REKAYASA PEMAHAMAN KORUPSI DALAM MANIPULASI KETUHANAN

BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Problematika nasional yang berlarut-larut menjadi bomerang bagi kemajuan bangsa, terutama problem pengentasan korupsi yang menjadi target utama karena di satu sisi menjadikan citra bangsa yang tidak dihargai oleh karena ketidak tegasan hukum dalam negeri, dan di sisi lain merupakan sebagai tudingan kotor terhadap bangsa Islam Indonesia karena mayoritas bangsa Indonesia adalah orang-orang Islam sehingga yang terjadi adalah persepsi-persepsi bahwa ajaran Islam membiarkan begitu saja hal-hal yang berkaitan dengan penyelewangan keagamaan dalam ranah sosiologis normatif.
Apakah dengan ini nilai-nilai keagamaan telah tumbang tanpa ada lagi yang mempedulikan masalah sosiologis lewat pemahaman teks keagamaan yang sebagai mobilisasi massa untuk berteriak bersama meruntuhkan kesejahteraan para koruptor yang duduk dengan tenang, sementara mereka yang tercium bau mayat hidup yang terpuruk dalam kemiskinan akibat ulah mereka (koruptor).
Selama ini, korupsi kurang diberi pemahaman yang efektif karena teks keagamaan telah disalah tafsirkan hanya karena untuk memonopoli dalam garis-garis legitimasi korupsi. Dalam hal ini, penulis sedikit memberi reinterpretasi pemahaman yang selama ini menjadi landasan dasar korupsi sehingga mereka tidak merasa lagi kekejian dan kerusakan yang dilakukan, yaitu dalam teks keagamaan itu sendiri (al-Qur'an dan al-Hadist sebagai penguat) yang akan dijelaskan dalam pembahasan dibawah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Ayat-ayat apa saja yang dijadikan rekayasa legitimasi korupsi?
2. Bagaimana meluruskan pemahaman ayat-ayat legitimasi korupsi?
3. Seperti apa reformulasi hukum korupsi yang relevan?

BAB II
PEMBAHASAN
REKAYASA PEMAHAMAN KORUPSI DALAM MANIPULASI KETUHANAN

Semakin terdengar keras liputan dari berbagai media mengenai berbagai macam berita yang disugukan dengan bermacam-macam bentuknya, terutama perkembangan teknologi maupun hal-hal yang berkaitan dengan tawaran komersial. Di balik semua yang tampak di depan publik, banyak sekali secercah ladang gersang yang melingkari di sela-sela sudut tempat kumuh yang nyatanya tidak terlepas dari dampak dari hegemoni para elit politik yang senantiasa mengucurkan kotoran-kotoran yang dianggapnya sebagai feedback dari apa yang telah dilakukan secara membabi buta terhadap jabatan yang diperolehnya dari suara-suara rakyat atas nama bangsa ataupun agama berlandaskan prinsip ekonomi disatu sisi dan dasar pemahaman yang kurang benar mengenai teks normatif keagamaan.
Dari gambaran di atas, penulis ingin mencoba untuk melakukan sedikit pelurusan pemahaman keagamaan yang selama ini dianggap benar dalam artian untuk melegitimasi kepentingan mereka sendiri. Uraian di bawah ini merupakan sedikit cara kerja tafsir dengan aspek-aspek yang melingkupi.

A. Rekayasa ayat-ayat Legitimasi Korupsi

Para Tikus berdasi/bersorban (untuk lebih menghaluskan istilah para koruptor), melalukan justifikasi terhadap apa yang dilakukan dengan berbagai macam cara, terutama dengan teks normatif keagamaan, mereka mengambil asumsi bahwasanya korupsi merupakan dosa kecil yang dapat dihapus, apalagi jika sebagian disisihkan untuk berbuat baik ataupun beramal sholeh dengan cara mensedekahkah bagi fakir-miskin, anak yatim, dan mereka yang tidak mampu. Nanti di akhirat timbangan pahala sedekah dari hasil korupsi bisa lebih berat daripada sanksi dosanya. Hal demikian dilegitimasi atas teks normatif yang dipahami secara parsial sehingga seakan-akan menjadi sebuah sistem yang mau tidak mau harus dilakukan. Adapun teks-teks normatif yang diambil, bisa dikatakan banyak, namun pada kesempatan kali ini hanya beberapa teks keagamaan –terutama teks primer, yaitu al-Qur’an- dibantu dengan hadist sebagai penguat atau penjelas dari yang ada di dalam al-Qur’an.
Adapun ayat-ayat yang sering digunakan untuk melegitimasi apa yang dilakukan oleh para tikus berdasi/bersorban dapat disebutkan sebagai berikut:
Dalam QS. ali-Imran (3): 135,

1. Dalam QS. An-Nisa’ (4): 31,
           

2. Dalam QS. An-Najm (53): 32,
    •    •              •   •         •

3. Dalam QS. al-Zalzalah (99): 7-8,
            

4. Dalam QS. Huud (11): 114,
   •     •       



B. Meluruskan Pemahaman Ayat-ayat Legitimasi Korupsi

Pada kesempatan ini, penulis berkesempatan untuk sedikit mengekspresikan tafsiran mengenai ayat-ayat yang dianggap oleh para tikus berdasi/bersorban. Untuk lebih jelasnya mengenai bagaimana tafsiran yang penulis lakukan, maka akan dijelaskan secara holistik di bawah ini.

1. Dalam QS. An-Nisa’ (4): 31,
Berkaitan erat dalam ayat ini dengan ayat sebelumnya (ayat sebelum ayat ke-31 ini), dalam kategori apa saja dosa besar itu, sehingga para ulama’ berbeda-beda dalam berpendapat tentang dosa besar. Sahabat Nabi SAW., ‘Abdullah Ibn Mas’ud –sebagaimana diriwayatkan oleh pakar hadist al-Bazzar- pernah ditanya tentang dosa besar. Beliau menjawab, “Itulah yang disebut antara ayat pertama sampai ayat 30.”
Ada pula ulama’ –berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist Nabi SAW- yang merinci dosa-dosa besar dan menyebutnya satu-persatu, yaitu:
1) Mempersekutukan Allah, 2) Durhaka kepada Ibu/Bapak, 3) Membunuh manusia tanpa hak, 4) Menuduh zina, 5) Memakan harta anak yatim, 6) Lari atau berpaling dari peperangan, 7) Mempraktikkan sihir.
Terlepas dari apa yang telah disebutkan oleh para ahli tafsir yang mana salah satu dosa besar dapat dihapus dengan cara bertaubat dengan tidak melakukan hal semacam lagi berdasarkan kesadaran diri terhadap apa yang telah dilakukan. Namun yang menjadi sesuatu yang menggelitik oleh penulis adalah bagaimana mungkin dosa yang dilakukan terhadap sesama makhluk dapat diampuni hanya dengan lewat meminta ampun kepada Allah tanpa meminta maaf kepada orang yang telah dianiaya dengan secercah senyum palsu. Bukankah hak itu dicabangkan dengan dua cabang, yaitu hak vertikal (kepada Sang Pencipta) dan hak horizontal (kepada sesama makhluk).
Oleh karena itu, para politisi korupsi kurang dalam memahami betul bagaimana ayat tersebut dijadikan sebagai suburnya ajang korupsi, sehingga yang patut dijadikan tafsiran sebagai pegangan dalam merekayasa pemahaman adalah tafsir yang penulis coba uraikan lebih detail dalam ayat-ayat dibawah, karena disini penulis hanya ingin sedikit mengantarkan bagaimana seharusnya nalar dalam menafsirkan teks keagamaan berdasarkan prinsip non-kontradiktif normatif tekstual dengan realitas empirik.

2. Dalam QS. An-Najm (53): 32,
Kata al-lamam dipahami oleh banyak ulama dalam arti dosa-dosa kecil yaitu yang dilakukan sesekali sehingga ia bagaikan dilakukan tanpa sadar oleh yang bersangkutan. Dari kata dasar al-lamam yang diartikan sebagaimana di atas, dengan sangat jelas bahwa maksud dari dosa kecil tersebut bukan dosa-dosa kecil yang dilakukan sering kali, karena sesuatu yang kecil jika dikumpulkan atau dilakukan secara terus-menerus dapat menjadi besar, yaitu berubah dari dosa kecil ke dosa besar karena terlalu banyak penumpukan dosa.
Lantas bagaimana dengan apa yang dilakukan oleh para tikus berdasi/bersorban yang secara jelas melakukan tindakan membunuh bangsa secara perlahan tapi pasti dengan kesengajaan dari dalam pribadi. Dari sini perlu diteguhkan atau ditegaskan kembali bahwa pernyataan tentang pengampunan Allah yang tertera dalam ayat di atas atas al-lamam seharusnya tidak dipahami sebagai bentuk izin untuk melakukannya, melainkan hendakknya dipahami sebagai ajakan Allah atas melakukan pendekatan diri kepada-Nya dengan bertobat dari dosa-dosa yang dilakukan agar meminilisir timbulnya kompleks kejiwaan akibat dosa-dosa tersebut.

3. Dalam QS. al-Zalzalah (99): 7-8,
Sehubungan dengan uraian QS. An-Najm (53): 32 di atas, maka diteruskan dengan tafsir QS. al-Zalzalah (99): 7-8, dalam bahasan yang secara singkat mengarah pada point pokoknya yang sering dilupakan yang seharusnya merupakan suatu esensi dari kandungan ayat ini, yaitu asbabul nuzul ayat ini yang dapat dijelaskan di bawah ini.
Kedua ayat ini turun, menurut sementara ulama’, menyangkut peristiwa di Madinah pada dua orang; yang pertama merasa malu memberi peminta-minta jika hanya sebiji kurma atau sepotong roti(kaum muslimin menganggap bahwa orang yang bersedekah sedikit tidak akan memperoleh pahala), sedang yang lain meremehkan dosa yang kecil, seperti berbohong, mengumpat, mencuri penglihatan, dan lain-lain, dengan alasan ancaman neraka oleh Tuhan hanya bagi mereka yang melakukan dosa besar.
Dari tinjauan asbabul nuzul tersebut, maka dengan terang hal itu merupakan teguran atau pelurusan pemahaman keagamaan yang mana hanya dipahami secara parsial untuk melegitimasi kepentingan pribadi dalam kaitan pembahasan awal kita, korupsi. Untuk lebih jelas mengenai bagaimana memahami dalam konteks kecil atau besarnya amal, Nabi SAW. bersabda: ”Lindungilah diri kamu dari api neraka walau dengan sepotong kurma.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui ’Adi Ibn Hatim). Di kali lain beliau bersabda: ”Hindarilah dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya ada yang menuntut (pelakunya) dari sisi Allah (di hari kemudian)” (HR. Ahmad dan al-Qur'an-Baihaqi melaui Abdullah Ibn Mas’ud).

4. Dalam QS. Huud (11): 114,
Seperti halnya penjelasan Dalam QS. al-Zalzalah (99): 7-8, penulis sengaja tidak memaparkan tafsiran-tafsiran yang berkaitan dalam ayat tersebut karena pada dasarnya hanya akan berputar pada aspek-aspek yang umum ditafsirkan oleh para mufassir, namun beda halnya bila mana ditilik pada aspek kronologi (asbabun nuzul) yang akan membantu atau dengan kata lain akan terlihat entry point dalam pemaknaan.
Ayat ini disinyalir oleh para ulama’ dari sekian banyak riwayat yang antara lain berkenaan dengan seseorang yang melakukan pelecehan dengan mencuimi seseorang wanita, kemudian ia datang menyampaikan kesalahannya itu kepada Rasul SAW. Allah menurunkan ayat ini. Ketika Rasul SAW. menyampaikannya, orang itu berkata: “Apakah menyangkut diriku ayat ini turun?” Nabi SAW. menjawab: “Bagi siapa pun yang melaksanakannya dari umatku.” (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah melalui Ibnu Mas’ud).
Di riwayat lain dikemukakan bahwa Abul Yasar kedatangan seorang wanita yang mau membeli kurma. Ia berkata: ”Di rumahku ada kurma yang lebih baik daripada ini.” Maka masuklah wanita itu bersamanya, kemudian ia merangkul wanita itu serta menciumnya. Setelah itu ia menghadap Rasululloh seraya menerangkan kejadian tersebut. Bersabdalah Rasululloh: ”Biginikah engkau bila dititipi seorang istri oleh suaminya yang sedang berperang?”
Dari kutipan ayat di atas dengan aspek kronologinya, bahwasanya ayat ini turun atas dasar permasalahan sosial (manusia dengan manusia), bukan permasalahan ketuhanan (manusia dengan Tuhan), yaitu dalam konteks melakukan pelecehan terhadap perempuan sementara dari bentuk simantik dari ayat tesebut disebutkan al-hasanat dalam bentuk ritual peribadatan yang terfokus pada aspek ketuhanan, bukan sosial. Persoalannya, mana mungkin sholat bisa menghapus pelecehan terhadap wanita, tanpa ada maaf atau kerelaan dari wanita.
Padahal seseorang yang melakukan penindasan kepada orang lain sebelum mendapat maaf atau kerelaan kepada orang tersebut, bagaimana mungkin bisa mendapat menghilangkan penindasan itu. Sebab masalah melakukan kekejian atau penindasan di sini ada masalah seseorang kepada seseorang atau kelompok (hubungan manusia dengan manusia), bukan permasalahan antara hamba dengan Tuhannya sebagaimana yang ada dalam hal ritual.
Jika demikian, jawaban dari al-Qur’an mesti dibaca sebagai mekanisme Rasul yang menenangkan laki-laki yang melecehkan wanita yang bertanya kepadanya (dan padahal laki-laki itu telah menyesal), dengan harapan tidak mengulangi lagi dengan cara melakukan sholat, bukan untuk menyelesaikan permasalahan. Sebab sholat dapat digunakan sebagai mekanisme rohani untuk menenangkan jiwa, yang tidak dapat menghapus dosa-dosa sosial. Yang jika ditarik pada pembahasan awal kita, maka tafsiran ini sangat relevan bilamana dijadikan reinterpretasi yang selama ini dipahami oleh para Tikus berdasi/bersorban.

C. Reformulasi Hukum Korupsi yang Relevan

Korupsi merupakan sebuah virus yang sangat akut, maka solusi yang paling tepat adalah melalui pesan nilai-nilai Agama. Dan terlebih khusus di Indonesia yang mayoritas beragama islam maka pesan Allah di dalam Al-Qur’an (monopoli penafsiran) perlu diperhatikan. Dari mana usaha memberantas korupsi diawali, maka awalilah dari penguasa. Penguasa bersih rakyat sejahtera dan jauh dari korupsi. Disamping itu perlu peningkatan iman serta dibarengi perbaikan sistem, Namun di antara keduanya ini, mempertebal keimanan (ketakwaan) adalah yang paling utama, sesuai firman Allah: “Berbekallah kamu, sesunggunya sebaik-baik bekal adalah takwa” (Al-Baqarah: 197). Nabi Muhammad saw bersabda: “Si pemberi dan penerima suap sama-sama di dalam neraka” (HR. Abu Daud).
Dalam lintasan sejarah, kita bisa berkaca, bagaimana usaha Amirul Mukminin Umar ibn Khattab menerapkan pemberantasan korupsi dengan sistem pembuktian terbalik. Ketika itu, Abu Hurairah r.a. diangkat menjadi wali (gubernur). Beliau menabung banyak harta dari sumber-sumber yang halal. Mendapatkan informasi tentang hal itu, Amirul Mukminin Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memanggil sang Gubernur ke Ibukota Negara Khilafah, Madinah. Sesampai di Kota Madinah al-Munawwarah, Khalifah Umar ra. berkata kepada sang Gubernur, “Hai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya! Bukankah engkau telah mencuri harta Allah?”
Gubernur Abu Hurairah ra. Menjawab, “Amirul Mukminin, aku bukan musuh Allah dan bukan pula musuh Kitab-Nya. Aku justru musuh siapa saja yang memusuhi keduanya. Aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah..”
Khalifah Umar ra. bertanya kepadanya, “Lalu dari mana engkau mengumpulkan harta sebesar 10.000 dinar itu?”
Abu Hurairah ra. Menjawab, ”Dari untaku yang berkembang pesat dan dari sejumlah pemberian yang berturut-turut datangnya.”
Khalifah Umar ra. berkata, ”Serahkan hartamu itu ke Baitul Mal kaum Muslim.”
Abu Hurairah ra. segera memberikannya kepada Khalifah Umar ra. Beliau lalu mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berkata lirih, ”Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin.”
Riwayat di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama: harta negara pada hakikatnya adalah harta Allah SWT yang diamanatkan kepada para pejabat untuk dijaga dan tidak boleh diambil secara tidak haq. Tindakan mengambil harta negara secara tidak haq adalah tindakan curang yang oleh Khalifah Umar ra. diibaratkan dengan mencuri harta Allah untuk lebih menegaskan keharamannya.
Kedua: pejabat yang mengambil harta negara secara tidak haq, oleh Khalifah Umar ra., dicap sebagai musuh Allah dan Kitab-Nya. Sebab, mereka berarti tidak menghiraukan lagi larangan Allah SWT. Allah SWT tidak mengizinkan hal itu:
Siapa saja yang berbuat curang, maka pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. (QS Ali Imran [3]: 161).
Ketiga: Khalifah sebagai kepala negara harus menjaga pejabat bawahannya jangan sampai ada yang melakukan tindakan curang alias korupsi. Untuk menjaga hal ini, Khalifah Umar ra. membuat prosedur: siapa saja pejabat gubernur maupun walikota yang diangkatnya akan dihitung terlebih dulu jumlah kekayaan pribadinya sebelum diangkat, lalu dihitung lagi saat dia diberhentikan. Jika terdapat indikasi jumlah tambahan harta yang tidak wajar maka beliau menyita kelebihan yang tidak wajar itu atau membagi dua, separuhnya diserahkan kepada Baitul Mal.
Jadilah sangat relevan sekali bilamana usaha pemberantasan korupsi melalui akidah terlebih dulu atau penafsiran bagaimana sebenarnya eksistensi korupsi itu di satu sisi, dan di sisi lain jika agama akan memainkan peran lebih besar dalam pemberantasan korupsi, itu dapat dilakukan dengan meningkatkan peran institusi keagamaan, seperti pengurus masjid atau gereja, organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain,” ujar Rektor UIN Jakarta Azyumardi Azra kepada tim At-Tanwir.
Seperti yang telah dikatakan oleh Rektor UIN Jakarata di atas, organisasi keagamaan juga berpotensial dalam usaha pemberantasan korupsi. Usaha yang paling mencolok dari organisasi besar keagamaan Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama’) di Indonesia, yaitu, bahwa cara yang paling efektif dalam membarantas korupsi adalah dengan cara memfatwakan bahwasanya korupsi adalah syirik yang tidak diampuni oleh Allah. Yang pelakunya tidak diberi keselamatan di akhirat dan berkumpul bersama musuh-musuh Allah.








BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada prinsipnya, nilai moral yang dikandung dalam teks keagamaan sangat sarat dengan prinsip-prinsip sosial yang mana tidak hanya terbatas pada manipulasi pemahaman yang dilakukan oleh para elit koruptor.
Dalam QS. An-Nisa’ (4): 31, berkaitan erat dalam ayat ini dengan apa saja kategori dosa besar sehingga terjadi perbedaan untuk memahami dalam merinci macam-macam dosa besar tersebut. Penafsiran yang umum hanya akan memberi tanda tanya besar bagaimana mungkin dosa yang dilakukan terhadap sesama makhluk dapat diampuni hanya dengan lewat meminta ampun kepada Allah tanpa meminta maaf kepada orang yang telah dianiaya dengan secercah senyum palsu.
Berlanjut pada QS. An-Najm (53): 32, melalui pernyataan kata dasar al-lamam yang diartikan sebagaimana di atas, dengan sangat jelas bahwa maksud dari kecil tersebut bukan dosa-dosa kecil yang dilakukan sering kali, karena sesuatu yang kecil jika dikumpulkan atau dilakukan secara terus-menerus dapat menjadi besar, yaitu berubah dari dosa kecil ke dosa besar karena terlalu banyak penumpukan dosa.
Adapun dalam QS. al-Zalzalah (99): 7-8, secara historical terdapat jelas informasi bahwa ayat ini menyangkut peristiwa di Madinah pada dua orang; yang pertama merasa malu memberi peminta-minta jika hanya sebiji kurma atau sepotong roti, sedang yang lain meremehkan dosa yang kecil, dengan alasan ancaman Tuhan hanya bagi mereka yang melakukan dosa besar.
Dalam QS. Huud (11): 114, merupakan manner dari keseluruhan apa yang telah dibicarakan di atas, dasar permasalahan sosial (manusia dengan manusia), bukan permasalahan ketuhanan (manusia dengan Tuhan), yang terdapat pada ayat tersebut, yaitu dalam konteks melakukan pelecehan terhadap perempuan sementara dari bentuk simantik dari ayat tesebut disebutkan al-hasanat dalam bentuk ritual peribadatan yang terfokus pada aspek ketuhanan, bukan sosial. Al-Qur’an mesti dibaca sebagai mekanisme Rasul yang menenangkan laki-laki yang melecehkan wanita yang bertanya kepadanya (dan padahal laki-laki itu telah menyesal), dengan harapan tidak mengulangi lagi dengan cara melakukan sholat, bukan untuk menyelesaikan permasalahan. Sebab sholat dapat digunakan sebagai mekanisme rohani untuk menenangkan jiwa, yang tidak dapat menghapus dosa-dosa sosial.


























DAFTAR PUSTAKA

http//teguhtimur.com/2006/05/26/agama-landasan-memberantasan-korupsi.
http://muad.web.ugm.ac.id/mb/?p=8.
http://profesorpram.wordpress.com/2009/03/01/%E2%80%9C-kejahatan-korupsi-di-indonesia%E2%80%9C/.
Mulkhan, Abdul Munir, 2007. Manusia al-Qur’an, Jakarta: Kanisius
Ridwan, Nur Khalik, 2003. Detik-detik Pembongkaran Agama, Yogyakarta: ar-Ruzz.
Shaleh, KH. dan Dahlan, H. A. 2000, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro.
Shihab, M. Quraish, 2006. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar