Pada ranah sejarahnya, model atau pola pendidikan yang dilakukan oleh Rosulullah dengan cara sembunyi perorangan kemudian secara terang-terangan, dan lantas pendidikan itu dilakukan secara umum yang tidak terlepas dari perjalanan panjang dalam dakwah Nabi. Adapun pola pendidikan yang dilakukan Rasulullah SAW antara lain :
Pola ceramah, menyampaikan wahyu yang baru diterima dan memberikan penjelasan-penjelasan serta keterangan-keterangannya.
Pola dialog, misalnya dialog Rasulullah dengan para sahabatnya.
Pola, misalnya ketika para sahabat bertanya tentang suatu hukum, kemudian Rasul menjawab.
Pola perupamaan, misalnya orang mukmin itu laksana 1 tubuh, bila salah satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya.
Pola kisah misalnya kisah isra’miraj.
Pola pembiasaan, misalnya Nabi membiasakan sholat berjama’ah
Pola hafalan, misalnya para sahabat dianjurkan untuk menjaga al-Qur’an dengan menghafalnya.
Jadi, pada dasarnya pola pendidikan yang dilakukan oleh Nabi itu tidak terlepas bagaimana pengaruh al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi yang berangsur-angsur yang memiliki retorika-retorika yang berbeda-beda dalam bagaimana pola rasul mengajar. Di samping itu, setelah Rasul wafat, pola pendidikan yang dilalakukan oleh Rasul dilanjutkan oleh generasi selanjutnya, yaitu generasi Khulafaur Rasyidin yang dapat di petakan pengajaran apa saja yang menjadi sentralnya yang akan diuraikan dibawah ini.
Pada masa Khalifah-khalifah Rasyidin sebenarnya telah ada tingkat pengajaran. Tingkat pertama adalah Kuttab, tempat anak-anak belajar menulis dan membaca atau menghafal al-Qur'an serta belajar pokok-pokok Agama Islam. Setelah tamat Al-Qur'an mereka meneruskan pelajaran ke masjid. Pelajaran di masjid itu terdiri dari tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah gurunya belumlah ulama besar. Sedangkan pada tingkat tingginya gurunya ulama yang dalam ilmunya dan masyhur ke'alimannya dan kesalahannya.
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mulanya adalah dalam keadaan sederhana, yaitu:
a) Belajar membaca dan menulis; b) Membaca Al-Qur'an dan menghafalnya; c) Belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudlu, shalat dan puasa.
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, hal-hal yang berkaitan yang telah dilakukan oleh Abu Bakar diperbaharui oleh Umar, dengan kata lain yang dilakukan Umar tidak hanya berorientasi pada aspek-aspek motorik peserta didik (seperti 3 hal yang disebutkan di atas) melainkan juga pada aspek efektivitas kebugaran raga (jasmani yang tegar, sehat, dan energik) dan di samping itu hal-hal yang berkaitan dengan wawasan intelektual yang dapat mengembangkan dasar epistemologi keislaman, sehingga dari sini beliau instruksikan kepada penduduk-penduduk kota, supaya diajarkan kepada anak-anak:
a) Berenang; b) Mengendarai kuda; c) Memanah; d) Membaca dan menghafal syair-syair mudah dan peribahasa.
Pada masa setelah kepemimpinan Umar, yaitu pada kepemimpinan kholifah Usman dan Ali, orientasi pola pendidikan tidak mengalami perubahan sama sekali karena dianggap sudah cukup atau sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu. Namun yang menjadi perbedaan antara Umar dengan Usman adalah kebijakan Usman yang membolehkan ulama’-ulama’ berada di luar Madinah untuk mengajar, sementara pada masa Kholifah Umar, para ulama tidak diperbolehkan untuk keluar dari negara.
Pada masa Bani Umayyah, pola pendidikan bersifat desentralisasi, tidak memiliki tingkatan dan standar umum. Adapun bentuk pendidikan pada dinasti Umayyah dapat dipaparkan diantaranya sebagai berikut:
1. Pendidikan Istana; Pendidikan tidak hanya pengajaran tingkat rendah, tetapi berlanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid, dan madrasah. Guru istana dinamakan dengan Muaddid. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengatahuan bahkan muaddib harus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak.
2. Nasihat para pembesar kepada para Muaddib. Hal ini dapat dicontohkan pada pembesar Hisyam Ibn Abdul Malik kepada guru anaknya Sulaiman al-Kalby.
3. Badiah. Dengan adanya Arabisasi oleh kholifah Malik bin Marwan, maka muncullah istilah badiah, yaitu dusun badui di padang sahara yang masih fasih bahasa arabnya dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab itu. Akibat dari arabisasi itu, muncullah ilmu qawaid dan cabang ilmu lainnya untuk mempelahjari bahasa arab.
4. Perpustakaan. Hal ini dapat dicontohkan pada al-Hakam ibn Nasir (250 H/961) yang mendirikan perpustakaan yang sangat besar di Qurtubah.
5. Bamaristan (Rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta tempat studi kedokteran).
Sedikit berkembang dari pola pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin yang sangat sentral ke desentralisasi yang mana telah diuraikan di atas yang mungkin karena banyak faktor yang mengharuskan menggunakan pola pendidikan seperti itu, di samping terdapat aspek positif dari perubahan pola pendidikan tersebut, terdapat pula aspek yang sangat disayangkan menyangkut pola itu, tidak memiliki sistematika pembelajaran yang tertata rapi dan akurat, sehingga bisa jadi ilmu yang didapati tumpang tidih tidak mengerti mana yang seharusnya didahulukan. Berlanjut pada pola pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah yang akan diuraikan di bawah ini.
Metode pendidikan yang dipakai pada masa dinasti Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
1) Metode Lisan; 2) Metode Hafalan; 3) Metode Tulisan. Dari ketiga metode pendidikan di sini, penulis hanya akan membahas dua metode awal karena menurut penulis, metode ketiga tidak ubahnya masuk dalam kategori yang terdapat pada penjelasan metode pertama. Di bawah ini akan diuraikan bagaimana maksud metode tersebut;
1. Metode Lisan
Metode ini dapat berupa dikte, ceramah, qira`ah, dan dapat berupa diskusi. Dikte (imla) adalah metode untuk menyampaikan pengetahuan yang dianggap baik dan aman sehingga pelajar mempunyai catatan yang dapat membantunya terutama bagi yang daya ingatnya tidak kuat. Metode ceramah (al-asma`), yaitu guru membacakan bukunya atau menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya.
Pada saat tertentu guru memberi kesempatan kepada murid untuk menulis dan bertanya. Metode qira`ah (membaca) biasanya digunakan untuk membaca. Sedangkan diskusi merupakan metode pengajaran dalam pendidikan Islam dengan cara perdebatan.
2. Metode Hafalan
Metode ini dilakukan oleh murid dengan cara membaca berulang-ulang sehingga pelajaran melekat di benak mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi seorang murid harus membaca pelajaran berulang kali sampai ia menghafalnya. Dalam proses selanjutnya, murid mengeluarkan kembali pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam suatu diskusi dia dapat merespon, mematahkan lawan, atau memunculkan ide baru.
Jika diamati dengan seksama, pola pendidikan yang ada pada masa Abbasiyah masih sangat menjunjung tinggi muatan tradisi setempat termasuk pada masa pra-Islam yang mana lebih banyak terfokus dengan olah kekuatan pikiran dalam merekam apa saja yang dipelajari. Jadi sangat tidak mengherankan bila pada saat itu banyak sekali manusia-manusia dengan daya rekam ilmu pengetahuan yang sangat banyak.
Di samping itu, pola pendidikan yang sangat sederhana itu tidak dapat disalahkan dengan alasan tidak menjadikan peserta didik sebagai salah satu subyek melainkan obyek semata. Anggapan semacam ini perlu diluruskan karena hanya ditinjau dari aspek kualitas tanpa melihat aspek kebutuhan, tuntutan dan media pada masa itu. Boleh dibilang bahwa pola pendidikan pada saat Abbasiyah sangat menyena pada ranah model diskusi dari hasil sebuah bentuk tradisi hafalan yang menghasilkan generasi-generasi yang tidak hanya mampu membual tapi berargumen dengan dasar pengetahuan yang sudah berada di dalam pikiran yang luas yang telah diuji lewat seorang guru yang benar-benar kompeten dalam bidangnya. Berlanjut dari masa kejayaan Islam yang paling agung yang kurang lebih selama yang melahirkan sarjana-sarjana yang berkualitas. Dari untaian kemegahan tsaqofah islamiyah pada saat itu, para generasi selanjutnya terserang penyakit mengurung diri atau beruzlah dari akibat tasawuf yang membabi buta sehingga peradaban yang lama dibangun, perlahan runtuh.
Keruntuhan tsaqofah islamiyah tersebut dapat dilacak sebabnya, kenapa hal itu bisa terjadi terhadap peradaban Islam yang sangat menjulang tinggi yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya.
Kehancuran total yang dialami oleh Baghdad sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam kala itu, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari pusat pendidikan Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi dalam kehidupan batin dan spiritual masih tetap exist.
Adapun untuk lebih jelasnya, akan dipaparkan kondisi pendidikan Islam pada masa keruntuhan ini:
• Kurangnya perhatian para pemimpin (Khalifah) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan ulama, sehingga perkembangan intelektual agak tersendat-sendat. Para pemimpin terlalu sibuk memikirkan pemerintahan.
• Terbakarnya perpustakaan serta lembaga pendidikan yang ada, menyebabkan banyaknya khazanah intelektual Islam yang hilang dan hangus terbakar .
• Suasana gelap dan mencekam yang dialami oleh dunia Islam benar-benar memprihatinkan. Dan pada saat yang bersamaan, bangsa Eropa justru sedang mencapai kejayaan sebagai pengaruh dari berkembangnya paham Renaissance, dan sibuk melakukan misi penjajahan ke negara-negara Islam. Oleh karena itu, banyak umat Islam yang frustasi dan akhirnya berusaha menjauhi kehidupan duniawi, termasuk meninggalkan kehidupan intelektual. Mereka lebih memilih menutup diri dan menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Akhirnya perkembangan ilmu pendidikan menjadi stagnan.
• Kehidupan sufi berkembang pesat. Madrasah madrasah yang ada berkembang menjadi Zawiyat-zawiyat untuk mengadakan riyadhah di bawah bimbingan dan otoritas seorang Syaikh yang akhirnya berkembang menjadi lembaga tarekat. Dan di madrasah-madrasah yang masih tersisa itu, hampir seluruh kurikulum diisi dengan karya-karya sufistik.
• Berkembangnya praktik bid’ah dan khurafat. Hal itu ditandai dengan banyaknya umat Islam yang mengkultuskan posisi seorang Syaikh dalam suatu tarekat, sampai-sampai ada yang berdoa minta di kuburan seorang syaikh.
• Dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taklid buta di kalangan umat. Dengan sikap hidup yang statis itu, tidak ada penemuan-penemuan baru dalam bidang fikih. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab lama dianggap sebagai sesuatu yang baku, mantap, benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya, sehingga memunculkan pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.
Sudah lengkaplah factor-faktor terjadi keruntuhan tsaqofah Islamiyah yang di uraiakan di atas, mulai dari pemimpim yang hanya mengurusi kancah perpolitikan tanpa mengikutsertakan pendidikan yang mana seharusnya menjadi penuntun dalam langkah kehidupan. Dari kesalahan awal ini, berimbas pada suatu kemalasan berpikir karena pendidikan tidak ubahnya hanya menjadi sebuah nilai tambahan bukan nilai penting dari kualitas manusia. Tak disadari, diseberang peradaban Islam yang sudah keropos, bangsa-bangsa Eropa tidak gencar-gencarnya melakukan renaissance, yang pada akhirnya kekalahan yang didapati oleh orang Islam yang berujung pengucilan diri (bertasawuf) ke tempat-tempat asing dari kekalahan peradaban Islam terhadap bangsa Eropa. Bentuk pengucilan diri sebenarnya bukan karena ingin menjadikan diri lebih dekat kepada Allah tetapi merupakan sebuah manifestasi bentuk protes terhadap ketidakmampuan melawan bangsa Eropa yang telah menjungkirbalikkan peradaban yang ada.
Baju yang sudah sobek-sobek dan usang bila tambal, akan tetap saja tidak akan mampu memperbaiki kualitas baju usang tersebut, hal semacam ini juga terjadi pada masa kemunduran Islam yang mana pendidikan dari berbagai aspeknya tidak menciptakan produk baru dari sebuah pemikiran, sehingga yang ada hanya menerima apa yang telah ada dari generasi sebelumnya dan masih digunakan sebagai pedoman dalam kebijakan hukum akan dirumuskan atau diambil. Stagnansi pada saat ini telah membudaya, sehingga yang ada hanyalah kekaguman terhadap kakek buyut seraya berkata “Oh…itu ayahku yang mencetuskan.”
(2). Pada garis besarnya terjadi 3 pola pemikiran pembaharuan pendidikan islam. Dan ke tiga pola tersebut adalah:
1. Pola pembaharuan pendidikan islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Eropa. Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan yang di alami oleh Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang, tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia islam.
2. Yang berorientasi dan bertujuan utuk pemurnian ajaran islam kembali,
erakan pembaharuan pendidikan islam yang berorientasi pada sumber islam yang murni. Pandangan ini berpendapat bahwa islam sendiri merupakan sumber dari kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modern.dan
3. Yang beorientasi pada kekayaan dan bersumber kebudayaan bangsa masing-masing dan yang bersifat Nasionalisme. Usaha pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada Nasonalisme. Bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan rasa Nasionalisme kemudian yang menimbulkan kekuatan-kekuatan plitik yang berdiri sendiri.keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing.
Dari tiga bentuk dilema usaha pembaruan pendidikan islam di atas yang acap kali tidak konsisten karena banyak faktor, maka secara pribadi penulis lebih condong terhadap usaha pembaruan yang diwakili oleh mereka-mereka yang berusaha untuk berorientasi pada sumber Islam murni. Alasan yang paling mendasar dari penulis adalah karena sumber-sumber Islam tidak hanya sarat dengan nilai-nilai keagamaan tetapi banyak sekali yang mengandung hal-hal yang menuntut aspek-aspek rasionalis yang mungkin kalau kita lihat lebih jauh, maka apa yang telah dikatakan oleh beberapa ahli bahwa sumber murni Islam itu lebih dari Quantum Jumping yang menembus batas-batas sistematika berpikir yang dibuat manusia.
Di samping itu, dalam khasanah keilmuan, di dalam sumber murni Islam sangat sesuai dan banyak relevansinya dengan dunia kontemporer sehingga kaum Muslimin tidak perlu terlalu repot untuk mencari scientic di dunia barat yang walaupun banyak sekali masyarakat dengan senyum sumringah mengatakan bahwa model scientic di barat lebih maju, namun tidak menelitik lebih dalam esensi keilmuan yang sesungguhnya di dalam sumber murni Islam.
Adapun dari apa yang telah diasumsikan bahwa pembaharuan yang sesuai dengan ajaran Islam adalah dari sumber murni Islam tu sendiri, lantas bagaimana hubungannya dengan pola pendidikan Islam yang ada di Indonesia? Bila jika kita melihat pola pendidikan pada saat ini, di era modern, maka kita tidak akan menemukan sedikit pun hubungan dengan pola pembaharuan melalui sumber murni Islam karena alasan yang paling mendasar bahwa di Indonesia sudah menjadi negara yang sangat mejemuk, di satu sisi dan di sisi lain karena bebitu banyak tuntutan zaman yang mengharuskan harus melangkah pada aspek-aspek yang berbeda. Namun bila kita melihat kembali lintasan sejarah yang mewarnai warna dari perjalanan sejarah di Indonesia, maka kita akan dengan tegas menemukan terdapat relevansi yang sangat erat antara proses pembaruan yang berlandaskan sumber murni Islam atau dengan kata lain menggalakkan kembali apa yang telah disinyalir oleh Abduh yang merupakan tokoh pembaharu yang ada di Mesir.
Lebih lanjut dari proses usaha pembaruan yang ada di Indonesia, yaitu salah satunya ialah terdapat usaha mencontoh pola pembaruan yang ada di Mesir dengan melalui membawa gagasan-gagasan pembaruan oleh salah satu anak Bangsawan di Jawa Tengah, yaitu Ahmad Dahlan yang merupakan pionir organisasi Muhammdiyah. Dari sini, terdapat hubungan yang sangat erat antara para tokoh yang ada di Indonesia dengan membawa inspirasi-inspirasi dari Mesir yang dijadikan sebagai arah dari usaha pemberontakan atau pembaruan di Indonesia.
Karakteristik Sejarah Pendidikan Islam dari Nabi Sampai Masa Kemunduran
18.50 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar