PLOTINUS & AGUSTINUS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lebih dari tiga abad filosofi sebelum masa religi (masa Plotinus dan Augustinus yang akan dibahas dalam makalah ini) mencoba mengganti agama rakyat dengan suatu pandangan yang dipandangnya lebih rasional untuk keperluan hidup. Agama sianggapa sebagai suatu belenggu, menanam rasa takut dalam hati manusia. Karena itu, agama dipandang sebagai suatu penghalang untuk memperoleh kesenangan hidup.
Dalam permasalahan seperti ini, maka muncullah beberapa filosof untuk membantah pendapat mereka yang meniadakan agama atau dengan kata lain muncullnya filosof religi sebagai reaksi terhadap mereka, seperti Plotinus dan Augustinus.
Oleh karena itu, di bawah ini akan ditulis rumusan masalah yang menyangkut filosofi Plotinus dan Augustinus dan akan dilanjutkan setelah rumusan masalah, yaitu pembahasan dari unsur-unsur apa saja yang ada pada rumusan masalah tersebut.




B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Plotinus dalam Filsafatnya?
2. Bagaimana pandangan Augustinus dalam filsafatnya?





BAB II
PEMBAHASAN

PLOTINUS
Plotinus mula-mula tidak bermaksud akan mengemukakan filosofinya sendiri. Ia hanya ingin memperdalam filosofi Plato yang dipelajarinya. Oleh sebab itu, folosofinya sering disebut orang dengan Neoplatonisme.

Metafisika Plotinus
Sistem metafisika Plotinus ditandai oleh konsep transendens. Menurut pendapatnya, di dalam pikiran terdapat tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul.
The One (Yang Esa) yaitu suatu realitas yang tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains dan logika. Ia berada di luar eksistensi, di luar segala nilai. Yang Esa itu adalah puncak semua yang ada dan siapa saja yang memiliki pengetahuan keilahian juga tidak akan dapat merumuskan apa sebenarnya Yang Esa itu.
The One tidak dapat didekati melalui peginderaan dan juga tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis. Kita hanya dapat menghayati adanya; Ia itu tidak dapat dipikirkan seperti kita memikirkan sesuatu yang ada definisinya. Ia itu prinsip yang tidak dapat dilambangkan dengan suara atau huruf.
Realitas kedua ialah Nous, suatu istilah yang dapat juga disebut Mind. Ini adalah gambaran tentang Yang Esa dan di dalamnya mengandung idea-idea Plota. Kandungan Nous adalah benar-benar kesatuan. Untuk menghayatinya kita mesti melalui perenungan.
The Soul adalah realitas ketiga dalam filsafat Plotinus. Sebagai arsitek semua fenomena yang ada di alam ini, Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah energi di belakang dunia, dan pada waktu yang sama ia adalah bentuk-bentuk alam semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua aspek: yang pertama intelek yang tunduk pada reinkarnasi, dan yang kedua adalah irasional. Yang irasional ini mungkin sama dengan moral pada Kant; yang intelek itu kelihatannya sama dengan akal logis.
Teori tentang tiga realitas ini mengingatkan kita pada teologi Trinitas yang dianut oleh Kristen, tampak sekali persamaannya. Teologi Trinitas itu pada masa Plotinus memang sedang dalam proses pembentukannya, atau katakanlah sedang dalam perumusannya.

Tentang Ilmu
Idea keilmuan tidak begitu maju pada Plotinus, ia menganggap sains lebih rendah daripada metafisika, metafisika lebih rendah daripada keimanan. Surga lebih berarti dari pada bumi sebab surga itu tempat peristirahatan jiwa yang mulia.bintang-bintang adalah tempat tinggal dewa-dewa.ia juga mengakui adanya hantu-hantu yang bertempat diantara bumi dan bintang-bintang.semuanya ini menunjukkkan rendahnya mutu sains Plotinus.
Plotinus dapat disebut musuh naturalisme, ia membedakan dengan tegas tubuh dan jiwa; jiwa tidak dapat diterjemahkan ke dalam ukuran-ukuran badaniah; fakta alam harus difahami sesuai dengan tendensi spiritualnya.

Tentang Jiwa
Untuk memahami pemikiran Plotinus, kita harus mahami filsafatnya tentang jiwa. Menurutnya, jiwa adalah suatu kekuatan ilahiah; jiwa merupakan sumber kekuatan. Alam semesta berada di dalam jiwa dunia. Jiwa tidak dapat dibagi secara kuantitatif karena jiwa itu adalah sesuatu yang satu tanpa dapat dibagi. Alam semesta ini merupakan unit-unit yang juga tidak dapat dibagi. Jiwa setiap individu adalah satu, ia diketahui dari kenyataan bahwa jiwa itu ada di setiap tempat di badan, bukan sebagian di sana dan sebagian di sini pada badan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa jiwa anda sama dengan jiwa saya, berarti jiwa hanya satu; jiwa itu individual.
Rupanya jiwa itu banyak, setiap orang mempunyai jiwanya sendiri, terapi antara jiwa-jiwa itu ada kesatuannya. Jiwa yang satu itu mungkin masuk ke segala sesuatu yang berjiwa, tetapi ia tidak membelah dirinya.

Etika dan Estetika Plotinus
Etika Plotinus dimulai dengan pandangannya tentang politik. Ia mengatakan bahwa seseorang adalah wajar memenuhi tugas-tugasnya sebagi warga negara sekalipun ia tidak tertarik pada masalah politik. Tidak seperti pengikutnya, Augustinus misalnya, Plotinus tidak begitu menganggap tinggi kehidupan pertapa; perenungan itulah yang lebih penting.
Dalam persoalan ini iamembahas masalah kebebasan kehendak. Manusia mempunyai kebebasan, tetapi itu tidak dapat dipahami secara lahiriah. Untuk memperoleh kemampuan yang baik kita harus digerakkan oleh cinta. Mula-mula kita mencintai objek yang nyata, terakhir kita mencintai sumber segala cinta, yaitu esensi yang immaterial. Manusia jahat akan menjadi budak hawa nafsunya, jadi tidak bebas. Plotinus menjelaskan bahwa jiwa manusia, di dalam jiwa Ilahi, menuju kepada kebaikan tanpa rintangan, dan itulah dilakukannya dengan bebas. Dalam memilih antara yang baik dan yang jahat, kita bebas memilih yang kita inginkan. Akan tetapi jika memilih yang jahat, berarti kita menuju ketidakbebasan.
Keindahan juga memiliki pengertian spiritual, karena itu estetika dekat sekali dengan kehidupan moral. Esensi keindahan tidak terletak pada harmoni dan simetri. Ada smacam skala menaik tentang keindahan, mulai dari keindahan yang bersifat inderawi, naik ke emosi, kemudian ke susunan alam semesta yang immaterial. Jadi, keindahan itu bertingkat, mulai dari keindahan inderawi sampai kepada keindahan Ilahi.
Konsep keindahan pada Plotinus berhubungan juga dengan pandangannya tentang kejahatan. Kejahatan tidak mempunyai realitas metafisis. Perbuatan jahat adalah perbuatan aku yang rendah. Aku yang rendah ini bukanlah aku yang berupa realitas pada manusia. Aku yang berupa realitas ialah aku yang murni. Aku yang murni itu terdiri atas Logos dan Nous. Logos menerima dari Nous (akal) idea-idea yang kekal. Dengan perantara Logos (pikiran), jiwa hanya dapat melakukan tugas yang mulia, yang tujuannya bersatu dengan Tuhan

AUGUSTINUS
Augustinus adalah pemikir Kristiani yang paling besar pada abad-abad pertama. Menurut pandangannya kebenaran tidak ditemukan pertama-tama dalam pikiran akal budi toeritis sebagaimana diajarkan oleh filsuf-filsuf. Seperti tokoh Neoplatonisme, Plotinus, ingin memandang Tuhan melalui ide-ide kekal
Disini Augustinus menghadapi dilema yang akan ditimbulkan kembali dalam seluruh sejarah

Pendapat Augustinus tentang Tuhan dan Manusia
Perubahan keyakinan pada Augustinus menghasilkan perubahan yang menyeluruh dalam pandangan intelektualnya. Ajaran Augustinus dapat dikatakan berpusat pada dua unsur: Tuhan dan Manusia. Akan tetapi dapat juga dikatakan bahwa seluruh ajaran Augustinus berpusat pada Tuhan, ia yakin benar bahwa pemikiran dapat mengenal kebenaran, karena itu ia menolak skeptisme. Ia mengatakan bahwa setiap pengertian tentang kemungkinan pasti mengandung kesungguhan. Bila orang menganggap suatu dokrin adalah kemungkinan, ia harus menganggap bahwa di dalam doktrin itu ada kebenaran. Bila orang ragu bahwa dia hidup, tentu ia benar-benar hidup. Ini di buktikannya dalam ungkapanya: “If I err, I am” ungkapan itu di mulai dari keraguan tetang adanya dirinya seperti pada metode Descartes. Dari sini ia menemukan kesungguhan adanya dirinya, yang tadinya diragukannya.
Kita mengalami pencerahan ilahiyah, dan dari situ kita memperoleh langsung kesadaran tetang keagungan Tuhan. Pemikiran tidak mungkin bertentangan dengan keimanan sebab kedua-duanya datang dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Sebenarnya pengetahuan pada tingkat paling tinggi tetaplah rendah. Kita harus menggantungkan diri sepenuhnya pada cahaya Tuhan. Dari sini kita dapat mengatakan bahwa teori pengetahuan Augustinus adalah teori pengetahuan yang memerlukan pencerahan alahiyah. Jadi bagi Augustinus, dalam mencari kebenaran, Tuhan adalah guru.
Setalah ia yakin ia ada, setelah ia yakin bahwa ia mampu mengenal Tuhan, maka mulailah ia mempelajari Tuhan. Menurut Augustinus, dalam kita mencari kebenaran, keindahan, dan kebaikan, kita sebenarnya dibimbing oleh konsep ada kebenaran, keindahan, dan adanya kebaikan yang absolut. Ringkasnya kerelatifan menunjukan adanya ukuran mutlak. Norma yang absolut ini menjadi satu dengan eksistensi tuhan. Kesimpulan argumen ini adalah kerelatifan mendesakkan adanya kemutlakan, keanekaan mendesakkan adanya keesaan yang pasti. Dan menurut Augustinus, keesaan itu adalah Tuhan. Jadi Tuhan itu di temukan dalam rasa, bukan dalam proses pemikiran
Pendapatnya daya pemikiran manusia ada batasnya, tetapi pikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan kepastian yang tidak ada batasnya, yang bersifat kekal dan abadi.
Ia juga mencoba membuat argumen yang lain tentang adanya Tuhan. Ia mengambil susunan alam semesta. Alam semesta ini menurutnya memerlukan penciptaan. Dia sependapat dengan Plotinus yang mengatakan bahwa Tuhan itu di atas segala jenis (categories). Sifat Tuhan yang paling penting adalah kekal, bijaksana, maha kuasa, maha tahu, maha sempurna dan tidak dapat di ubah. Keadaan alam seperti ini menurut Augustinus memerlukan pencipta dan pengatur. Augustinus tidak percaya pada dualisme fisik. Konsekuensinya adalah ia harus berpendapat bahwa kejahatan itu tidaklah positif, kejahatan itu sekedar menunjukan jarak dari ada yang sebenarnya. Tidak ada Tuhan kecuali yang Esa itu yang mempunyai sifat kesempurnaan.

Teori Pengetahuan
Augustinus menolak teori kemungkinan, dan ia berargumen 'saya tahu bahwa saya tahu dan mencinta'. Bagaimana jika anda bersalah? Saya bersalah, jadi saya ada. Kesalahan saya membuktikan adanya saya. Jika saya tahu bahwa saya tidak bersalah, saya pun tahu saya pun ada. Saya mencintai diri saya, baik tatkala saya bersalah maupun tatkala saya tidak bersalah, kedua-duanya tidaklah palsu. Bila kedua-duanya palsu, berarti saya mencintai obyek yang palsu, jadi saya mencintai obyek yang tidak ada. Akan tetapi karena saya benar-benar ada, karena saya bersalah atau tidak bersalah, maka saya mencintai obyek-obyek yang benar-benar ada yaitu saya. Tidak ada orang yang tidak ingin bahagia, semua orang ingin bahagia, jadi tidak ada orang yang ingin tidak ada sebab bagaimana mungkin seseorang memiliki kebahagian sementara ia tidak ada.
Sejak Augustinus menyakini adanya dirinya, ia yakin sekarang bahwa dirinya ada, ia mengandalkan kesadaran dan perasaan. Pandangan Augustinus atas hukum positif kurang jelas, kadang-kadang dikatakannya bahwa hukum itu harus berdasarkan pada hukum alam supaya memiliki kekuatan hukum. Kadang-kadang dikatakanya juga bahwa berlakunya hukum tergantung dari pengesahan oleh negara.

Teori tentang jiwa
Augustinus menentang ajaran yang mengatakan bahwa jiwa itu material. Menurut pendapatnya jiwa atau roh itu immaterial. Augustinus membuktikan immaterialnya jiwa dengan mengatakan jiwa itu di dalam badan, ada di mana-mana dalam badan pada waktu yang sama. Bila jiwa itu material, ia akan terikat pada tempat tertentu dalam badan. Menurut Augustinus jiwa tidak mempunyai bagian karena ia immaterial. Akan tetapi jiwa mempunyai tiga kegiatan pokok: pertama mengingat, kedua mengerti, dan ketiga mau. Oleh karena itu jiwa memiliki atau menggambarkan ketritunggalan alam (the cosmic trinity).
Augustinus tidak menerima pandangan yang mengatakan ada dunia jiwa atau dunia roh. Menurut Augustinus, yang ada ialah jiwa yang tunggal dan individual. Dikatakan tunggal karena jiwa ada pada badan, badan itu tunggal dan individual. Jiwa tidak ada bila badan tidak ada. Akan tetapi ia juga mengatakan bahwa jiwa tidak bergantung pada badan, badan akan binasa sedangkan jiwa tidak. Berbeda dengan Plato, Augustinus tidak menerima paham yang mengatakan bahwa ada jiwa pada masa praeksistensi. Ia juga menolak paham reinkarnasi. Agustinus mencoba memperlihatkan bahwa pikir (reason) dan jiwa (soul) itu bersatu..
Ia juga mengemukakan argumen lain untuk membela pendapatnya bahwa jiwa bersifat immortal (tidak bisa musnah). Menurutnya kebenaran bersifat abadi; jiwa memiliki kebenaran itu (kebenaran itu ada di dalam jiwa) karena itu jiwa itu mesti abadi. Bagi Augustinus kebenaran bersifat abadi karena kebenaran tidak terpisah dari jiwa maka jiwa itu pun harus abadi.
Mengenai penciptaan jiwa menurut Augustinus, jiwa itu diciptakan bukan memancar (emanasi) seperti pada teori Plotinus. Penempatannya di dalam bukan hasil/akibat kejatuhannya, melainkan memang kewajaran/nature jiwa itu bertempat dalam arah jasmani. Augutinus melihat hubungan antara Tuhan dan jiwa manusia sebagai perhatian utama agama. Karena jiwa diciptakan "dalam citra Tuhan", pengetahuan diri menjadi alat untuk mengenal Tuhan.
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara ringkas, keduanya baik Plotinus dan Augustinus dalam pemikirannya adalah berpusat pada ketuhanan.
Plotinus merupakan filsof pertama yang mengajukan teori penciptaan.alam semesta. Dialah yang mengajukan teori emanasi yang kemudian banyak diikuti oleh filosof islam. Filsafat Plotinus kebanyakan bernafas mistik, bahkan tujuan filsafat menurutnya adalah untuk mencapai pemahaman mistik. Menurutnya di dalam pemikiran manusia tedapat tiga realitas. Pertama, yakni The One (yang Esa) adalah Tuhan yang berada di luar eksistensi, di luar segala nilai, dan tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains, dan logika. The One (yang Esa) ini juga tidak dapat didekati dengan penginderaan, kedua adalah The Mind yang menjadi gambaran tentang yang Esa dan di dalamnya teerdapat idea-idea Plato yang merupakan bentuk asli dari objek-objek dan untuk menghayatinya kita mesti melalaui perenungan, dan yang ketiga adalah The Soul. Soul mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia ini dapat dilihat dalam dua aspek, yakni energi di belakang dunia dan bentuk-bentuk dari dunia (alam semesta). Begitu juga jiwa manusia terdiri dari dua aspek, yakni intelek yang tunduk pada reinkarnasi dan irasional.
Sama halnya dengan Plotinus yang berpikir mistis dan ketuhanan, Augustinus telah meletakkan dasar-dasar abad pertengahan Ajaran Augustinus dapat dikatakan berpusat pada dua unsur, yaitu: Tuhan dan Manusia. Akan tetapi substansi seluruh ajaran Augustinus berpusat pada Tuhan. Intelektualisme tidak penting dalam sistemnya, yang penting baginya adalah cinta kepada Tuhan. Ia juga sependapat dengan Plotinus bahwa Tuhan adalah segala jenis.
Mengenai jiwa, Augustinus membaginya dalam tiga kegiatan pokok, yaitu: pertama mengingat, kedua mengerti, dan ketiga mau. Oleh karena itu jiwa memiliki atau menggambarkan ketritunggalan alam (the cosmic trinity).

DAFTAR PUSTAKA
Ahcmadi, Asmoro. 2005. Filsafat Umum, Jakarta::PT RajaGrafindo Persada.
C. Solomon, Robert dan Kathleen M. Higgins. 2003. Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Bentang Budaya.
Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas.
Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogya: Kanisius.
Syadali, Ahmad dan, Mudzakir. 1997. Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar