Verifikasi Falsifikasi Vs Jarh wa Takdil

BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai epitemologi dari proposisi yang sedikit rumit hingga yang paling rumit untuk dipahami tidak lain merupakan suatu bentuk dari perhatian manusia terhadap sisi keilmuan yang menjalar yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Verifikasi falsifikasi dan jarh wa takdil merupakan salah satu dari sekian aspek keilmuan yang dibuat manusia untuk dijadikan sebagai salah satu metode untuk mencari kebenaran.
Dalam kaitannya dengan makalah ini, penulis mendapat bagian tugas mensinkronkan antara epistemologi barat yang diwakili verifikasi falsifikasi dengan epistemologi Islam, yang mana menurut penulis, yang cocok menjadi pembanding adalah masalah jarh wa takdil yang walaupun masih ada lagi yang lainnya, namun penulis lebih condong terhadap jarh wa takdil.
Sudah dapat ditangkap dengan jelas, bahwa latar belakang dari penulisan makalah ini merupakan bentuk tugas dari dosen pembimbing untuk UAS, sehingga tidak mengherankan bila banyak sekali hal-hal yang mungkin tidak sesuai atau apapun yang berkaitan dengan kekurangan bentuk sajian, isi maupun penekanan obyeknya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana maksud dari verifikasi falsifikasi?
2. Bagaimana maksud dari jarh wa takdil?
3. Seperti apa sejarah, kaidah, dan syarat dalam jarh wa takdil
4. Seperti apa contoh jarh wa takdil atau verifikasi falsifikasi.



BAB II
PEMBAHASAN

Di dalam keilmuan Islam terdapat banyak proposisi yang mengantarkan pada epistemologi dalam penalaran keislaman, antara lain keilmuan mengenai ulumul Tafsir yang secara epistemologi merupakan sumber primer dalam kehujjahan keislaman, di samping terdapt pula ulumul hadist yang merupakan sahabat karib dari ulumul Tafsir (Qur’an), namun epistemologi ulumul hadist ini menempati urutan sekunder setelah al-Qur’an. Dan masih banyak lagi epistemologi keislaman yang dijadikan sebagai alat pengantar dalam memahami hukum-hukum Islam.
Pada kali lain, di seberang keilmuan keislaman, terdapat pula keilmuan modern ,yang walaupun datang belakangan setelah keilmuan keislaman, yang lebih dikenal dalam kajian filsafat ilmu yang salah satu sub bahasannya ialah mengenai verifikasi dan falsifikasi. Adapun yang dimaksudkan di sini bukan hanya untuk menyebutkan bidang-bidang epistemologi Timur (Islam) maupun Barat (umum), melainkan untuk mengkorelasikan antara epistemologi keislaman dan epistemologi umum yang disandarkan pada aspek persamaan secara esensi, yang diwakili antara teori Verifikasi Falsifikasi dengan Jarh wa Takdil yang merupakan sub bagian dari ulumul hadist.

A. Konsep Verifikasi (Lingkar Wina) Vs Takdil
Prinsip verifikasi ini menyatakan bahwa suatu proporsi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan. Perlu diingat bahwa, menurut positivisme logis hanya pengamatan indrawi itulah yang relevan, pengalaman adalah satu-satunya sumber dasar pengetahuan dan dalam analisa logis dapat dilakukan dengan bantuan simbol-simbol logika dengan menggunakan metode untuk pemecahkan masalah melalui metode verifikasi yaitu bila terdapat sesuatu yang tidak dapat diverifikasi secara empirik maka hasilnya adalah sia-sia.
Verifikasi data dimaksudkan untuk mengumpulkan, mengola, dan menganaslisis data untuk menguji hipotesis. Apabila hipotesis telah diuji melalui fakta-fata empiris maka jawaban mencapai tingkat definitif, dan kebenaran ilmiahnya dapat dipertanggung jawabkan manakala telah melalui prosedur yang benar.
Dalam kerangka pemikiran semacam itu, filsafat ilmu pengetahuan mereka pandang semata-mata sebagi logika ilmu (The Logic of Science), yang ada dalam konteks logika ilmu hanyalah pengujian dan pembenaran (contexs of justification) ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Mereka tidak peduli bagaimana ilmu pengetahuan tertentu itu muncul dan berkembang. Mereka hanya merasa berkepentingan dengan pengujian susunan logis pernyataan-pernyataan ilmiah yang digunakan. Akibatnya, filsafat ilmu, dalam hal ini yang dimaksud logika ilmu-kian jauh dari kenyataan ilmu pengetahuan yang terjadi sebenarnya, karena terlalu sibuk dengan apa yang seharusnya terjadi dalam ilmu pengetahuan.
Di atas merupakan uraian mengenai verifikasi yang dirasa cukup sehingga di sini akan dijelaskan masalah takdil, yang mungkin penulis ambil hanya sebatas pengertian dan hal-hal yang melingkupi karena pada prinsipnnya kedua keilmuan ini sama, namun yang menjadi perbedaan adalah bilamana verifikasi falsifikasi condong terhadap muatan proposisi apapun yang ditulis oleh siapapun juga, yang terpenting adalah teori tersebut dapat diverifikasi dan difalsifikasi. Sementara dalam jarh wa takdil tidak hanya pada aspek proposisi saja melainkan juga siapa dan bagaimana keadaan orang tersebut mengeluarkan proposisi.
Pengertian takdil menurut bahasa adalah lurus atau at-Tasywiyah (menyamakan). Sementara menurut istilah berarti:
هو تزكية الراوي والحكم عليه بانه عدل او ضابط
Artinya: ”Takdil yaitu pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dobit ”

B. Falsifikasi (Karl Raimund Popper) Vs Jarh
Menurut Popper, suatu ungkapan dapat dikatakan empiris atau tidak, atau manakah letak garis batas dari ungkapan tersebut tidak dapat ditentukan berdasarkan asas pembenaran yang dianut oleh kaum positivism logis. Sebab mustahilnya melakukan pembenaran atas proses induksi. Oleh karenanya ia mengungkapkan prinsip falsfiaibilitas, yakni ciri khas dari ilmu pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah (it can falsified).
Bila suatu hipotesis telah dibuktikan salah, maka hipotesis itu akan ditinggalkan dan digantikan oleh hipotesis yang baru. Kemungkinan lain adalah bahwa hanya salah satu dari unsur hipotesis yang dibuktikan salah, sedangkan inti hipotesis dapat dipertahankan, maka unsur yang tadi ditinggalkan akan diganti dengan yang baru. Dengan demikian hipotesis tersebut telah disempurnakan, walaupun tetap terbuka untuk dibuktikan salah.
Popper beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima kalau sudah terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang telah ada sebelumnya. Pengujian kedua kekuatan teori tersebut dilakukan melalui suatu tes empiris, yaitu tes memfalsifikasi. Jika dalam tes tersebut suatu teori terbukti salah, maka teori tersebut akan dianggap batal, sedangkan teori yang bertahan dan lolos dalam tes tersebut akan diterima sampai ditemukannya cara pengujian yang lebih ketat.
Disini pengetahuan maju bukan karena akumulasi pengetahuan, akan tetapi dari proses eliminasi yang keras terhadap kemungkinan terjadinya kekeliruan dan kesalahan. Jalan yang dapat ditempuh hanyalah dengan meminimalisir terjadinya kesalahan sampai sejauh dan sebanyak mungkin, hingga makin mendekati kebenaran objektif. Ini berarti mengenai proses Error Elimination yang dilakukan terus-menerus agar ilmu pengetahuan maju dan makin dekat pada kebenaran.
Epistimologi Popper kerapkali dijiluki sebagai epistimologi pemecah masalah. Hal ini karena menurut Popper, suatu pengetahuan akan diawali dengan suatu masalah. Untuk memecah masalah tersebut diajukanlah sebuah teori yang sifatnya tentatife. Kalau teori tersebut sesuai dan berdaya guna, ia dapat menyingkirkan kekeliruan dan kesalahan (Error Elimination) yang menimbulkan masalah tadi. Dengan berakhirnya satu masalah, serentak akan muncul masalah baru dan berulanglah proses yang sama, begitu seterusnya.
Dari lain sudut menurt Popper, terlihat dalam sejarah bahwa selama suatu hipotesa (hukum dan teori) tahan dalam proses falsifikasi, selama upaya itulah hipotesa (hukum dan teori) tersebut diperkokoh (is corroborated) . Meskipun demikian, ciri kesementaraan tidak dapat dihilangkan. Karena hasil langsung kemajuan ilmu ialah negative, sedangkan hasil positif pada dasarnya selalu bersifat semantara.
Pengertian Jarh dari segi bahasa berarti luka atau cacat, atau dengan perkataan metafora ‘jika badan terkana luka yang mengakibatkan mengalirnya darah dari tubuh’. Adapun pendefinisian para ahli hadist mengenai al-jarh dengan:
الطعن في راوى الحديث بما يسلب او يخل بعدالته او ضبته

Artinya: “Kecacatan pada perawi hadist karena sesuatu yang dapat merusak keadilan dan kedobitannya”
Dari perbandingan disini sudah dapat ditangkap bahwasanya antara Verifikasi dengan at-Takdil dan Falsifikasi dengan al-Jarh dan merupakan suatu usaha mencari positif dan negatif suatu proposisi yang keluar darinya.
Usaha memperbandingkan dua epistemologi antara yang diwakili oleh Barat dan Timur yang walaupun hanya sebatas pada definisi (keilmuan Timur) sehingga terasa sangat kurang cukup, oleh karena itu di bawah ini akan hal-hal yang menyangkut Jarh wa Takdil yang lebih dispesifikasikan pada sejarah jarh wa takdil, kaidah-kaidah, dan syarat apa saja yang wajib bagi pelaku jarh wa takdil.

C. Sejarah, Kaidah-kaidah, dan Syarat Pelaku Tarh wa Takdil
a. Sejarah Jarh wa Takdil
awal munculnya jarh wa takdil bersamaan dengan periwayatan hadist, karena jika diharuskan mengetahui berita benar atau salah maka diharuskan mengetahui pembawa berita tersebut, apakah jujur atau tidak (bisa diterima berita yang diberikan atau tidak). Yang pada akhirnya akan diketahui dari berita-berita yang diberikan kepada para periwayat mana yang hafid atau lebih hafid dan mana yang dobit atau yang lebih dobit.
b. Kaidah-kaidah Jarh wa Takdil
Adapun uraian mengenai kaidah-kaidah jarh wa takdil yang harus dipatuhi sebagai berikut;
1. Jarh itu wajib ketika perlu, haram ketika keterlaluan.
2. Jarh wa ta'dil tidak diterima daripada orang yang tidak mempunyai keahlian:
• Kata-kata yang dipegang dalam jarh ialah kata-kata ulama' jarh wa ta'dil pada kurun-kurun awal.
3. Jarh diterima dengan penjelasan sebab:
• Tidak diterima jarh pada seseorang yang telah ijmak menta'dilkannya.
• Tidak diterima jarh pada seseorang yang telah dita'dilkan oleh seorang pakar melainkan dengan penjelasan.
• Mengambil kata-kata yang menjarhkan lebih utama dari meninggalkannya ketika tiada ta'dil.
4. Ta'dil diterima tanpa penjelasan sebab.
5. Utamakan jarh daripada ta'dil apabila keadaan kedua-duanya sama keadaan.
6. Bukan semua yang diperkatakan tentangnya adalah dijarh.
7. Setiap pengkritik itu berijtihad untuk mengenali seseorang.
8. Ulama'-ulama' berselisih pendapat dalam mendaifkan seseorang.
• ikhtilaf mereka mengenai orang yang dituduh menipu.
ikhtilaf mereka mengenai orang yang banyak pada hadisnya wahm dan bercampuraduk.
• ikhtilaf mereka mengenai orang yang banyak kesalahan dan kesilapan.
9. Jarh tidak diterima daripada ahli sezaman melainkan dengan dalil dan hujah.
10. Pengiktirafan seseorang akan penipuannya menyingkirkan sifat adilnya.
11. Jika ada jarh dan ta'dil kedua-duanya, tidak boleh meriwayat salah satu daripadanya sahaja.
12. Merawikan dengan kalimah ta'dil tidak diterima.
13. Thiqah seseorang bukan pada riwayat dan perawinya.
• Bukan hanya riwayat jemaah daripada seseorang menjadikannya seorang masyhur.
• Bukanlah jarh pada perawi jika ia lupa hadisnya yang diriwayatkan oleh seseorang yang thiqah.
• Riwayat seseorang daripada seseorang bukanlah ta'dil (melainkan pendapat Ibnu Hibban).
• Hadis yang tidak diguna pakai bukanlah satu jarh kepada perawinya.
14. Tidak boleh berbaik sangka pada perawi.
c. Syarat-syarat Pelaku Jarh wa Takdil
Adapun Syarat-syarat jarh wa takdil yang harus dipenuhi oleh pelaku jarh wa takdil adalah seperti berikut:
1. Hendaklah orang yang menjarhkan berjaga dan sedar.
2. Hendaklah mengetahui kata-kata ulama'.
3. Hendaklah memperkemaskan apa dikemukakan supaya tidak bercanggah.
4. Hendaklah mengetahui sebab-sebab jarh wa ta'dil.
5. Hendaklah mengetahui bahasa arab supaya tidak merubah kata-kata orang apa yang sebaliknya.
6. Hendaklah jauh daripada ta'assub mazhab.
7. Hendaklah ianya penyabar dan lembut hati.
8. Hendaklah tiada permusuhan peribadi
9. Hendaklah tiada sebab tali kerabat menta'dilkan seseorang.
Dari uraian di atas, sangat kurang merapatkan kesempurnaan bilamana tidak ada contoh dalam suatu bentuk epistemologi. Oleh karena itu, di bawah ini akan diuraikan contoh jarh wa takdil atau bisa juga dengan istilah verifikasi falsifikasi dalam kaitan epistemology keislaman, apakah proposisi yang dikeluarkan oleh orang yang bersangkutan dapat diterima atau tidak.

D. Puasa Asyura
Pada tanggal 10 Muharram, banyak Muslim yang sholeh melakukan puasa asyura (asyura artinya tanggal 10 muharam). Mereka ingin mencontih Rasululloh SAW yang berpuasa pada hari itu. Saya kutipkan salah satu hadist tentang puasa asyura dari shahih bukhari “Dari Ibnu Abbas, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, ia melihat orang yahudi berpuasa pada hari asyura. Nabi bartanya: “Apakah ini.?” Orang-orang Yahudi berkata: “Ini hari yang baik, pada hari inilah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa berpuasa pada hari itu.” Kata Nabi: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Maka Nabi melakukan puasa dan menyuruh orang untuk melakukannya juga.
Bukhari menyatakan bahwa hadist ini shahih. Tetapi marilah kita teliti dengan ilmu hadist dan kritik histories. Segera kita akan menemukan beberapa hal yang menjanggal. Pertama, sahabat yang meriwayatkan hadist ini adalah Abdullah Ibnu ‘Abbas. Menurut para penulis biografinya, Ibnu ‘Abbas lahir tiga tahun sebelum Hijrah. Ia hijjrah ke Madinah pada tahun ke tujuh Hijri. Jadi, ketika Nabi tiba di Madinah, Ibnu ‘Abbas masih di Makkah dan belum menyelesaikan masa balitanya.
Lantas darimana sahabat Ibnu ‘Abbas itu mengetahui peristiwa itu? Mungkin dari sahabat lain, tetapi ia tidak menyebutkan siapa sahabat itu. Dalam ilmu hadist, perilaku seperti itu disebut tadlis dan pelakunya disebut mudallis.
Kedua, bandingkan riwayat ini dengan riwayat-riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas. Menurut Muslin, diriwayatkan bahwa Nabi bermaksud berpuasa pada hari asyura tetapi tidak kesampaian. Dia keburu meninggal dunia. Masih menurut Muslim, dan juga dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi sempat melakukannya setahun sebelum dia wafat. Bila kita bandingkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas ini dengan riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain, kita akan menemukan lebih banyak pertentangan. Menurut Siti Aisyah, Nabi sudah melkukan puasa asyura sejak zaman jahiliyah. Nabi meninggalkan puasa asyura sejak setelah turun perintah puasa Ramadhan (Shahih Bukhari). Menurut Mu’awiyah, Nabi memerintahkan puasa asyura pada waktu jahi wada’ (Shahih Bukhari).
Ketiga, Nabi menemukan orang Yahudi berpuasa Asyura ketika Nabi tiba di Madinah. Semua ahli sejarah sepakat bahwa Nabi tiba di Madinah pada bulan rabi’ul awwal. Lantas bagaimana mungkin orang berpuasa 10 Muharram pada 12 Rabi’ul awwal? Mungkinkah orang sholat Jum’at pada hari senin.?
Keempat, diriwayatkan bahwa Nabi meniru tradisi orang Yahudi untuk melakukan puasa asyura. Bukankah Nabi berulang-ulang mengingatkan pada umatnya untuk tidak meniru tradasi Yahudi dan Nashara? “Bedakan dirimu dari orang Yahudi,” kata Rasululloh SAW. Begitu seringnya Nabi SAW mengingatkan umat Islam waktu itu untuk berbeda dengan Yahudi, samapai seorang Yahudi berkata: “Lelaki itu (Muhammad) tidak ingin membiarkan satu pun tradisi kita yang tidak ditentangnya.” (Lihat Sirah al-Halabiyah, 2:115).
Kelima, bilakita mempelajari ilmu perbandingan agama, kita tidak akan menemukan tradisi puasa asyura pada agama Yahudi.puasa asyura hanya dikenal oleh sebagian umat Islam, berdsarkan riwayat yang otentitas dan validitasnya sangat kita ragukan itu.
Berdsarkan penelitian di atas, banyak diantara kita dengan setia menjalankan sunnah Rasululloh yang tidak benar. Bila penelitian historis ini kita lanjutkan, kita akan menemukan bahwa puasa ayura adalah hasil dari rekayasa politik bani Umayyah. Yazid bin Mu’awiyah berhasil membantai keluarga Rasululloh di Karbala pada 10 Muharram. Bagi para pengikut keluarga Nabi, hari ini adalah hari duka cita, hari berkabung, bukan hari bersyukur. Lain halnya dengan apa yang dilakukan oleh Bani Umayyah, hari itu dijadikan sebagai hari bersyukur. Salah satu bentuk ungkapan syukurnya ialah menjalankan puasa. Di samping riwayat-riwayat di tambahkan juga riwayat-riwayat lain. Konon, pada 10 Muharram Allah menyelamatkan Musa dari kejaran Fir’aun, menyelamatkan Nabi Nuh dari air bah, menyelamatkan Ibrahim dari api raja Namrud dan lain sebagainya.
Jadi sangat jelas sekali bahwa takdil atau verifikasi, kita hanya bersikap positif terhadap proposisi yang dikeluarkan dari pelaku. Sedangkan jarh atau falsifikasi, kita mencoba untuk mencari kesalahan yang ada dengan berbagai analisis yang digunakan seperti contoh di atas.














BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sinyalemen epistemologi keilmuan dalam sinkronisasi dua komponen yang berbeda yang sedikit dipaksakan akan terasa agak aneh, namun hal itu tidak menutup kemungkinan karena tendensi atas hal yang berkaitan dengan epistemology keilmuan. Berangkat dari suatu asumsi pertama yang akhirnya beranjak pada penelitian yang akhirnya menjadi suatu teori yang cukup layak untuk digunakan.
Mengenai prinsip verifikasi ini menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan.
Verifikasi data dimaksudkan untuk mengumpulkan, mengola, dan menganaslisis data untuk menguji hipotesis. Apabila hipotesis telah diuji melalui fakta-fata empiris maka jawaban mencapai tingkat definitif, dan kebenaran ilmiahnya dapat dipertanggung jawabkan manakala telah melalui prosedur yang benar.
Sementara dalam perbandingannya, takdil yaitu pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dobit.
Suatu teori baru akan diterima kalau sudah terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang telah ada sebelumnya. Pengujian kedua kekuatan teori tersebut dilakukan melalui suatu tes empiris, yaitu tes memfalsifikasi. Jika dalam tes tersebut suatu teori terbukti salah, maka teori tersebut akan dianggap batal, sedangkan teori yang bertahan dan lolos dalam tes tersebut akan diterima sampai ditemukannya cara pengujian yang lebih ketat.
Sementara perbandingan epistemologinya, jarh yaitu kecacatan pada perawi hadist karena sesuatu yang dapat merusak keadilan dan kedobitannya. Yang antara keduanya sama secara esensial yang terlepas dari tendensi atau aturan yang terlalu melekat dari berbagai aspek.

DAFTAR PUSTAKA

http://jakarta.unesco.or.id/localrad/bahasa/VERIFIKASI.htm
http://sites.google.com/site/jesuismouslem/hadis/jarh/kaedah
http://sites.google.com/site/jesuismouslem/hadis/jarh/perawi
at-Tokhan, Mahmud, 1977, Taisir Mustolakhaul Hadist. Indonesia Jiddah.
C.Verhak. 1995. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mudasir, 2007. Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia.
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu. Jogjakarta: PB Blukar
Rokhim, Khusni, 1999. Ulumul Hadist, Jakarta: Departemen Agama RI.
Sudarsono. 1993. Ilmu Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta
Rakhmat, Jalaluddin, 1993. Islam Aktual, Bandung: Mizan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar