Ibnu Sina

IBNU SINA
Cendekiawan Islam
Zaman Kegemilangan Islam



Nama: Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibni Sina
Gelaran: Bapak Sejarah Sains
Lahir: sekitar 980 M atau 370 H

Wafat: 1037 M atau 428 H

Mazhab: Sinawi
Etnik: Tajik

Rantau: Parsi

Bidang: Perubatan, Astronomi, Etika, Logik, Matematik, Metafizik, Falsafah, Fizik, Sains,teologi

Karya: Alqanun fi altibb, Kitab al-Shifa, Al Najat

Pengaruh: Omar Khayyám, Ibnu Rushd, Thomas Aquinas, Albertus Magnus

Diilhami: Aristotle, Al-Farabi


Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal sangat unik, diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh suatu penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ibnu Sina adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.

A. Geografi Ibnu Sina
IBNU SINA yang lebih dikenali di Barat dengan nama Avicenna mempunyai nama lengkap Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara). Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, suatu wilayah di kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga anak, Ali, Husaein (Ibnu Sina), dan Muhammad. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari Abu Abdullah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Aristoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi. Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu. Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua-duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, karena buku itu selain lengkap, juga disusun secara sistematis.
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya. Dia jugalah yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan-peperangan yang meraja-lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”
Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1. As-Syifa’ (The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).
Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
1.1 Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani kemudiannya.
1.2 Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
1.3 Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen - elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.
1.4 Metafisika. Bagian falsafah, pokok pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan.
Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di pelbagai sekolah tinggi.
2. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
5. Al-Musiqa. Buku tentang musik.
6. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
8. Danesh Nameh. Buku filsafat.
9. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.
11. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
16. dan sebagainya.

B. Filsafat Jiwa Ibnu Sina
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengajukan beberapa argumentasi sebagai berikut:
(1) Argumen Psikofisi, (2) Argumen ‘Aku’ dan kesatuan fenomena psikologis, (3) Argumen kontinuitas, dan (4) Argumen manusia terbang di udara.
Untuk pembuktian yang pertama, Ibnu Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar, dan gerak tidak terpaksa. Gerakan yang tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah, ada juga yang menentang hukum alam, seperti manusia berjalan di kulit bumi ini. Menurut hukum alam, manusia harus diam di tempat karena mempunyai berat badan sama dengan benda padat. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak tertentu di luar unsur tubuh itu sendiri. Inilah yang dinamakan Jiwa oleh Ibnu Sina. Untuk pembuktian yang kedua, Ibnu Sina membedakan aku sebagai jiwa, dan badan sebagai alat. Ketika seseorang berkata, dia akan tidur, maksudnya ia bukan pergi ke tempat tidur atau memejamkan mata dan tidak menggerakkan anggota tubuh, tetapi adalah seluruh pribadi yang merupakan aku. Aku dalam pandangan Ibnu Sina bukan fenomena fisik, melainkan adalah jiwa dan kekuatannya. Kekuatan jiwa itu menimbulkan fenomena yang berbeda-beda, seperti benci-cinta, susah-gembira, menolak-menerima. Semua fenomena ini merupakan satu kesatuan, sebab jika saling bermusuhan tidak akan menimbulkan keharmonisan. Karena itu, perlu jiwa untuk mempersatukan fenomena jiwa yang berbeda tersebut supaya timbul keserasian. Kalau kesatuan ini lemah, lemah juga kehidupan, dan begitu juga sebaliknya. Bila kesatuan fenomena psikologis mengharuskan adanya asal sebagai sumbernya, tentu tidak bisa dielakkan bahwa jiwa itu ada. Dalam pembuktian ketiga, Ibnu Sina mengatakan bahwa hidup rohaniah hari ini berkaitan dengan hidup kita kemarin tanpa ada tidur atau kekosongan. Jadi, hidup itu adalah berubah dalam satu untaian yang tidak putus-putus. Untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus-putus adalah dengan daya manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik merupakan tingkah laku maupun merupakan hal-ihwal di sekitarnya. Sebagai contoh, Ibnu Sina membandingkan antara jiwa dan badan. Jika badan tidak diberi makan dalam waktu tertentu akan berkurang beratnya karena badan mengalami penyusutan, sedangkan jiwa tetap tidak berubah. Dengan demikian, jiwa berbeda dengan badan. Adapun pembuktian yang keempat, Ibnu Sina mengatakan: Andaikata ada seorang yang lahir dengan dibekali kekuatan dan jasmani yang sempurna kemudian ia menutup matanya sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa yang disekelilingnya. Kemudian ia diletakkan di udara dan diatur supaya tidak terjadi benturan dengan apa yang dalam di sekelilingnya. Tanpa ragu-ragu orang tersebut akan mengatakan dirinya ada.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (النفس النباتية) dengan daya-daya: makan (الغاذية, nutrition), tumbuh (المنمية, growth), dan berkembang biak (المولدة, reproduction).
2. Jiwa binatang (النفس الحيوانة) dengan daya-daya:
a. Gerak (المحركة, locomotion), dan
b. Menangkap (المدركة, perception) dengan dua bagian; (1) Menangkap dari luar dengan panca indera, dan (2) menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam:
(i) Indera bersama (common sense) yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
(ii) Representasi (representation) yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
(iii) Imajinasi (imagination) yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi.
(iv) Estimasi (estimation) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi kambing dari srigala.
(v) Rekoleksi (recollection) yang menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh estimasi.
3. Jiwa Manusia dengan dua daya:
a. Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
b. Teoritis (thoretical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
(i). Akal Materil (material intellect) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
(ii). Akal Intelektual (Intellectus in habitu) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
(iii). Akal Aktuil yang telah dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
(iv). Akal Mustafid (acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini; akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif.

C. Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, imajinatif, keajaiban, dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial-politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tidak akan banyak berfaidah. Maka dari itu, Nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya Nabi-lah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.

D. Filsafat Wujud
Ibnu Sina dalam menentukan adanya Tuhan (Isbat wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetapi dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:
a. Wajib al-wujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
Lebih jauh Ibnu Sina membagi wajib al-wujud ke dalam wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua ialah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini, Allah termasuk pada yang pertama (wajib al-wujud lidzatihi la li sya’in akhar).
b. Mumkin al-wujud, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, boleh ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-wujud ini tidak dilihat dari segi esensinya, tidak mesti ada dan tidak mesti tidak ada karenanya ia disebut mumkin al-wujud bi dzatihi. Ia pun dapat pula dilihat dari sisi lainnya, sehingga disebut mumkin al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang ada, selain Allah.
c. Mumtani’ al-Wujud, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama, yakni wajib al-wujud. Jagad raya ini mumkin al-wujud yang memerlukan suatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) kita tidak memerlukan pada perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap, dan sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan al-Qur’an dalam surat al-Fushshilat 53 sebagai berikut:
       •             
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.
Dari paparan di atas kelihatan perbedaan dalil antara Ibnu Sina dan ahli kalam pada umumnya. Ibnu Sina dalam menetapkan adanya Allah mengemukakan adanya dalil antologi yang sebelumnya telah dikemukakan al-Farabi. Sementara itu, ahli kalam biasanya mengemukakan dalil kosmologi dengan berpijak pada konsep alam baharu. Namun, dalil yang disebut terakhir ini sekalipun tidak memuaskan para filosof Muslim, tetapi menurut Ibnu Sina, sangat cocok ditujukan bagi peringkat awam.
Akan tetapi, bila diamati konsep Ibnu Sina di atas tentang wajib al-wujud min ghoirihi, mumkin wujud bi dzatihi terasa agak membingungkan karena dalam konsep al-wajib terdapat unsur mungkin (imkan). Padahal wajib adalah lawan dari mungkin. Seharusnya sesuatu itu wajib ada dilihat dari dimensi tertentu, mungkin ada dilihat dari dimensi tertentu, mungkin ada dilihat dari dimensi lain. Jika tidak demikian, boleh jadi al-mumkin fi dzatihi berubah menjadi wajib dari segi agentnya (fa’ilihi). Hal ini mustahil terjadi, unsur mugkin tidak akan berubah menjadi unsur wajib. Atas dasar ini, terkesan Ibnu Sina masih banyak terpengaruh dengan premis-premis kaum teologi. Sebenarnya hal ini lumrah terjadi, orang datang belakangan terpengaruh dengan pendahulunya.
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana al-Farabi, Ibnu Sina juga mensucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas. Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal (kully) di alam dan Ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir Ibnu Sina ini dimaksudkan bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara tidak langung, yakni melalui zat-Nya sebagai sebab adanya alam. Dengan istilah lain, pengetahuan Allah tentang yang parsial melaluin sebab akibat yang terakhir kepada sebab yang pertama, yakni zat Allah. Dari pendapatnya ini, Ibnu Sina berusaha mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang Mahasempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia.




DAFTAR PUSTAKA
Dauly, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama Semarang, 1993.
Munawir, Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Syarif, M.M., Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1994.
Zar, Sirajidddin. Filsafa Islam, filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Gafindo Persada, 2004.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar