaran rotasi sejarah, namun banyak juga masyarakat pada masa Ibrahim yang lebih mudah terpengaruh karena faktor eksogen.
Dari contoh lintasan sejarah Ibrahim di atas, manakah yang lebih unggul mendominasi antara faktor endogen dan eksogen? Atau kedua-duanya bisa saling melengkapi dengan mensinkronisasikan dua unsur tersebut yang sering disebut dengan persesuaian atau kovergensi.
Oleh karena itu, di bawah ini akan ditulis rumusan masalah yang menyangkut faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan dan akan dilanjutkan setelah rumusan masalah, yaitu pembahasan dari unsur-unsur apa saja yang ada pada rumusan masalah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa nativisme itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap faktor perkembangan?
2. Apa empirisme itu dan bagaimana pengaruhnnya terhadap faktor perkembangan?
3. dan bagaimana teori konvergensi itu sendiri?
BAB II
PEMBAHASAN
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Sebenarnya, sudah beberapa abad lalu para ilmuwan dan para pemikir memperhatikan seluk-beluk kehidupan anak, khususnya dari sudut perkembangannya, untuk memengaruhi berbagai proses perkembangan, mencapai kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup yang didambakan. Anak harus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang matang, yang sanggup dan mampu mengurus dirinya sendiri, dan tidak selalu bergantung pada orang lain, atau bahkan menimbulkan masalah bagi keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Sejak abad pertengahan, aspek moral dan pendidikan keagamaan, menjadi pusat perhatian dan menjadi tujuan umum dari pendidikan. Pandangan terhadap anak sebagai pribadi yang masih murni, jauh dari unsur-unsur yang mendorong anak pada perbuatan-perbuatan yang tergolong dosa dan tidak bermoral, banyak dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas keagamaan. Para tokoh agama dan kaum cendikiawan tentang masalah kemanusiaan, banyak mendorong dan mempengaruhi para orang tua untuk memperlakukan anak secara berbeda dengan orang dewasa. Para teolog, dokter, filsuf, dan ahli pendidikan memberikan pandangan mengenai anak dan latar belakang perkembanganya, serta pengaruh-pengaruh keturunan dan lingkungan hidup teerhadap kejiwaan anak.
Memasuki akhir abad ke-17, seorang filsuf bernama John Locke mengemukakan bahwa pengalaman dan pendidikan merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan kepribadian anak.
Meskipun dewasa ini sudah menjadi keyakinan umum bahwa setiap anak manusia perlu mendapatkan pendidikan, sekedar untuk menjadi bahan perbandingan, di sini dikemukakan teori-teori yang memberikan berbagai pandangan, baik yang menolak maupun yang menerima adanya pengaruh pendidikan tersebut.
Telah sekian lama para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi, dan lain-lain memikirkan dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan: sebetulnya, perkembangan manusia itu bergantung pada pembawaan ataukah pada lingkungan? Atau dengan kata lain, dalam perkembangan anak hingga menjadi dewasa, faktor-faktor yang mempengaruhi itu, yang dibawa dari keturunan (hereditas) ataukah pengaruh lingkungan? Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu dikemukakan di sini andanya beberapa pendapat dari berbagai aliran.
1. Aliran Nativisme
Nativisme merupakan kata dasar dari bahasa Latin, natus yang artinya lahir atau nativus yang mempunyai arti kelahiran, pembawaan. Nativisme (nativism) merupakan sebuah doktrin yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang filosof Jerman. Aliran filsafat nativisme konon dijuluki sebagai aliran pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan “kacamata hitam.” Mengapa begitu? Karena para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh pembawaannya.
Aliran nativisme mengemukakan bahwa manusia yang baru dilahirkan telah memiliki bakat dan pembawaan, baik karena berasal dari keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian. Manakala pembawaannya itu baik, baik pula anak itu kelak. Begitu pula sebaliknya, andaikata anak itu berpembawaan buruk, buruk pula pada masa pendewasaannya. Oleh karena itu, menurut aliran ini, pendidikan tidak dapat diubah dan senantiasa berkembang dengan sendirinya. Pendidikan, pengalaman atau segala pengaruh dari luar dianggap tak berdaya mengubah kekuatan-kekuatan yang dibawa sejak lahir atau pembawaan, dengan kata lain, yakni tidak berpengaruh apa-apa.
Dalam ilmu pendidikan, pandangan seperti ini disebut “pesimisme pedagogis”. Aliran ini disebut pula dengan Biologisme, karena mementingkan kehidupan individu saja, tanpa memperhatikan pengaruh-pengaruh dari luar. Di samping itu, aliran ini juga disebut dengan Negativisme, karena serba menafikan atau menegatifkan segala yang datang dari luar.
Meskipun teori ini dikatakan sebagai teori kuno, pengaruhnya sangat besar sampai abad modern ini. Dan ini, menurut beberapa literatur, ternyata dimulai dari seseorang penulis kurang kebih tahun 1900, Ellen Key, dalam bukunya De Eeuw van Het Kind (abad anak), yang menulis, antara lain, bahwa “Bapak ataupun Ibu tidak boleh memberikan peraturan kepada si anak, seperti juga mereka tidak berkah berkuasa mengubah peredaran bintang.” Sekolah, dikatakannya, tidak lain daripada pembunuhan jiwa anak yang mencekik pelik selaki pada sesuatu yang berharga bagi seseorang anak, yaitu kepribadiannya.
Jean Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filsuf Prancis, berpendapat bahwa semua orang ketika dilahirkan mempunyai dasar-dasar moral yang baik. Rousseau mempergunakan istilah “Noble Savage” untuk menerangkan segi-segi moral ini, yakni hal-hal mengenai baik atau buruk, benar atau salah, sebagai potensi pada anak dari kelahirannya. Pandangan Rousseau menjadi titik tolak dari pandangan yang menitikberatkan faktor dunia dalam atau faktor keturunan sebagai factor yang penting terhadap isi kejiwaan dan gambaran kepribadiaan seseorang. Karakteristik yang diperlihatkan seseorang bersifat intrinsik, dan karena itu, pandangan Rousseau digolongkan pada pandangan yang beraliran nativisme.
2. Aliran Empirisme
Aliran empirisme merupakan kebalikan dari aliran nativisme, dengan contoh utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah “The school of British Empiricism” (aliran empirisme Inggris).
Akan tetapi aliran ini lebih berpengaruh pada para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama “environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikolog bernama “environmental psychology” (psikolog lingkungan) yang relatif masih baru.
Aliran empirisme mengemukakan bahwa anak yang baru lahir laksana kertas kosong (blank slate/black table) yang putih bersih atau semacam tabula rasa (tabula = meja, rasa = lilin), yaitu meja yang bertutup lapisan lilin. Kertas putih bersih dapat ditulis dengan tinta warna apa pun, dan warna tulisannya akan sama dengan warna tinta tersebut. Begitu juga halnya dengan meja yang berlilin, dapat dicat dengan berwarna-warni, sebelum ditempelkan. anak diumpamakan bagaikan kertas putih yang bersih, sedangakan warna tinta, diumpamakan sebagai lingkungan (pendidikan) yang akan memberi pengaruh padanya; sudah pasti tidak mungkin tidak, pendidikan dapat memegang peranan penting dalam perkembangan anak, sedangkan bakat pembawaannya bisa ditutup dengan serapat-rapatnya oleh pendidikan itu.
Teori tabula rasa ini diperkenalkan oleh John Locke untuk mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan hidup terhadap perkembangan anak. Ketika dilahirkan, seorang anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan yang berasala dari lingkungan. Orang tua menjadi tokoh penting yang mengatur rangsangan-rangsangan dalam mengisi “secarik kertas” yang bersih ini.
Aliran ini disebut juga dengan Sosiologisme, karena sepenuhnya mementingkan atau menekankan pengaruh dari luar. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris terkenal dengan nama optimisme paedagogis. Kaum behavioris pun sependapat dengan kaum empiris.
Seorang filsuf barat, Immanuel Kant, yang memberikan dukungan terhadap aliran ini, pernah mengemukakan, ”Manusia dapat menjadi manusia hanya karena pendidikan.”Demikianlah, betapa besar pengaruh teori ini, sehingga tidak sedikit ahli didik yang menganutnya.
Jadi, kesimpulan aliran empirisme adalah perkembangan anak sepenuhnya tergantung pada faktor lingkungan; sedangkan faktor bakat, tidak ada pengaruhnya. Dasar pemikiran yang digunakan ialah bahwa pada waktu dilahirkan, anak dalam keadaan suci, bersih, seperti kertas putih yang belum ditulis, sehingga bisa ditulis menurut kehendak penulisnya.
3. Aliran Konvergensi
Aliran ini pada intinya merupakan perpaduan antara pandangan nativisme dan empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tokoh utama aliran konvergensi adalah Louis William Stern (1871-1938), seorang filsuf sekaligus sebagai psikolog Jerman.
Aliran filsafat yang dipeloporinya disebut “personalisme”, sebuah pemikiran filosofis yang sangat berpengaruh terhadap disiplin ilmu yang berkaitan dengan manusia di antara disiplin ilmu yang menggunakan asas personalisme adalah “personologi”, yang mengembangkan teori yang komprehensif (luas dan lengkap) mengenai kepribadian manusia.
Stern dan para pengikutnya, dalam menetapkan faktor yang memengaruhi perkembangan manusia, tidak hanya berpegang pada pembawaan saja, tetapi berpegang pada kedua faktor yang sama pentingnya itu. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Perkembangan yang sehat akan berkembang jika kombinsai dari fasilitas yang diberikan oleh lingkungan dan potensialitas kodrati anak bisa mendorong berfungsinya segenap kemampuan anak. Dan kondisi sosial menjadi sangat tidak sehat apabila segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi psiko-fisis anak.
Pengaruh yang paling besar selama perkembangan anak pada lima tahun pertama ialah pengaruh orang tuanya. Pengaruh tersebut lebih mencolok lagi jika terjadi “salah bentuk” pada diri anak akibat “salah tindak” orang tuanya.
Dengan demikian, keadaan ini dapat dinyatakan bahwa faktor pembawaan maupun pengaruh lingkungan yang berdiri sendiri tidak dapat menentukan secara mutlak dan bukan satu-satunya faktor yang menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang.
Dari bermacam-macam istilah teori perkembangan seperti tersebut di atas, teori yang dikemukakan oleh Louis William Stern-lah yang merupakan teori yang dapat diterima oleh para ahli pada umumnya. Sehingga teori yang dikemukakan Louis William Stern merupakan salah satu hukum perkembangan individu di samping adanya hukum-hukum perkembangan yang lain.
Di Indonesia sendiri, teori konvergensi inilah yang dapat diterima dan dijadikan pedoman seperti yang diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara:
“Tentang hubungan antara dasar dan keadaan ini menurut ilmu pendidikan ditetapkan adanya ‘konvergensi’ yang berarti bahwa kedua-duanya saling mempengaruhi, sehingga garis dasar keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu. Mengenai perlu tidaknya tuntutan di dalam tumbuhnya manusia, samalah keadaannya dengan soal perlu atau tidaknya pemeliharaan dalam tumbuhnya tanam-tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik pada dasarnya, jatuh pada tanah yang baik, banyak airnya dan mendapat sinar matahari, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan dan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu walaupun pada dasarnya baik, namun tidak dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan.
Sebaliknya, kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lain-lainnya yang tidak baik dasarnya.”
Jadi, baik faktor pembawaan (gen) dan lingkungan itu diperlukan bagi seseorang meski hanya sekedar ada di dunia. Faktor bawaan dan lingkungan bekerja sama untuk menghasilkan kecerdasan temperamen, tinggi badan, berat badan, kecakapan membaca, dan sebagainya. Tanpa gen, tidak akan ada perkembangan, tanpa lingkungan tidak ada pula perkembangan karena pengaruh lingkungan tergantung pada karakteristik genetik bawaan, jadi dapat kita katakan bahwa ke-2 faktor di atas saling berinteraksi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai penutup uraian ini, maka yang perlu disadari bahwa pengaruh pembawaan dan pengaruh lingkungan, atau dasar dan ajar, ataupun pengaruh kekuatan dari dalam (endogen) dan kekuatan dari luar (eksogen), memang tidak selalu tetap. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diingat; pertama, sifat pembawaan yang ada; kedua, sifat lingkungan, dan ketiga, intensitas lingkungan. Ada beberapa sifat dan ciri manusia yang benar-benar tegar terhadap pengaruh lingkungan. Sebaliknya, ada pula sifat-sifat yang nampaknya sangat plastis terhadap pengaruh lingkungan. Jadi, tegar atau plastisya bergantung terhadap sifat dan intensitas dari kedua faktor tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Abd. Rahman. 1993. Psikolog Pendidikan, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Ahmadi, Abu. 1992. Psikologi Umum, Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmadi, Abu dan Sholeh, Munawar. 2005. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka Cipta.
Sabour, Alex. 2003. Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia.
Santrock, John W. Adoleslescence (Perkembangan Remaja),
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
KONSTITUSI
Daftar isi
Kata pengantar…………………………………………………….….i
Daftar isi……………………………………………………………...ii
Bab I. PENDAHULUAN…………………………………………….1
A. Latar Belakang………………………………..…..……...…..1
B. Rumusan Masalah………………………………………...….1
Bab II. PEMBAHASAN……...……………………………………....2
A. Pengertian konstitusi dan tugas konstitusi……………………2
B. Sejarah lahirnya konstitusi……………………………………3
C. Pentingnya konstitusi dalam Negara………………………….5
D. Konsep dasar konstitusi……………………………………….6
E. Konstitusi demokrasi ……………………………………........9
F. Perubahan konstitusi ………………………………...............10
BAb III. PENUTUP………………………………………………….12
Kesimpulan…………………………………..………………12
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………...13
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Sebagai mana kita pahami betapa pentingnya suatu konstitusi bagi suatu negara, yang ke depannya konstitusi tersebut dapat memberikan konsep keteraturan bagi suatu negara. Oleh karena itu kita sebagai generasi muda penerus Bangsa amatlah penting untuk memahaminya, agar kita menjadi generasi yang bisa memahami konstitusi negara kita sendiri khususnya dan negara-negara lain pada umumnya.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu konstitusi?
2. Bagaimanakah awal mula lahirnya konstitusi?
3. Mengapa setiap negara memerlukan konstitusi?
4. Apa saja konsep dasar konstitusi?
5. Apa itu konstitusi demokrasi?
6. Bolehkah konstitusi diubah?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konstitusi dan tujuan Konstitusi
Terdapat dua istilah terkait dengan norma atau ketentuan dasar dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Kedua istilah tersebut adalah Konstitusi dan undang-undang dasar. Konstitusi berasal dari bahasa Prancis, constituer, yang berarti membentuk. Maksud dari istilah tersebut adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan dua kata, yakni cume, berarti "bersama dengan. . .",dan statuere, berarti "membuat sesuatu agar berdiri" atau "mendirikan, menetapkan sesuatu". Sedangkan undang-undang dasar merupakan terjemahan dari istilah Belanda, grondwet. Kata grond berarti tanah atau dasar, dan wet berarti undang-undang.
Istilah konstitusi (Constitution) dalam bahasa Inggris memiliki makna yang lebih luas dari undang-undang dasar, yakni keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana pemerintah diselenggarakan dalam masyarakat. konstitusi, menurut Miriam Budiardjo, adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Sedangkan undang-undang dasar merupalan bagian tertulis dari konstitusi.
Dari pengertian konstitusi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada penguasa.
2. Dokumen tentang pembagian tugas dan wewenangnya dari sistem politik yang diterapkan.
3. Deskripsi yang menyangkut hak asasi manusia.
Secara garis besar, tujuan Konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wanang pemerintah dan menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasan yang berdaulat. Menurut Bagir Manan, hakekat dari konstitusi merupakan perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk di pihak lain.
Sedangkan, menurut Sri Soemantri, dengan mengutip pendapat Steenbeck, menyatakan bahwa terdapat tiga materi muatan pokok dalam konstitusi, yaitu:
1. Jaminan hak-hak manusia;
2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar;
3. Pembagian dan pembatasan kekuasaan.
Dalam paham konstitusi demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi meliputi:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3. peradilan yang bebas dan mandiri.
4. pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat cakupan isi konstitusi di atas merupakan dasar utama dari suatu pemerintah yang konstitusional. Namun demikian, indikator suatu negara atau pemerintah disebut demokratis tidaklah tergantung pada konstitusinya. Sekalipun konstitusinya telah menetapkan aturan dan prinsip-prinsip diatas, jika tidak diimplementasikan dalam praktik penyelenggaraan tata pemerintahan, ia belum bisa dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi demokrasi.
B. Sejarah Lahirnya Konstitusi
Catatan historis timbulnya negara konstitusional sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah lama dikenal sejak zaman Yunani, dimana mereka telah memiliki beberapa kumpulan hukum.
Kota Athena pernah mempunyai tidak kurang dari sebelas konstitusi, pada masa itu pemahahaman tentang ”konstitusi” hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata.
Sejalan dengan perjalanan waktu, dimasa kekuasaan Roma pengertian konstitusi mengalami perubahan makna; ia merupakan suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan dan pendapat ahli hukum, negarawan, serta adat kebiasaan setempat selain undang-undang. Konstitusi Roma memiliki pengaruh sangat besar sampai abad pertengahan yang memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham demokrasi perwakilan konstitusionalisme modern.
Pada abad VII lahirlah piagam Madinah atau konstitusi Madinah. Piagam Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islam (622 M) merupakan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh bermacam kelompok dan golongan. Konstitusi Madinah yang berisikan tentang hak bebas berkeyakinan, berpendapat, bersosialasasi dan mengatur kepentingan umum dalam kehidupan sosial yang majemuk. Konstitusi Madinah merupakan suatu bentuk konstitisi pertama di dunia yang telah memuat meteri sebagaimana selayaknya konstitusi modern dan telah mendahului konstitusi lainnya di dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Selanjutnya pada abad XVII, kaum bangsawan inggris yang menang dalam revolusi istana telah mengakhiri masa absolutisme kekuasaan raja dan menggantikannya dengan sistem parlemen sebagai pemegang kedaulatan. Akhir dari revolusi ini adalah deklarasi kemerdekaan 12 negara koloni Inggris pada 1776, dengan menetapkan konstitusi sebagai dasar negara yang berdaulat.
Pada tahun 1789 meletus revolusi Prancis, yang ditandai oleh ketegangan-ketegangan di masyarakat dan menganggu stabilitas keamanan negara. Kekacauan sosial di Prancis memunculkan perlunya konstitusi. Maka pada 14 September 1791 dicatat sebagai peristiwa diterimanya konstitusi Eropa pertama oleh Louis XVI.
Sejak peristiwa inilah sebagian besar negara di dunia, baik monarki maupun republik, negara kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan prinsip ketatatnegaraannya pada sandaran konstitusi. Di Prancis muuncul sebuah buku karya J.J. Rousseau, Du Contract Social yang menyatakan bahwa mannusia terlahir dalam keadaan bebas dan sederajat dalam hak-haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan konstitusi Prancis (1791), khususnya yang menyangkut hak-hak asasi manusia.
C. Pentingnya Konstitusi Dalam Negara
Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam disertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau Undang-undang Dasar adalah sebagai pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan.
Sejalan dengan pemahaman di atas, Struycken dalam bukunya Net Staatsrecht van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa konstitusi merupakan barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding father, serta memberi arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan suatu negara yang akan dipimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini tercover dalam konstitusi, sehingga benarlah kalau konstitusi merupakan cabang yang utama dalam studi ilmu hukum tata negara.
Pada sisi lain, eksistensi suatu ”negara” yang diisyaratkan oleh A. G. Pringgodigdo, baru riel ada kalau telah memenuhi empat unsur, yaitu:
1) Memenuhi unsur pemerintahan yang berdaulat,
2) Wilayah Tertentu
3) Rakyat yang hidup teratur sebagai suatu bangsa (nation), dan
4) Pengakuan dari negara-negara lain.
Dari keempat unsur untuk berdirinya suatu negara ini belumlah cukup menjamin terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa kalau belum ada hukum dasar yang mengaturnya. Hukum dasar yang dimaksud adalah sebuah konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Prof. Mr. Djokosutono melihat pentingnya konstitusi dari dua segi. Pertama, dari segi sisi (naar de Inhoud) karena konstitusi memuat dasar dari struktur dan memuat fungsi negara. Kedua, dari segi bentuk (Naar de Maker) oleh karena yang memuat konstitusi bukan sembarangan orang atau lembaga. Mungkin bisa dilakukan oleh raja, raja dengan rakyatnya, badan konstituante atau lembaga diktator.
Pada sudut pandang yang kedua ini, K. C. Wheare menggkaitkan pentingnya konstitusi dengan peraturan hukum dalam arti sempit, dimana konstitusi dibuat oleh badan yang mempunyai ”wewenang hukum” yaitu sebuah badan yang diakui sah untuk memberikan kekuatan hukum pada konstitusi.
D. Konsep Dasar Konstitusi
A. Istilah Konstitusi
Istilah konstitusi secara umum menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur atau memerintah negara, peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis.
Sehubungan dengan konstitusi ini para sarjana dan Ilmuan Hukum Tata Negara terjadi perbedaan pendapat:
1. Kelompok yang menyamakan konstitusi dengan undang-undang;
2. Kelompok yang membedakan konstitusi dengan undang-undang.
Menurut paham Herman Heller, konstitusi mempunyai arti yang lebih luas dari undang-undang. Dia membagi konstitusi dalam tiga pengertian antara lain:
a. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die Polotiche Verfasung Als Gesellchaftliche)
b. Unsur-unsur hukum dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat dijadikan sebagai suatu kesatuan hukum dan tugas mencari unsur-unsur hukum '' Abstraksi ''.
c. Ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi dan berlaku dalam suatu negara.
Menurut Lord Bryce, terdapat empat motif timbulnya konstitusi :
1. Adanya keinginan anggota warga negara untuk menjamin hak-haknya yang mungkin terancam dan sekaligus membatasi tindakan-tindakan penguasa;
2. Adanya keinginan dari pihak yang diperintah atau yang memerintah dengan harapan untuk menjamin rakyatnya dengan menentukan bentuk suatu sistem ketatanegaraan tertentu;
3. Adanya keinginan dari pembentuk negara yang baru untuk menjamin tata cara penyelenggaraan ketatanegaraan;
4. Adanya keinginan untuk menjamin kerja sama yang efektif antar negara bagian.
B. Pembagian dan Klasifikasi Konstitusi
Where membedakan konstitusi atas tiga bagian:
1) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
Suatu konstitusi dikatakan tertulis bila berupa suatu naskah (Documentary Constitution). Sedangkan konstitusi tidak tertulis tidak berupa naskah (Non-Documentary constitusion)
2) Konstitusi fleksibel dan rigid
Suatu konstitusi dikatakan fleksibel jika cara dan prosedur perubahannya mudah. Sebaliknya jika sulit cara dan prosedur perubahannya, maka ia termasuk jenis yang rigid.
3) Konstitusi derajat-tinggi dan tidak derajat-tinggi
Yang dimaksud berderajat tinggi ialah suatu konstitusi memmiliki kedudukan tetinggi dalam suatu negara. Dan jika dilihat dari bentuknya, ia berada diatas peraturan perundang-undangan yang lain. Sementara konstitusi yang tidak berderajat tinggi ialah yang tidak memiliki kedudukan serta derajat seperti konstitusi berderajat tinggi.
C. Nilai Konstitusi
Menurut Karl Loewenstein terdapat tiga nilai konstitusi:
a. Nilai Normatif
Hal ini diperoleh apabila segenap rakyat suatu Negara menerimanya dan bagi mereka konstitusi tersebut merupakan suatu kenyataan hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Artinya konstitusi benar-benar dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
b. Nilai Nominal
Konstitusi yang mempunyai nilai nominal yaitu berarti secara hukum konstitusi tersebut berlaku, tetapi kenyataannya kurang sempurna. Sebab pasal-pasal tertentu dalam konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku.
c. Nilai Semantik
Dalam hal ini konstitusi hanya sekedar istilah saja. Meskipun secara hukum konstitusi tetap berlaku, tetapi dalam kenyataanya pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan kepentingan pihak penguasa.
D. Sifat Konstitusi
Sifat pokok konstitusi negara adalah fleksibel dan juga rigid. Menurut james Bryce, konstitusi dikatakan fleksibel bila bercirikan: Elastis karena dapat menyesuaikan dirinya dengan mudah dan memungkinkan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang serta konstitusi tersebut dinamis. Sisi negatif dari konstitusi yang fleksibel adalah membawa akibat kemerosotan pada kewibaawaan konstitusi itu sendiri. Sedangkan dikatakan rigid bila ia sulit diubah.
E. Konstitusi Demokrasi
Pembahsan konstitusi erat kaitannya dengan sistem demokrasi yang dianut oleh suatu Negara. Kebanyakan Negara modern sekarang menganut sistem demokrasi konstitusional. Yang menjadi cirri khas demokrasi konstitusional adalah adanya pemerintahan kekuasaannya yang terbatas dan tidak diperkenankan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan tersebut tercantum dalam konstitusi. Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasan negara berada di tangan rakyat. Pemegang kekuasaan dibatasi wewengannya oleh konstitusi sehingga tidak melanggar hak-hak asasi rakyat. Antara kekuasaan eksekutif dan cabang-cabang kekuasaan lainnya terdapat ceck and balance. Lembaga legislatif mengontrol kekuasaan eksekutif sehingga tidak keluar dari rel konstitusi.
Tujuan utama konstitusi ialah membatasi secara efektif kekuasaan pemerintahan, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Tujuan penting dari konstitusi ialah untuk melindungi hak-hak dasar warga negara dari penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara Negara.
Kedua tujuan tersebut hanya dapat dicapai jika pengorganisasian kekuasaan negara tidak menumpuk pada satu badan atau satu orang saja, kekuasaan haruslah didistribusikan. Dengan pendistribusian kekuasaan ke beberapa atau lembaga dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Maka dari itulah istilah konstitusionalisme muncul untuk menandakan suatu sistem asas-asas pokok yang menatapkan dan membatasi kekuasaan serta hak bagi yang memerintah (pemegang kekuasaan) maupun bagi yang diperintah.
F. Pengertian Perubahan Konstitusi
Menurut Dasril Rabjad, perbuatan merubah harus diartikan dengan mengubah, yang dalam bahasa Inggris adalah To Amend The Constitution sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan Verandring (Veranderingen) in de Grondwet. Sedangkan menurut John M. Echols menyebutkan bahwa amandemen adalah amandemen yang dalam arti bahasa berarti mengubah undang-undang dasar.
Lebih tegas menurut Sri Soemantri:
"Dengan memperhatikan pengalaman-pengalaman dalam mengubah konstitusi di Kerajaan Belanda, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. Maka mengubah undang-undang dasar tidak hanya mengandung arti menambah, mengurangi, mengubah kata-kata dan istilah maupun kalimat dalam undang-undang dasar. Tetapi juga berarti membuat isi ketentuan undang-undang dasar menjadi lain daripada semula, melalui penafsiran."
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan perubahan konstitusi adalah segala usaha untuk menambah dan atau mengurangi baik sebagian atau seluruh makna yang terkandung dalam konstitusi tersebut melalui suatu mekanisme perubahan yang ditentukan berdasarkan peraturan ketatanegaraan yang berlaku.
Perubahan konstitusi merupakan keharusan dalam sistem ketatanegaraan suatu negara, karena bagaimanpun konstitusi haruslah sesuai dengan ralitas kondisi bangsa dan warga negaranya. Dengan kata lain, bahwa sifat dinamis suatu bangsa terhadap setiap peradaban harus mampu diakomodasi dalam konstitusi negara tersebut. Karena jika tidak, maka bukan tidak mungkin bangsa dan negara tersebut akan tergilas oleh arus perubahan peradaban itu sendiri.
PENUTUP
Kesimpulan
Konstitusi adalah suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas pokok badan-badan pemerintah suatu negara yang secara garis besar bertujuan untuk membatasi tindakan sewenang-wenang pemerintah dan untuk menjamin hak-hak yang diperintah.
Secara historis timbulnya konstitusi sebagai sesuatu jerangka kehidupan telah dan sejak zaman Yunani.
Konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ketatanegaraan karena ia berfungsi sebagai pegangan dan pembari batas kekuasaan Negara.
Perubahan konstitusi merupakan suatu keharusan dalam system ketatanegaraan dalam suatu Negara, konstitusi karena sebuah konstitusi haruslah sesuai dengan realitas kondisi bangsa dan negara yang sesuai dengan sifat konstitusi sendiri, yaitu fleksibel dan rigid.
DAFTAR PUSTAKA
Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Persiden RI Dalam Penyelenggaraan NegaraI, Jakarta: Disertasi UI.
Kansil, C.S.T. 1989. Hukum Antara Tata Pemerintahan, Jakarta: Airlangga,
Kusnardi, M. dan Ibrahim, Harmaily. 1985. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bhakti.
Projodikoro, Wirjono. 1989. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat.
Radjab, Dasril. 1994. Hukum Tata negara Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Soemantri, Sri. 1971. Perbandingan Hukum Tatanegara, Bandung: Alumni.
Titok, Sumbodo. 1993. Hukum Tata Negara, Jakarta: Eresco.
Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul Demikrasi, HAM, dan Masyarakat
Wolhoff, G. J. 1960. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Timun Mas.
Pelapisan Sosial
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Sudah menjadi wahana yang tidak asing lagi dalam masyarakat bila terjadi suatu pelapisan sosial dan diskriminatif yang terstruktur rapi seperti indahnya sarat lukisan yang di dalamnya penuh dengan gejolak pertarungan jiwa dalam jiwa seniman. Fenomena di atas telah menjadi hal yang lumrah dalam suatu masyarakat, terutama dalam masyarakat kota, karena seakan-akan menjadi budaya dan sebuah lingkaran hitam yang menyelimuti yang tidak lepas dari konteks bagaimana cara individu memahami. Berbagai perbedaan pada tataran parktis jika tidak direspon dengan suatu kearifan intelektual dan tindakan akan berkibat fatal karena hal ini bisa menjadi pendorong mencuatnya perlakuan yang lebih cenderung memihak kepada yang lebih kuat.
Oleh karena itu, di bawah ini akan ditulis rumusan masalah yang menyangkut faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pelapisan sosial, menjelaskan persamaan derajat, dan diskriminasi serta pemerataan dan akan dilanjutkan setelah rumusan masalah, yaitu pembahasan dari unsur-unsur apa saja yang ada pada rumusan masalah tersebut
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelapisan sosial itu bisa terjadi?
2. Bagaimana memahami persamaan derajat?
3. Bagaimana terjadi diskriminasi dalam kehidupan sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Pelapisan Sosial
Pelapisan diambil dari kata dasar lapis yang secara istilah stratifikasi (stratification) berasal dari kata strat atau strarum yang berarti lapisan. Oleh karena itu, social stratification sering diterjemahkan dengan pelapisan masyarakat. Dari sini, Patirim A. Sorokin memberi definisi mengenai hal ini bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.
Dasar-dasar Pembentukan Pelapisan Sosial
ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut:
1. Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
2. Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
3. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
4. Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Sebab-Sebab Terjadinya Stratifikasi Sosial
Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat/seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yangrendah.
Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pejabat/ketua atau pemimpin pasti menempati lapisan yang tinggi daripada sebagai anggota masyarakat yang tidak mempunyai tugas apa-apa. Karena penghargaan terhadap jasa atau pengabdiannya seseorang bisa pula ditempatkan pada posisi yang tinggi, misalnya pahlawan, pelopor, penemu, dan sebagainya. Dapat juga karena keahlian dan ketrampilan seseorang dalam pekerjaan tertentu dia menduduki posisi tinggi jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak mempunyai ketrampilan apapun.
Proses Terjadinya Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial terjadi melalui proses sebagai berikut:
a. Terjadinya secara otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya, kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat
b. Terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang kepada seseorang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti: pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata.
SIFAT STRATIFIKASI SOSIAL
Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedak menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran.
a. Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification)
Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja.
Contoh:
- Sistem kasta. Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.
- Rasialis. Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih.
- Feodal. Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan/majikan.
b. Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification)
Stratifikasi ini bersifatdinamis karenamobilitasnya sangatbesar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal.
Contoh:
- Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.
- Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperolehpendidikan asal ada niat dan usaha.
c. Stratifikasi Sosial Campuran
Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya,seorang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.
FUNGSI STRATIFIKASI SOSIAL
Stratifikasi sosial dapat berfungsi sebagai berikut :
a) Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif, seperti menentukan penghasilan,tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang pada jabatan/pangkat/ kedudukan seseorang.
b) Sistem pertanggaan (tingkatan) pada strata yang diciptakan masyarakat yang menyangkut prestise dan penghargaan, misalnya pada seseorang yangmenerima anugerah penghargaan/gelar/kebangsawanan, dan sebagainya.
c) Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat melalui kualitas pribadi,keanggotaan kelompok, kerabat tertentu, kepemilikan, wewenang atau kekuasaan.
d) Penentu lambang-lambang (simbol status) atau kedudukan, seperti tingkah\laku, cara berpakaian dan bentuk rumah.
e) Tingkat mudah tidaknya bertukar kedudukan.
f) Alat solidaritas diantara individu-individu atau kelompok yang menduduki sistem sosial yang sama dalam masyarakat.
KESAMAAN DERAJAT
Derajat berkaitan dengan kedudukan atau status. Sedangkan derajat sosial adalah akibat dari kedudukan sosial atau posisi sosial. Demikian pula derajat seseorang adalah merupakan hasil atau pencerminan dari kedudukannya dan kedudukan itu membawa konsekuensi kewajiban untuk berperan. Dengan kedudukan yang diimbangi dengan peran, maka seseorang memiliki dan berhak menempati derajat tertentu.
1. Persamaan Hak
mengenai persamaan hak ini telah dicantumkan dalam pernyataan sedunia hak-hak asasi manusia tahun 1948 dalam pasal- pasalnya, seperti dalam :
1. pasal 1 : sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
2. pasal 2 ayat 1 : setiap orang berhak atasa semua hak- hak dan kebebasan- kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tak ada kecuali apapun, seperti bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik, kelahiran ataupun kedudukan.
2. Persamaan Derajat di Indonesia
Negara republik Indonesia menganut asas bahwa setiap warga Negara tanpa kecuali memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Hukum dibuat untuk melindungi dan mengatur masyarakat secara umum tanpa ada perbedaan tentang hak- hak asasi itu, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. empat pokok hak asasi dalam empat pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Pokok pertama, tentang persamaan kedudukan dan kewajiban warga Negara didalam hukum dan di muka pemerintahan.pasal 27 ayat 2 menetapkan"segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya"
Pokok kedua, dalam pasal 28 ditetapkan tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan berpendapat yang isinya "kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh Undang-Undang."
Pokok ketiga, dirumuskan tentang kebebasan dalam memeluk agama bagi penduduk yang dijamin oleh Negara.yang ditetapkan dalam pasal 29 ayat 2"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Pokok keempat, pasal 31 negara mengatur hak asasi yang berkaitan dengan hak mendapatkan pengajaran yang layak.pasal ini berbunyi:(1) tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran, dan (2) pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional,yang diatur dengan undang-undang.
DISKRIMINASI SOSIAL
Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, etni, kelompok, golongan, status, dan kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik serta batas Negara dan kebangsaan seseorang.
Tuntutan atas kesamaan hak bagi setiap manusia berdasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Sifat dari HAM adalah universal dan tanpa pengecualian tidak dapat dipisahkan dan saling tergantung. Berangkat dari pemahaman tersebut, seyogyanya sikap-sikap yang didasarkan pada etnosentris, rasisime, religius, dan diskrimination harus dipandang sebagai tindakan yang menghambat pengembangan kesederajatan dan demokrasi, penegakan hukum dalam kerangka pemajuan HAM.
Pasal 281 ayat 2 UUD NKRI 1945 telah menegaskan bahwa: "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu." Sementara itu pasal 3 UU nomor 30 tahun 1999 tentang HAM telah menegaskan bahwa: ". . . setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat. . ." ketentuan tersebut merupakan landasan hukum yang mendasari prinsip non diskriminasi di Indonesia.
Dalam demokrasi, diskriminasi seharusnya telah ditiadakan dengan adanya kesataraan dalam bidang hukum, kesederajatan dalam perlakuan adalah salah satu wujud ideal dalam kehidupan Negara yang demokratis akan tetapi berbagai penelitian dan pengkajian menunjukkan bahwa kondisi di Indonesia belum mencerminkan penerapan asas persamaan di muka umum secara utuh.
Pada dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja akan tetapi karena adanya beberapa faktor penyebab antara lain adalah:
1. persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan terutama ekonomi terutama ekonomi.
2. tekanan dan intimidasi biasanya dilakukan oleh sekelompok yang dominan terhadap kelompok yang dominan terhadap kelompok yang kelompok yang lebih lemah.
3. ketidak berdayaan golongan intimidasi yang nereka dapatkan membuat mereka terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial.
Derajat seseorang adalah merupakan hasil atau pencerminan dari kedudukannya dan kedudukan itu membawa konsekuensi kewajiban untuk berperan. Mengenai persamaan hak ini telah dicantumkan dalam pernyataan sedunia hak-hak asasi manusia tahun 1948 dalam pasal- pasalnya.
Tuntutan atas kesamaan hak bagi setiap manusia berdasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Dalam demokrasi, diskriminasi seharusnya telah ditiadakan dengan adanya kesataraan dalam bidang hukum, kesederajatan dalam perlakuan adalah salah satu wujud ideal dalam kehidupan Negara yang demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Noor, M. Arifin, 1999, Ilmu Sosial Dasar, Bandung: Pustaka Setia.
Mawardi dan Hidayati, Nur, 2007, IAD/IBD/ISD, Bandung: Pustaka Setia.
Soeloeman, Munandar, 2006, Ilmu Sosial Dasar, Bandung: Refika Aditama.
M, Elly, A.H, Kama, dan Ridwan, 2005, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana Media group.
perbandingan antara filsafat, sains, dan agama & analisis perkembangan pemikiran filsafat
Sebelum membahas mengenai perbandingannya, maka sebaiknya bila terlebih dahulu membahas masalah pengertian-pengertiannya karena dengan hal semacam itu akan sedikit banyak membantu untuk menjawab pertanyaan di atas.
Filsafat Secara Etimologi (Bahasa) berasal dari bahasa Yunani yaitu ”philosophia”, Philo berarti cinta, dan sophia berarti Kebijakan (Wisdom). Jadi philosophia berarti cinta kebijakan. Sementara secara terminologi dapat dilihat di bawah ini:
• Plato (427SM-348SM), filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencari kebenaran yang asli (hakiki).
• Aristoteles (382 SM-322SM), filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
• Rene Descartes (1590-1650M) filsafat adalah kumpulan pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
• Immanuel Kant (1724-1804M), filsafat adalah pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, apakah yang dapat kita ketahui (masalah metafisika), apakah yang seharusnya kita ketahui (persoalan etika), sampai di mana harapan kita (persoalan agama), apakah yang dinamakan manusia (persoalan antropologi).
• Harun Nasution, filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas dan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.
Obyek Filsafat itu ada dua, yaitu obyek materi dan obyek formal yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Obyek materi atau material filsafat adalah segala sesuatu yang dipermasalahkan oleh filsafat atau segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.
• Sedang obyek formal filsafat ialah penyelidikan yang mendalam. Artinya ingin tahunya filsafat adalah bagian dalamnya (hakikatnya) yang tidak empiris tetapi yang abstrak dan logis. Bisa dikatakan juga bahwa obyek formalnya itu bersifat non-fragmentaris karena filsafat mencari pengertian realitas secara luas dan mendalam.
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata 'science' yang secara etimologis berasal dari kata latin 'scienre', artinya 'to know'. Dalam pengertian yang sempit scrience diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. Beberapa definisi secara terminologi mengenai science dapat dilihat di bawah ini:
• Horld H. Titus, ilmu yang diartikan sebagai common sense yang diatur dan diorganisasikan, mengadakatan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode observasi, teliti, dan kritis.
• Baiquni, Science merupakan general konsensus dari masyarakat yang terdiri dari scientist.
Obyek ilmu pengetahuan itu sama halnya dengan filsafat, ada dua, yaitu obyek matetial dan formal yang dapat dijelaskan sebagai berikut;
• Obyek material ilmu pengetahuan adalah segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, baik manusia maupun alam itu sendiri.
• Sementara Obyek Formal ilmu pengetahuan adalah mengobservasi dengan logis dan dapat dibuktikan dengan bukti empiris.
Setelah memaparkan tentang bagaimana arti dan obyek fisafat dan ilmu pengetahuan, maka pada kelajutan di bawah akan diterangkan mengenai pengertian agama:
Sebenarnya tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena agama bersifat batiniyyah, subyektif, dan individualistis. Jika kita membicarakan masalah agama maka akan dipengeruhi oleh pandangan pribadi, dan juga dari pandangan agama yang kita anut. Namun agama bertitik tolak dari adanya sesuatu kepercayaan terhadap sesuatu yang supralogis, lebih berkuasa, lebih agung, lebih mulia daripada makhluk. Agama berhubungan dengan masalah ketuhanan dan apa saja yang ada dalam konsep pedoman hidup.
Mengenai obyek agama, tidak jauh berbeda dengan kedua konsep obyek di atas, baik filsafat maupun ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, obyek agama itu ada dua, yaitu dapat dipadatkan menjadi obyek abstrak dan supralogis.
Untuk lebih mudanya untuk menggolongkan ketiga hal yang telah dibahas, di bawah ini akan dibuatkan tabel perbandingannya:
Filsafat Obyek Paradigma Metode Ukuran
Abstrak dan Logis Logis Rasio Logis
Sains Empiris dan logis Positivistis Sains Logis dan bukti empiris
Agama Abstrak dan supralogis Mistis Latihan Mistik Rasa yakin, kadang-kadang empiris
Keterangan:
Di sini banyak sekali keterangan di atas yang belum ada mengenai bagaimana ukuran, metode, dan paradigma. Hal ini memang disengaja karena menurut penulis untuk penjelasan mnegenai perbandingan antara filsafat, sains/ilmu pengetahuan, dan agama dicukupkan pada esensinya, yaitu pengertian dari ketiga hal tersebut serta obyek dari ketiga hal yang dipertanyakan sehingga agar dapat dipahami lebih mudah.
Proses perkembangan pemikiran filsafat dapat dipetakan dalam beberapa periodesasi yang setiap periode mempunyai ciri khas masing-masing dalam berfilsafat yang akan dijelaskan di bawah ini:
1. Filsafat Yunani Kuno;
Pertama, pada periode pertama ini adalah tahap kelahiran filsafat yang didominasi oleh filsafat tentang alam. Adapun tokoh-tokoh dalam masa kelahiran filsafat ini sangat banyak sehingga yang dapat disebutkan disini hanya beberapa saja, seperti: Thales, seorang filosof alam pertama(625-545 SM) yang menyatakan bahwa "air adalah bahan dasar alam semesta". Heraklitos (540-480 SM), filsafatnya yang terkenal adalah mengenai Dinamisme yang dimaksudkan adalah segala yang ada di alam semesta ini berubah, dengan kata lain ia lebih menekankan pada proses.
Kedua, tahap kedua ini adalah kelanjutan dari tahap yang pertama, yang merupakan kelahiran filsafat, yang memfokuskan tentang penyelidikan kepada manusia. Hal ini terjadi karena pada saat periode pertama filsafat alam tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang memuaskan sehingga timbullah sikap dari kaum 'sofis' dan protes terhadapnya. Seperti halnya para tokoh-tokoh pada periode pertama, para tokoh-tokohnya di periode kedua ini juga sangat banyak sehingga yang disebutkan hanya beberapa, seperti: Protagoras (481-411) seorang tokoh sofis yang sangat terkenal dengan pernyataannya bahwa 'manusia adalah ukuran kebenaran'. Socrates (470-399 SM), tokoh ini merupakan seorang penentang dari kaum sofis atas kerelatifan segala sesuatu yang diajukan oleh kaum sofis. Metode yang populer yang digunakan oleh Socrates adalah metode dealektika.
Ketiga, pada periode ini merupakan periode zaman keemasan dalam zaman yunani kuno karena pada periode ketiga ini yang ditojolkan adalah kedua aspek yang ada di periode pertama dan kedua atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pada masa ini mencari sintesa antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh-tokoh pada periode ini mungkin hanya dua filosof, yaitu Plato (429-347 SM), yang merupakan seorang penerus dan penyempurna ajaran Socrates. Inti ajarannya pada prinsip pertama, kesusilaan, alam, dan negara. Tokoh kedua adalah Aristoteles (348-322 SM), yang merupakan murid Plato filsuf pertama yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar dari filsafat, yang dipersatukannya dalam satu sistem. Dalam hal ini dapat meliputi; Logika, Filsafat alam, Ilmu Jiwa, Metafisika, Etika, dan Politik dan hasil pemikirannya sampai sekarang masih berlaku.
2. Filsafat Abad Pertengahan;
Pada zaman ini dapat dikatakan sebagai zaman perkembangan baru karena pada saat ini, terjadi suatu peralihan yang sangat mendasar, yaitu dari masa rasionalitas penuh menuju pada bersikap religius, kebatinan. Di samping pada masa ini disebut masa religius, pada masa ini juga sering disebut sebagai masa kegelapan. Tokoh-tokoh pada masa ini juga tidak kalah banyaknya dengan tokoh-tokoh filosof alam, sehingga yang akan disebutkan hanya beberapa saja, seperti: Plotinus (205-270), Plotinus juga sering disebut sebagai Neo-platonisme. Ajarannya yang paling populer adalah mengenai emanasi. Anselmus (1033-1109), adalah seorang filsuf yang hampir sama dengan Plotinus karena ia lebih terfokus dengan filsafat religius. Dalam membicarakan filsafat Abad pertengahan ini, St. Anselmus tidak dapat dilewatkan begitu saja karena dari tokoh inilah yang menekuarkan pernyataan credo ut intelligam, yang dianggap merupakan ciri utama filsafat abad Pertengahan.
3. Filsafat Abad Modern;
Setelah benteng abad pertengahan diruntuhkan oleh para filosof modern, maka filsafat itu lepas dari cengkraman agama. Laksana air bah, akal menyapu dan menabrak apa saja yang menghambatnya. Dengan kata lain, pada abad modern ini akal menang dari pada agama seperti yang terjadi pada abad pertengahan sehingga pada abad ini yang lebih mendominasi adalah akal rasio seperti pada saat permulaan kelahiran filsafat. Semenjak renaissance dihidupkan oleh Descartes dalam bidang filsafat, maka rasionalisme Yunani menjadi satu-satunya cara berfilsafat pada zaman Modern.
Sebenarnya, filsafat pada zaman modern ini tidak jauh berbeda dengan filsafat pada zaman Yunani kuno karena para filosof modern mengadopsi dari filsafat Yunani yang sedikit banyak telah dimodifikasi untuk zaman mereka dan pada zaman Modern, filsafat lebih bringas dari pada filsafat zaman Yunani Kuno. Namun perlu diketahui bahwa diantara beberapa filosof yang lebih mengedepankan rasio dan nilai sebuah pengalaman (empirisme), masih ada filosof yang mencoba untuk memadukan antara rasio dan nurani, yang dalam hal ini Immanuel Kant (1724-1804) adalah pelopornya seperti yang dilakukan oleh Socrates pada masa Yunani kuno.
Jadi dapat disimpulkan bahwa peralihan perkembangan pemikiran filsafat mengalami pasang surut yang sangat radikal, dimana pada masa kelahiran filsafat dimulai dengan rasionalitas murni yang membahas mengenai alam makro dan mikro disusul dengan abad pertengahan yang mana rasionalitas murni diabaikan dan beralih pada filsafat religius yang dipengaruhi oleh agama kristen. Setelah pada abad pertengahan dipengaruhi oleh agama kristen sehingga akal dicangkok sedemikian rupa, maka timbullah reaksi radikal dari kalangan zaman modern untuk mengakhiri dominasi agama terhadap filsafat yang dimulai saat gerbang renaissance terbuka, yang pada akhirnya dominasi akal terlahir kembali dengan jebolnya dominasi filsafat abad pertengahan.
PLOTINUS & AGUSTINUS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lebih dari tiga abad filosofi sebelum masa religi (masa Plotinus dan Augustinus yang akan dibahas dalam makalah ini) mencoba mengganti agama rakyat dengan suatu pandangan yang dipandangnya lebih rasional untuk keperluan hidup. Agama sianggapa sebagai suatu belenggu, menanam rasa takut dalam hati manusia. Karena itu, agama dipandang sebagai suatu penghalang untuk memperoleh kesenangan hidup.
Dalam permasalahan seperti ini, maka muncullah beberapa filosof untuk membantah pendapat mereka yang meniadakan agama atau dengan kata lain muncullnya filosof religi sebagai reaksi terhadap mereka, seperti Plotinus dan Augustinus.
Oleh karena itu, di bawah ini akan ditulis rumusan masalah yang menyangkut filosofi Plotinus dan Augustinus dan akan dilanjutkan setelah rumusan masalah, yaitu pembahasan dari unsur-unsur apa saja yang ada pada rumusan masalah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Plotinus dalam Filsafatnya?
2. Bagaimana pandangan Augustinus dalam filsafatnya?
BAB II
PEMBAHASAN
PLOTINUS
Plotinus mula-mula tidak bermaksud akan mengemukakan filosofinya sendiri. Ia hanya ingin memperdalam filosofi Plato yang dipelajarinya. Oleh sebab itu, folosofinya sering disebut orang dengan Neoplatonisme.
Metafisika Plotinus
Sistem metafisika Plotinus ditandai oleh konsep transendens. Menurut pendapatnya, di dalam pikiran terdapat tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul.
The One (Yang Esa) yaitu suatu realitas yang tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains dan logika. Ia berada di luar eksistensi, di luar segala nilai. Yang Esa itu adalah puncak semua yang ada dan siapa saja yang memiliki pengetahuan keilahian juga tidak akan dapat merumuskan apa sebenarnya Yang Esa itu.
The One tidak dapat didekati melalui peginderaan dan juga tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis. Kita hanya dapat menghayati adanya; Ia itu tidak dapat dipikirkan seperti kita memikirkan sesuatu yang ada definisinya. Ia itu prinsip yang tidak dapat dilambangkan dengan suara atau huruf.
Realitas kedua ialah Nous, suatu istilah yang dapat juga disebut Mind. Ini adalah gambaran tentang Yang Esa dan di dalamnya mengandung idea-idea Plota. Kandungan Nous adalah benar-benar kesatuan. Untuk menghayatinya kita mesti melalui perenungan.
The Soul adalah realitas ketiga dalam filsafat Plotinus. Sebagai arsitek semua fenomena yang ada di alam ini, Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah energi di belakang dunia, dan pada waktu yang sama ia adalah bentuk-bentuk alam semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua aspek: yang pertama intelek yang tunduk pada reinkarnasi, dan yang kedua adalah irasional. Yang irasional ini mungkin sama dengan moral pada Kant; yang intelek itu kelihatannya sama dengan akal logis.
Teori tentang tiga realitas ini mengingatkan kita pada teologi Trinitas yang dianut oleh Kristen, tampak sekali persamaannya. Teologi Trinitas itu pada masa Plotinus memang sedang dalam proses pembentukannya, atau katakanlah sedang dalam perumusannya.
Tentang Ilmu
Idea keilmuan tidak begitu maju pada Plotinus, ia menganggap sains lebih rendah daripada metafisika, metafisika lebih rendah daripada keimanan. Surga lebih berarti dari pada bumi sebab surga itu tempat peristirahatan jiwa yang mulia.bintang-bintang adalah tempat tinggal dewa-dewa.ia juga mengakui adanya hantu-hantu yang bertempat diantara bumi dan bintang-bintang.semuanya ini menunjukkkan rendahnya mutu sains Plotinus.
Plotinus dapat disebut musuh naturalisme, ia membedakan dengan tegas tubuh dan jiwa; jiwa tidak dapat diterjemahkan ke dalam ukuran-ukuran badaniah; fakta alam harus difahami sesuai dengan tendensi spiritualnya.
Tentang Jiwa
Untuk memahami pemikiran Plotinus, kita harus mahami filsafatnya tentang jiwa. Menurutnya, jiwa adalah suatu kekuatan ilahiah; jiwa merupakan sumber kekuatan. Alam semesta berada di dalam jiwa dunia. Jiwa tidak dapat dibagi secara kuantitatif karena jiwa itu adalah sesuatu yang satu tanpa dapat dibagi. Alam semesta ini merupakan unit-unit yang juga tidak dapat dibagi. Jiwa setiap individu adalah satu, ia diketahui dari kenyataan bahwa jiwa itu ada di setiap tempat di badan, bukan sebagian di sana dan sebagian di sini pada badan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa jiwa anda sama dengan jiwa saya, berarti jiwa hanya satu; jiwa itu individual.
Rupanya jiwa itu banyak, setiap orang mempunyai jiwanya sendiri, terapi antara jiwa-jiwa itu ada kesatuannya. Jiwa yang satu itu mungkin masuk ke segala sesuatu yang berjiwa, tetapi ia tidak membelah dirinya.
Etika dan Estetika Plotinus
Etika Plotinus dimulai dengan pandangannya tentang politik. Ia mengatakan bahwa seseorang adalah wajar memenuhi tugas-tugasnya sebagi warga negara sekalipun ia tidak tertarik pada masalah politik. Tidak seperti pengikutnya, Augustinus misalnya, Plotinus tidak begitu menganggap tinggi kehidupan pertapa; perenungan itulah yang lebih penting.
Dalam persoalan ini iamembahas masalah kebebasan kehendak. Manusia mempunyai kebebasan, tetapi itu tidak dapat dipahami secara lahiriah. Untuk memperoleh kemampuan yang baik kita harus digerakkan oleh cinta. Mula-mula kita mencintai objek yang nyata, terakhir kita mencintai sumber segala cinta, yaitu esensi yang immaterial. Manusia jahat akan menjadi budak hawa nafsunya, jadi tidak bebas. Plotinus menjelaskan bahwa jiwa manusia, di dalam jiwa Ilahi, menuju kepada kebaikan tanpa rintangan, dan itulah dilakukannya dengan bebas. Dalam memilih antara yang baik dan yang jahat, kita bebas memilih yang kita inginkan. Akan tetapi jika memilih yang jahat, berarti kita menuju ketidakbebasan.
Keindahan juga memiliki pengertian spiritual, karena itu estetika dekat sekali dengan kehidupan moral. Esensi keindahan tidak terletak pada harmoni dan simetri. Ada smacam skala menaik tentang keindahan, mulai dari keindahan yang bersifat inderawi, naik ke emosi, kemudian ke susunan alam semesta yang immaterial. Jadi, keindahan itu bertingkat, mulai dari keindahan inderawi sampai kepada keindahan Ilahi.
Konsep keindahan pada Plotinus berhubungan juga dengan pandangannya tentang kejahatan. Kejahatan tidak mempunyai realitas metafisis. Perbuatan jahat adalah perbuatan aku yang rendah. Aku yang rendah ini bukanlah aku yang berupa realitas pada manusia. Aku yang berupa realitas ialah aku yang murni. Aku yang murni itu terdiri atas Logos dan Nous. Logos menerima dari Nous (akal) idea-idea yang kekal. Dengan perantara Logos (pikiran), jiwa hanya dapat melakukan tugas yang mulia, yang tujuannya bersatu dengan Tuhan
AUGUSTINUS
Augustinus adalah pemikir Kristiani yang paling besar pada abad-abad pertama. Menurut pandangannya kebenaran tidak ditemukan pertama-tama dalam pikiran akal budi toeritis sebagaimana diajarkan oleh filsuf-filsuf. Seperti tokoh Neoplatonisme, Plotinus, ingin memandang Tuhan melalui ide-ide kekal
Disini Augustinus menghadapi dilema yang akan ditimbulkan kembali dalam seluruh sejarah
Pendapat Augustinus tentang Tuhan dan Manusia
Perubahan keyakinan pada Augustinus menghasilkan perubahan yang menyeluruh dalam pandangan intelektualnya. Ajaran Augustinus dapat dikatakan berpusat pada dua unsur: Tuhan dan Manusia. Akan tetapi dapat juga dikatakan bahwa seluruh ajaran Augustinus berpusat pada Tuhan, ia yakin benar bahwa pemikiran dapat mengenal kebenaran, karena itu ia menolak skeptisme. Ia mengatakan bahwa setiap pengertian tentang kemungkinan pasti mengandung kesungguhan. Bila orang menganggap suatu dokrin adalah kemungkinan, ia harus menganggap bahwa di dalam doktrin itu ada kebenaran. Bila orang ragu bahwa dia hidup, tentu ia benar-benar hidup. Ini di buktikannya dalam ungkapanya: “If I err, I am” ungkapan itu di mulai dari keraguan tetang adanya dirinya seperti pada metode Descartes. Dari sini ia menemukan kesungguhan adanya dirinya, yang tadinya diragukannya.
Kita mengalami pencerahan ilahiyah, dan dari situ kita memperoleh langsung kesadaran tetang keagungan Tuhan. Pemikiran tidak mungkin bertentangan dengan keimanan sebab kedua-duanya datang dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Sebenarnya pengetahuan pada tingkat paling tinggi tetaplah rendah. Kita harus menggantungkan diri sepenuhnya pada cahaya Tuhan. Dari sini kita dapat mengatakan bahwa teori pengetahuan Augustinus adalah teori pengetahuan yang memerlukan pencerahan alahiyah. Jadi bagi Augustinus, dalam mencari kebenaran, Tuhan adalah guru.
Setalah ia yakin ia ada, setelah ia yakin bahwa ia mampu mengenal Tuhan, maka mulailah ia mempelajari Tuhan. Menurut Augustinus, dalam kita mencari kebenaran, keindahan, dan kebaikan, kita sebenarnya dibimbing oleh konsep ada kebenaran, keindahan, dan adanya kebaikan yang absolut. Ringkasnya kerelatifan menunjukan adanya ukuran mutlak. Norma yang absolut ini menjadi satu dengan eksistensi tuhan. Kesimpulan argumen ini adalah kerelatifan mendesakkan adanya kemutlakan, keanekaan mendesakkan adanya keesaan yang pasti. Dan menurut Augustinus, keesaan itu adalah Tuhan. Jadi Tuhan itu di temukan dalam rasa, bukan dalam proses pemikiran
Pendapatnya daya pemikiran manusia ada batasnya, tetapi pikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan kepastian yang tidak ada batasnya, yang bersifat kekal dan abadi.
Ia juga mencoba membuat argumen yang lain tentang adanya Tuhan. Ia mengambil susunan alam semesta. Alam semesta ini menurutnya memerlukan penciptaan. Dia sependapat dengan Plotinus yang mengatakan bahwa Tuhan itu di atas segala jenis (categories). Sifat Tuhan yang paling penting adalah kekal, bijaksana, maha kuasa, maha tahu, maha sempurna dan tidak dapat di ubah. Keadaan alam seperti ini menurut Augustinus memerlukan pencipta dan pengatur. Augustinus tidak percaya pada dualisme fisik. Konsekuensinya adalah ia harus berpendapat bahwa kejahatan itu tidaklah positif, kejahatan itu sekedar menunjukan jarak dari ada yang sebenarnya. Tidak ada Tuhan kecuali yang Esa itu yang mempunyai sifat kesempurnaan.
Teori Pengetahuan
Augustinus menolak teori kemungkinan, dan ia berargumen 'saya tahu bahwa saya tahu dan mencinta'. Bagaimana jika anda bersalah? Saya bersalah, jadi saya ada. Kesalahan saya membuktikan adanya saya. Jika saya tahu bahwa saya tidak bersalah, saya pun tahu saya pun ada. Saya mencintai diri saya, baik tatkala saya bersalah maupun tatkala saya tidak bersalah, kedua-duanya tidaklah palsu. Bila kedua-duanya palsu, berarti saya mencintai obyek yang palsu, jadi saya mencintai obyek yang tidak ada. Akan tetapi karena saya benar-benar ada, karena saya bersalah atau tidak bersalah, maka saya mencintai obyek-obyek yang benar-benar ada yaitu saya. Tidak ada orang yang tidak ingin bahagia, semua orang ingin bahagia, jadi tidak ada orang yang ingin tidak ada sebab bagaimana mungkin seseorang memiliki kebahagian sementara ia tidak ada.
Sejak Augustinus menyakini adanya dirinya, ia yakin sekarang bahwa dirinya ada, ia mengandalkan kesadaran dan perasaan. Pandangan Augustinus atas hukum positif kurang jelas, kadang-kadang dikatakannya bahwa hukum itu harus berdasarkan pada hukum alam supaya memiliki kekuatan hukum. Kadang-kadang dikatakanya juga bahwa berlakunya hukum tergantung dari pengesahan oleh negara.
Teori tentang jiwa
Augustinus menentang ajaran yang mengatakan bahwa jiwa itu material. Menurut pendapatnya jiwa atau roh itu immaterial. Augustinus membuktikan immaterialnya jiwa dengan mengatakan jiwa itu di dalam badan, ada di mana-mana dalam badan pada waktu yang sama. Bila jiwa itu material, ia akan terikat pada tempat tertentu dalam badan. Menurut Augustinus jiwa tidak mempunyai bagian karena ia immaterial. Akan tetapi jiwa mempunyai tiga kegiatan pokok: pertama mengingat, kedua mengerti, dan ketiga mau. Oleh karena itu jiwa memiliki atau menggambarkan ketritunggalan alam (the cosmic trinity).
Augustinus tidak menerima pandangan yang mengatakan ada dunia jiwa atau dunia roh. Menurut Augustinus, yang ada ialah jiwa yang tunggal dan individual. Dikatakan tunggal karena jiwa ada pada badan, badan itu tunggal dan individual. Jiwa tidak ada bila badan tidak ada. Akan tetapi ia juga mengatakan bahwa jiwa tidak bergantung pada badan, badan akan binasa sedangkan jiwa tidak. Berbeda dengan Plato, Augustinus tidak menerima paham yang mengatakan bahwa ada jiwa pada masa praeksistensi. Ia juga menolak paham reinkarnasi. Agustinus mencoba memperlihatkan bahwa pikir (reason) dan jiwa (soul) itu bersatu..
Ia juga mengemukakan argumen lain untuk membela pendapatnya bahwa jiwa bersifat immortal (tidak bisa musnah). Menurutnya kebenaran bersifat abadi; jiwa memiliki kebenaran itu (kebenaran itu ada di dalam jiwa) karena itu jiwa itu mesti abadi. Bagi Augustinus kebenaran bersifat abadi karena kebenaran tidak terpisah dari jiwa maka jiwa itu pun harus abadi.
Mengenai penciptaan jiwa menurut Augustinus, jiwa itu diciptakan bukan memancar (emanasi) seperti pada teori Plotinus. Penempatannya di dalam bukan hasil/akibat kejatuhannya, melainkan memang kewajaran/nature jiwa itu bertempat dalam arah jasmani. Augutinus melihat hubungan antara Tuhan dan jiwa manusia sebagai perhatian utama agama. Karena jiwa diciptakan "dalam citra Tuhan", pengetahuan diri menjadi alat untuk mengenal Tuhan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara ringkas, keduanya baik Plotinus dan Augustinus dalam pemikirannya adalah berpusat pada ketuhanan.
Plotinus merupakan filsof pertama yang mengajukan teori penciptaan.alam semesta. Dialah yang mengajukan teori emanasi yang kemudian banyak diikuti oleh filosof islam. Filsafat Plotinus kebanyakan bernafas mistik, bahkan tujuan filsafat menurutnya adalah untuk mencapai pemahaman mistik. Menurutnya di dalam pemikiran manusia tedapat tiga realitas. Pertama, yakni The One (yang Esa) adalah Tuhan yang berada di luar eksistensi, di luar segala nilai, dan tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains, dan logika. The One (yang Esa) ini juga tidak dapat didekati dengan penginderaan, kedua adalah The Mind yang menjadi gambaran tentang yang Esa dan di dalamnya teerdapat idea-idea Plato yang merupakan bentuk asli dari objek-objek dan untuk menghayatinya kita mesti melalaui perenungan, dan yang ketiga adalah The Soul. Soul mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia ini dapat dilihat dalam dua aspek, yakni energi di belakang dunia dan bentuk-bentuk dari dunia (alam semesta). Begitu juga jiwa manusia terdiri dari dua aspek, yakni intelek yang tunduk pada reinkarnasi dan irasional.
Sama halnya dengan Plotinus yang berpikir mistis dan ketuhanan, Augustinus telah meletakkan dasar-dasar abad pertengahan Ajaran Augustinus dapat dikatakan berpusat pada dua unsur, yaitu: Tuhan dan Manusia. Akan tetapi substansi seluruh ajaran Augustinus berpusat pada Tuhan. Intelektualisme tidak penting dalam sistemnya, yang penting baginya adalah cinta kepada Tuhan. Ia juga sependapat dengan Plotinus bahwa Tuhan adalah segala jenis.
Mengenai jiwa, Augustinus membaginya dalam tiga kegiatan pokok, yaitu: pertama mengingat, kedua mengerti, dan ketiga mau. Oleh karena itu jiwa memiliki atau menggambarkan ketritunggalan alam (the cosmic trinity).
DAFTAR PUSTAKA
Ahcmadi, Asmoro. 2005. Filsafat Umum, Jakarta::PT RajaGrafindo Persada.
C. Solomon, Robert dan Kathleen M. Higgins. 2003. Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Bentang Budaya.
Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas.
Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogya: Kanisius.
Syadali, Ahmad dan, Mudzakir. 1997. Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ibnu Sina
IBNU SINA
Cendekiawan Islam
Zaman Kegemilangan Islam
Nama: Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibni Sina
Gelaran: Bapak Sejarah Sains
Lahir: sekitar 980 M atau 370 H
Wafat: 1037 M atau 428 H
Mazhab: Sinawi
Etnik: Tajik
Rantau: Parsi
Bidang: Perubatan, Astronomi, Etika, Logik, Matematik, Metafizik, Falsafah, Fizik, Sains,teologi
Karya: Alqanun fi altibb, Kitab al-Shifa, Al Najat
Pengaruh: Omar Khayyám, Ibnu Rushd, Thomas Aquinas, Albertus Magnus
Diilhami: Aristotle, Al-Farabi
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal sangat unik, diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh suatu penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ibnu Sina adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
A. Geografi Ibnu Sina
IBNU SINA yang lebih dikenali di Barat dengan nama Avicenna mempunyai nama lengkap Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara). Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, suatu wilayah di kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga anak, Ali, Husaein (Ibnu Sina), dan Muhammad. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari Abu Abdullah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Aristoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi. Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu. Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua-duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, karena buku itu selain lengkap, juga disusun secara sistematis.
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya. Dia jugalah yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan-peperangan yang meraja-lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”
Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1. As-Syifa’ (The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).
Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
1.1 Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani kemudiannya.
1.2 Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
1.3 Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen - elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.
1.4 Metafisika. Bagian falsafah, pokok pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan.
Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di pelbagai sekolah tinggi.
2. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
5. Al-Musiqa. Buku tentang musik.
6. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
8. Danesh Nameh. Buku filsafat.
9. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.
11. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
16. dan sebagainya.
B. Filsafat Jiwa Ibnu Sina
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengajukan beberapa argumentasi sebagai berikut:
(1) Argumen Psikofisi, (2) Argumen ‘Aku’ dan kesatuan fenomena psikologis, (3) Argumen kontinuitas, dan (4) Argumen manusia terbang di udara.
Untuk pembuktian yang pertama, Ibnu Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar, dan gerak tidak terpaksa. Gerakan yang tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah, ada juga yang menentang hukum alam, seperti manusia berjalan di kulit bumi ini. Menurut hukum alam, manusia harus diam di tempat karena mempunyai berat badan sama dengan benda padat. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak tertentu di luar unsur tubuh itu sendiri. Inilah yang dinamakan Jiwa oleh Ibnu Sina. Untuk pembuktian yang kedua, Ibnu Sina membedakan aku sebagai jiwa, dan badan sebagai alat. Ketika seseorang berkata, dia akan tidur, maksudnya ia bukan pergi ke tempat tidur atau memejamkan mata dan tidak menggerakkan anggota tubuh, tetapi adalah seluruh pribadi yang merupakan aku. Aku dalam pandangan Ibnu Sina bukan fenomena fisik, melainkan adalah jiwa dan kekuatannya. Kekuatan jiwa itu menimbulkan fenomena yang berbeda-beda, seperti benci-cinta, susah-gembira, menolak-menerima. Semua fenomena ini merupakan satu kesatuan, sebab jika saling bermusuhan tidak akan menimbulkan keharmonisan. Karena itu, perlu jiwa untuk mempersatukan fenomena jiwa yang berbeda tersebut supaya timbul keserasian. Kalau kesatuan ini lemah, lemah juga kehidupan, dan begitu juga sebaliknya. Bila kesatuan fenomena psikologis mengharuskan adanya asal sebagai sumbernya, tentu tidak bisa dielakkan bahwa jiwa itu ada. Dalam pembuktian ketiga, Ibnu Sina mengatakan bahwa hidup rohaniah hari ini berkaitan dengan hidup kita kemarin tanpa ada tidur atau kekosongan. Jadi, hidup itu adalah berubah dalam satu untaian yang tidak putus-putus. Untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus-putus adalah dengan daya manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik merupakan tingkah laku maupun merupakan hal-ihwal di sekitarnya. Sebagai contoh, Ibnu Sina membandingkan antara jiwa dan badan. Jika badan tidak diberi makan dalam waktu tertentu akan berkurang beratnya karena badan mengalami penyusutan, sedangkan jiwa tetap tidak berubah. Dengan demikian, jiwa berbeda dengan badan. Adapun pembuktian yang keempat, Ibnu Sina mengatakan: Andaikata ada seorang yang lahir dengan dibekali kekuatan dan jasmani yang sempurna kemudian ia menutup matanya sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa yang disekelilingnya. Kemudian ia diletakkan di udara dan diatur supaya tidak terjadi benturan dengan apa yang dalam di sekelilingnya. Tanpa ragu-ragu orang tersebut akan mengatakan dirinya ada.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (النفس النباتية) dengan daya-daya: makan (الغاذية, nutrition), tumbuh (المنمية, growth), dan berkembang biak (المولدة, reproduction).
2. Jiwa binatang (النفس الحيوانة) dengan daya-daya:
a. Gerak (المحركة, locomotion), dan
b. Menangkap (المدركة, perception) dengan dua bagian; (1) Menangkap dari luar dengan panca indera, dan (2) menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam:
(i) Indera bersama (common sense) yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
(ii) Representasi (representation) yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
(iii) Imajinasi (imagination) yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi.
(iv) Estimasi (estimation) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi kambing dari srigala.
(v) Rekoleksi (recollection) yang menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh estimasi.
3. Jiwa Manusia dengan dua daya:
a. Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
b. Teoritis (thoretical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
(i). Akal Materil (material intellect) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
(ii). Akal Intelektual (Intellectus in habitu) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
(iii). Akal Aktuil yang telah dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
(iv). Akal Mustafid (acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini; akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif.
C. Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, imajinatif, keajaiban, dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial-politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tidak akan banyak berfaidah. Maka dari itu, Nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya Nabi-lah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.
D. Filsafat Wujud
Ibnu Sina dalam menentukan adanya Tuhan (Isbat wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetapi dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:
a. Wajib al-wujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
Lebih jauh Ibnu Sina membagi wajib al-wujud ke dalam wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua ialah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini, Allah termasuk pada yang pertama (wajib al-wujud lidzatihi la li sya’in akhar).
b. Mumkin al-wujud, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, boleh ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-wujud ini tidak dilihat dari segi esensinya, tidak mesti ada dan tidak mesti tidak ada karenanya ia disebut mumkin al-wujud bi dzatihi. Ia pun dapat pula dilihat dari sisi lainnya, sehingga disebut mumkin al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang ada, selain Allah.
c. Mumtani’ al-Wujud, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama, yakni wajib al-wujud. Jagad raya ini mumkin al-wujud yang memerlukan suatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) kita tidak memerlukan pada perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap, dan sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan al-Qur’an dalam surat al-Fushshilat 53 sebagai berikut:
•
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.
Dari paparan di atas kelihatan perbedaan dalil antara Ibnu Sina dan ahli kalam pada umumnya. Ibnu Sina dalam menetapkan adanya Allah mengemukakan adanya dalil antologi yang sebelumnya telah dikemukakan al-Farabi. Sementara itu, ahli kalam biasanya mengemukakan dalil kosmologi dengan berpijak pada konsep alam baharu. Namun, dalil yang disebut terakhir ini sekalipun tidak memuaskan para filosof Muslim, tetapi menurut Ibnu Sina, sangat cocok ditujukan bagi peringkat awam.
Akan tetapi, bila diamati konsep Ibnu Sina di atas tentang wajib al-wujud min ghoirihi, mumkin wujud bi dzatihi terasa agak membingungkan karena dalam konsep al-wajib terdapat unsur mungkin (imkan). Padahal wajib adalah lawan dari mungkin. Seharusnya sesuatu itu wajib ada dilihat dari dimensi tertentu, mungkin ada dilihat dari dimensi tertentu, mungkin ada dilihat dari dimensi lain. Jika tidak demikian, boleh jadi al-mumkin fi dzatihi berubah menjadi wajib dari segi agentnya (fa’ilihi). Hal ini mustahil terjadi, unsur mugkin tidak akan berubah menjadi unsur wajib. Atas dasar ini, terkesan Ibnu Sina masih banyak terpengaruh dengan premis-premis kaum teologi. Sebenarnya hal ini lumrah terjadi, orang datang belakangan terpengaruh dengan pendahulunya.
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana al-Farabi, Ibnu Sina juga mensucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas. Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal (kully) di alam dan Ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir Ibnu Sina ini dimaksudkan bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara tidak langung, yakni melalui zat-Nya sebagai sebab adanya alam. Dengan istilah lain, pengetahuan Allah tentang yang parsial melaluin sebab akibat yang terakhir kepada sebab yang pertama, yakni zat Allah. Dari pendapatnya ini, Ibnu Sina berusaha mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang Mahasempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Dauly, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama Semarang, 1993.
Munawir, Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Syarif, M.M., Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1994.
Zar, Sirajidddin. Filsafa Islam, filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Gafindo Persada, 2004.
Fitrah Manusia dan Implikasi dalam Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
FITRAH MANUSIA DAN IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN
1. MAKNA FITRAH DALAM ISLAM
Secara Etimologi
Secara etimologis, asal kata fitrah berasal dari kata bahasa arab, yaitu ”Fitratun” jamaknya ”Fitarun,” artinya perangai, tabiat, kejadian asli, agama, ciptaan. Fitrah juga terambil dari akar-akar kata ”al-Fathr” yang berarti belahan. Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain ”pencipta” atau ”kejadian”.
Dalam al-Qur’an, menurut Quraish Shihab, kata fitrah dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali, 14 di antaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Berbeda halnya dengan pendapat Quraish Shihab, menurut Muhammad Abdul Baaqi yang dikutip oleh Muis Sad Imam, kata fitrah dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali dengan berbagai bentuknya, dalam 19 ayat. Dalam bentuk fi’il madli 9 kali, fitrah berarti menciptakan, menjadikan. Dan bentuk fi’il mudlori’ 2 kali, fitrah berarti pecah, terbelah. Dalam bentuk isim fa’il 6 kali, fitrah berarti menciptakan, yang menjadikan. Dalam bentuk isim maf’ul 1 kali, fitrah berati pecah, terbelah. Dan dalam bentuk isim masdar 2 kali, fitrah berarti tidak seimbang, fitrah.
Dari apa yang telah dijelaskan melalui dua pendapat mengenai kata fitrah dalam al-Qur’an, hanya satu ayat yang menunjukkan bentuk fitrah secara jelas, yaitu dalam Q.S. ar-Rum (30): 30,
•• ••
Kata fitrah dalam ayat ini mempunyai beberapa arti, seperti di dalam kamus al-Munawwir, kata fitrah diartikan dengan naluri (pembawaan). Dalam kamus susunan Mahmud Yunus, fitrah diartikan sebagai agama, ciptaan, perangai, kejadian asli. Dalam kamus bahasa Indonesia susunan WJS Purwadarminta, kata fitrah diartikan dengan sifat asli, bakat, pembawaan, perasaan, keagamaan (misalnya: agama yang tidak selaras dengan kemajuan yang sehat, bukanlah agama fitrah namanya). Dalam kamus al-Munjid kata fitrah diartikan dengan agama, sunnah, kejadian, dan tabiat. Kamus Indonesia-Inggris susunan John Echols dan Hasan Sadili mengartikan fitrah dengan natural, tendency, desposition, and character.
Secara Terminologi
Setelah menjelaskan mengenai fitrah dari aspek etimologi, maka dilanjutkan dengan definisi dari aspek terminologi agar supaya terdapat satu-kesatuan yang terkait.
Ramayulis, yang disitir oleh Usman Abu Bakar dan Surohim, mendefinisikan fitrah manusia adalah kemampuan dasar bagi perkembangan manusia yang dianugrahkan Allah SWT. yang tidak ternikai harganya dan harus dikembangkan agar manusia dapat mencapai tingkat kesempurnaannya. Syahminan Zaini juga mendefinisikan bahwa fitrah manusia adalah potensi laten atau kekuatan terpendam yang ada dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Demikian pula definisi yang dikemukakan oleh Hasan Langgulung, yang disitir oleh Samsul Nizar, bahwa fitrah diartikan sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia yang merupakan suatu keterpaduan yang tersimpul dalam al-Asma’ al-Husna Allah (sifat-sifat Allah)
Dengan mencermati pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa makna fitrah manusia adalah sesuatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang menetap pada diri manusia sejak awal kejadiannya sebagai sifat kodrati, untuk komitmen terhadap keimanan kepada-Nya, cenderung kepada hanif (kebenaran), dan potensi itu merupakan ciptaan Allah.
Dari sini telah dirasa cukup dalam menjelaskan definitif fitrah, sehingga agar dapat mencakup secara holistik mengenai fitrah itu sendiri di dalam ajaran Islam yang didasari oleh al-Qur’an dan al-Hadist, maka di bawah ini akan dilanjutkan dengan pemaparan mengenai fitrah dalam tinjauan al-Qur’an dan al-Hadist.
2. FITRAH DALAM TINJAUAN AL-QURAN DAN HADITS
Di dalam al-Qur’an, berbagai bentuk kata fitrah itu banyak sekali, seperti yang dijelaskan di atas, namun yang menjadi tinjauan atau yang banyak diperhatikan dalam usaha mencari pengertian fitrah, yaitu pada QS. Ar-Rum (30): 30.
Bila ditinjau dari aspek makna fitrah manusia itu cukup banyak macamnya. Disini dikemukakan yang terpenting diantaranya, yaitu :
a. Fitrah beragama, fitrah ini merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada tuhan.
b. Fitrah berakal budi, fitrah ini merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk berfikir dan berdzikir dalam memahami tanda-tanda keagungan tuhan yang ada di alam semesta.
c. Fitrah kebersihan dan kesucian, fitrah ini mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya.
d. Fitrah bermoral/berakhlak, fitrah ini mendorong manusia untuk komitmen terhadap norma-norma aturan yang berlaku.
e. Fitrah kebenaran, fitrah ini mendorong manusia untuk selalu mencari dan mencapai kebenaran.
f. Fitrah kemerdekaan, fitrah ini mendorong manusia untuk bersikap bebas / merdeka
g. Fitrah keadilan, fitrah ini mendorong manusia untuk berusaha menegakkan keadilan dimuka bumi.
h. Fitrah persamaan dan kesatuan, fitrah ini mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta menentang diskriminasi ras, etnik, bahasa dan sebagainya.
i. Fitrah individu, fitrah ini mendorong manusia untuk bersikap mandiri bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukannya.
j. Fitrah sosial, fitrah ini mendorong manusia untuk hidup bersama, bekerjasamadan saling membantu.
k. Fitrah seksual, fitrah ini mendorong manusia untuk mengembangkan keturunan.
l. Fitrah ekonomi, fitrah ini mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
m. Fitrah politik, fitrah ini mendorong manusia untuk berusaha menyusun suatu kekuasaan dan institusi.
n. Fitrah Seni, fitrah ini mendorong manusia untuk menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dan kehidupannya.
Sehubungan dengan kata fitrah yang disebutkan dalam al-Qur’an, ada sebuah hadist shohih yang sangat populer dikalangan ahli pendidikan mengenai hal ini, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah: “Tidak ada satu anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkannya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah)
Menurut Ahmad Tafsir, dalam hadist ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan atat pembawaan. Fitrah yang disebutkan di dalam hadist ini adalah potensi. Demikian pula Hasan Langgulung memaknai hadist di atas bahwa fitrah adalah potensi dasar yang baik. Sebab pengertian menjadikan Yahudi, Nasrani, Majusi itu bermakna menyesatkan. Maksudnya orantua (alam sekitar) itulah yang merusak dan menyesatkan fitrah yang asalnya suci dan sepatutnya ke arah yang baik.
Untuk mengaktualisasikan elemen-elemen tersebut (tafsir mengenai fitrah), Allah SWT. melengkapi dengan alat-alat potensial dan potensi dasar atau fitarah manusia yang harus ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan.
Dari definisi di atas mengenai tafsir hadist dapat secara langsung kita mengambil konklusi bahwasanya fitrah yang erat sekali dengan pembawaan yang kemudian ditafsirkan dengan potensi-potensi pada diri manusia yang menjadi pembawaan sejak awal.
Oleh karena itu, untuk lebih melengkapi wacana fitrah, kita sempurnakan dengan penjelasan mengenai potensi-potensi manusia yang ada di dalam literatur dasar Islam.
3. ALAT-ALAT POTENSIAL MANUSIA
Bertolak dari pemikiran diatas, bahwa alat-alat potensial yang dimiliki manusia dapat dirinci melalui Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Fattah Jalal, yang disitir oleh Muhaimin, dalam bukunya : “Min Al-Ushul At-Tarbawiyah”, telah mengkaji ayat-ayat Al-Qur`an mengenai alat-alat potensial yang telah di anugrahkan oleh Allah SWT, kepada manusia untuk meraih ilmu pengetahuan. Masing-masing alat tersebut, saling berkaitan dan saling melengkapi dalam mencapai ilmu. Alat-alat tersebut adalah:
a. Al-Lams dan al-syum (alat peraba dan alat penciuman / pembau), sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-An’am ayat 7 dan Qs.Yusuf ayat 94.
b. Al-Sam’u (alat pendengaran) penyebutan alat ini dihubungkan dengan pengelihatan dan qalbu, yang menunjukkan adanya saling melengkapi antara berbagai alat itu untuk mencapai ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al- Isra’ ayat 36, Al-Mu’minun ayat 78 dan sebagainya.
c. Al-Abshar (pengelihatan). Banyak ayat Al-Qur’an yang menyeru manusia untuk melihat dan merenungkan apa yang dilihatnya, sehingga dapat mencapai hakikatnya. Sebagaimana firman Allah dalam Qs.Al- A’raf ayat 185, Yunus ayat 101 dan sebagainya.
d. Al- Aql (akal atau daya berfikir). Al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan akal dalam berfikir, sebagaimana firman Allah dalam Qs.Al-Imron ayat 191.
e. Al-Qalb (kalbu). Hal ini termasuk alat ma’rifah yang digunakan manusia untuk mencapai ilmu, sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Hajj ayat 46, Qs. Muhammad ayat 24 dan sebagianya, kalbu ini mempunyai kedudukan khusus dalam ma’rifah ilahiyah, dengan kalbu manujsia dapat meraih berbagai ilmu serta ma’rifah yang diserap dari sumber Ilahi. Dan wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam kalbu Nabi Muhammad SAW sebagimana firman Allah dalam Qs. Al-Syu’araa’ ayat 192-194.
4. FITRAH MANUSIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekholifahan yang sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, maka pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadikan panduan baginya dalam melaksanakan amanat Allah. Kekosongan akan nilai-nilai illahiyah akan mengakibatkan manusia lepas kendali dan berbuat sekehandaknya.Sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai-nilai egoistik yang bermuara kepada tumbuhnya sikap angkuh dan sombong pada diri manusia.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa untuk merealisasikan tugas dan kedudukan manusia lewat pendidikan, diharapkan manusia mampu mengembangkan potensi yang diberikan oleh Allah kepada manusia secara optimal. Namun tidak semua pendidikan dapat mengemban tugas dan fungsi manusia tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang konsep pendidikan yang ditawarkan lebih berperan bagi pengembangan manusia yang berkualitas.
Dengan pendidikan islam, manusia sebagai berfitrah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan dehumanisasi, dan bahkan berusaha agar supaya melakukan aktifitas sebagaimana yang harus dilakukan dalam rangka responsif terhadap fitrah (potensi-potensi) yang dimiliki yang harus diaktualkan dan ditumbuh kembangkan dalam dunia ini, yaitu melalui proses pendidikan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara etimologis, asal kata fitrah berasal dari kata bahasa arab, yaitu ”Fitratun” jamaknya ”Fitarun,” artinya perangai, tabiat, kejadian asli, agama, ciptaan. Fitrah juga terambil dari akar-akar kata ”al-Fathr” yang berarti belahan. Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain ”pencipta” atau ”kejadian”.
Fitrah manusia adalah sesuatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang menetap pada diri manusia sejak awal kejadiannya sebagai sifat kodrati, untuk komitmen terhadap keimanan kepada-Nya, cenderung kepada hanif (kebenaran), dan potensi itu merupakan ciptaan Allah.
Bila ditinjau dari aspek makna fitrah manusia itu cukup banyak macamnya. Disini dikemukakan yang terpenting diantaranya, yaitu:
• Fitrah beragama
• Fitrah berakal budi
• Fitrah kebersihan dan kesucian
• Fitrah bermoral/berakhlak
• Fitrah kebenaran
• Fitrah kemerdekaan
• Fitrah keadilan
• Fitrah persamaan dan kesatuan
• Fitrah individu
• Fitrah sosial
• Fitrah seksual
• Fitrah ekonomi
• Fitrah politik
• Fitrah politik
• Fitrah Seni
Alat-alat potensi manusia antara lain :
• Al- lams dan al-syum (alat peraba dan alat penciuman / pembau).
• Al-sam’u (alat pendengaran)
• Al-abshar (pengelihatan).
• Al- aql (akal atau daya berfikir).
• Al-qalb (kalbu).
untuk merealisasikan tugas dan kedudukan manusia lewat pendidikan, diharapkan manusia mampu mengembangkan potensi yang diberikan oleh Allah kepada manusia secara optimal
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Usman Abu dan Surohim. 2005. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Echols, John M. dan Shadily, Hassan. 1994. Kamus Indonesia-Inggris, Jakarta: Gramedia.
Imam, Muis Sad, 2004. Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Langgulung, Hasan. 1985. Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna.
Ma’luf, Luis. 1986. al-Munjid fil al-Lughal wal al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq.
Muhaimin. 2002. Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya.
Muhaimin dan Zaini, Syahminan. 1991. Belajar sebagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia, Jakarta: Kalam Mulia.
Munawwir, Ahmad Warson. 1993. Qomus ‘Arabi-Indonesiyyi, Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak.
Nizar, Samsul. 2001. Dasar-dasarPemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Poerwodarminto, WJS. 1952. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Tafsir, Ahmad. 2008. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja RosdaKarya.