BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dominasi pengaruh terhadap perkembangan seseorang tidak selalu dapat dilihat secara langsung dengan kasat mata karena kadangkala pengaruh yang ditanamkan tidak menancap dalam mempengaruhi pada psikis seseorang dan boleh jadi karena ketidakselarasan dengan nilai sosial sekitar yang digeluti yang secara tidak langsung dan sadar telah membentuk karakteristik dalam cara pandang.
Banyak faktor yang menyebabkan existnya diri seseorang yang tidak dapat diraba atau dipengaruhi dari luar dan begitu juga sebaliknya, lebih mudahnya untuk mempengaruhi seseorang.
Hal ini dapat dicontohkan pada existnya keyakinan Ibrahim terhadap Tuhan yang Esa, yang tidak ada sekutu atau partner bagi-Nya, bukan kepada berhala-berhala yang diyakini oleh masyarakat pada saat itu, baik raja Namrud sendiri maupun rakyatnya. Kuatnya faktor endogen yang ada pada diri Ibrahim tersebut tidak dapat dielakkan apalagi dinafikan dari dalam putaran rotasi sejarah, namun banyak juga masyarakat pada masa Ibrahim yang lebih mudah terpengaruh karena faktor eksogen.
Dari contoh lintasan sejarah Ibrahim di atas, manakah yang lebih unggul mendominasi antara faktor endogen dan eksogen? Atau kedua-duanya bisa saling melengkapi dengan mensinkronisasikan dua unsur tersebut yang sering disebut dengan persesuaian atau kovergensi.
Oleh karena itu, di bawah ini akan ditulis rumusan masalah yang menyangkut faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan dan akan dilanjutkan setelah rumusan masalah, yaitu pembahasan dari unsur-unsur apa saja yang ada pada rumusan masalah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa nativisme itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap faktor perkembangan?
2. Apa empirisme itu dan bagaimana pengaruhnnya terhadap faktor perkembangan?
3. dan bagaimana teori konvergensi itu sendiri?
BAB II
PEMBAHASAN
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Sebenarnya, sudah beberapa abad lalu para ilmuwan dan para pemikir memperhatikan seluk-beluk kehidupan anak, khususnya dari sudut perkembangannya, untuk memengaruhi berbagai proses perkembangan, mencapai kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup yang didambakan. Anak harus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang matang, yang sanggup dan mampu mengurus dirinya sendiri, dan tidak selalu bergantung pada orang lain, atau bahkan menimbulkan masalah bagi keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Sejak abad pertengahan, aspek moral dan pendidikan keagamaan, menjadi pusat perhatian dan menjadi tujuan umum dari pendidikan. Pandangan terhadap anak sebagai pribadi yang masih murni, jauh dari unsur-unsur yang mendorong anak pada perbuatan-perbuatan yang tergolong dosa dan tidak bermoral, banyak dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas keagamaan. Para tokoh agama dan kaum cendikiawan tentang masalah kemanusiaan, banyak mendorong dan mempengaruhi para orang tua untuk memperlakukan anak secara berbeda dengan orang dewasa. Para teolog, dokter, filsuf, dan ahli pendidikan memberikan pandangan mengenai anak dan latar belakang perkembanganya, serta pengaruh-pengaruh keturunan dan lingkungan hidup teerhadap kejiwaan anak.
Memasuki akhir abad ke-17, seorang filsuf bernama John Locke mengemukakan bahwa pengalaman dan pendidikan merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan kepribadian anak.
Meskipun dewasa ini sudah menjadi keyakinan umum bahwa setiap anak manusia perlu mendapatkan pendidikan, sekedar untuk menjadi bahan perbandingan, di sini dikemukakan teori-teori yang memberikan berbagai pandangan, baik yang menolak maupun yang menerima adanya pengaruh pendidikan tersebut.
Telah sekian lama para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi, dan lain-lain memikirkan dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan: sebetulnya, perkembangan manusia itu bergantung pada pembawaan ataukah pada lingkungan? Atau dengan kata lain, dalam perkembangan anak hingga menjadi dewasa, faktor-faktor yang mempengaruhi itu, yang dibawa dari keturunan (hereditas) ataukah pengaruh lingkungan? Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu dikemukakan di sini andanya beberapa pendapat dari berbagai aliran.
1. Aliran Nativisme
Nativisme merupakan kata dasar dari bahasa Latin, natus yang artinya lahir atau nativus yang mempunyai arti kelahiran, pembawaan. Nativisme (nativism) merupakan sebuah doktrin yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang filosof Jerman. Aliran filsafat nativisme konon dijuluki sebagai aliran pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan “kacamata hitam.” Mengapa begitu? Karena para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh pembawaannya.
Aliran nativisme mengemukakan bahwa manusia yang baru dilahirkan telah memiliki bakat dan pembawaan, baik karena berasal dari keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian. Manakala pembawaannya itu baik, baik pula anak itu kelak. Begitu pula sebaliknya, andaikata anak itu berpembawaan buruk, buruk pula pada masa pendewasaannya. Oleh karena itu, menurut aliran ini, pendidikan tidak dapat diubah dan senantiasa berkembang dengan sendirinya. Pendidikan, pengalaman atau segala pengaruh dari luar dianggap tak berdaya mengubah kekuatan-kekuatan yang dibawa sejak lahir atau pembawaan, dengan kata lain, yakni tidak berpengaruh apa-apa.
Dalam ilmu pendidikan, pandangan seperti ini disebut “pesimisme pedagogis”. Aliran ini disebut pula dengan Biologisme, karena mementingkan kehidupan individu saja, tanpa memperhatikan pengaruh-pengaruh dari luar. Di samping itu, aliran ini juga disebut dengan Negativisme, karena serba menafikan atau menegatifkan segala yang datang dari luar.
Meskipun teori ini dikatakan sebagai teori kuno, pengaruhnya sangat besar sampai abad modern ini. Dan ini, menurut beberapa literatur, ternyata dimulai dari seseorang penulis kurang kebih tahun 1900, Ellen Key, dalam bukunya De Eeuw van Het Kind (abad anak), yang menulis, antara lain, bahwa “Bapak ataupun Ibu tidak boleh memberikan peraturan kepada si anak, seperti juga mereka tidak berkah berkuasa mengubah peredaran bintang.” Sekolah, dikatakannya, tidak lain daripada pembunuhan jiwa anak yang mencekik pelik selaki pada sesuatu yang berharga bagi seseorang anak, yaitu kepribadiannya.
Jean Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filsuf Prancis, berpendapat bahwa semua orang ketika dilahirkan mempunyai dasar-dasar moral yang baik. Rousseau mempergunakan istilah “Noble Savage” untuk menerangkan segi-segi moral ini, yakni hal-hal mengenai baik atau buruk, benar atau salah, sebagai potensi pada anak dari kelahirannya. Pandangan Rousseau menjadi titik tolak dari pandangan yang menitikberatkan faktor dunia dalam atau faktor keturunan sebagai factor yang penting terhadap isi kejiwaan dan gambaran kepribadiaan seseorang. Karakteristik yang diperlihatkan seseorang bersifat intrinsik, dan karena itu, pandangan Rousseau digolongkan pada pandangan yang beraliran nativisme.
2. Aliran Empirisme
Aliran empirisme merupakan kebalikan dari aliran nativisme, dengan contoh utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah “The school of British Empiricism” (aliran empirisme Inggris).
Akan tetapi aliran ini lebih berpengaruh pada para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama “environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikolog bernama “environmental psychology” (psikolog lingkungan) yang relatif masih baru.
Aliran empirisme mengemukakan bahwa anak yang baru lahir laksana kertas kosong (blank slate/black table) yang putih bersih atau semacam tabula rasa (tabula = meja, rasa = lilin), yaitu meja yang bertutup lapisan lilin. Kertas putih bersih dapat ditulis dengan tinta warna apa pun, dan warna tulisannya akan sama dengan warna tinta tersebut. Begitu juga halnya dengan meja yang berlilin, dapat dicat dengan berwarna-warni, sebelum ditempelkan. anak diumpamakan bagaikan kertas putih yang bersih, sedangakan warna tinta, diumpamakan sebagai lingkungan (pendidikan) yang akan memberi pengaruh padanya; sudah pasti tidak mungkin tidak, pendidikan dapat memegang peranan penting dalam perkembangan anak, sedangkan bakat pembawaannya bisa ditutup dengan serapat-rapatnya oleh pendidikan itu.
Teori tabula rasa ini diperkenalkan oleh John Locke untuk mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan hidup terhadap perkembangan anak. Ketika dilahirkan, seorang anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan yang berasala dari lingkungan. Orang tua menjadi tokoh penting yang mengatur rangsangan-rangsangan dalam mengisi “secarik kertas” yang bersih ini.
Aliran ini disebut juga dengan Sosiologisme, karena sepenuhnya mementingkan atau menekankan pengaruh dari luar. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris terkenal dengan nama optimisme paedagogis. Kaum behavioris pun sependapat dengan kaum empiris.
Seorang filsuf barat, Immanuel Kant, yang memberikan dukungan terhadap aliran ini, pernah mengemukakan, ”Manusia dapat menjadi manusia hanya karena pendidikan.”Demikianlah, betapa besar pengaruh teori ini, sehingga tidak sedikit ahli didik yang menganutnya.
Jadi, kesimpulan aliran empirisme adalah perkembangan anak sepenuhnya tergantung pada faktor lingkungan; sedangkan faktor bakat, tidak ada pengaruhnya. Dasar pemikiran yang digunakan ialah bahwa pada waktu dilahirkan, anak dalam keadaan suci, bersih, seperti kertas putih yang belum ditulis, sehingga bisa ditulis menurut kehendak penulisnya.
3. Aliran Konvergensi
Aliran ini pada intinya merupakan perpaduan antara pandangan nativisme dan empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tokoh utama aliran konvergensi adalah Louis William Stern (1871-1938), seorang filsuf sekaligus sebagai psikolog Jerman.
Aliran filsafat yang dipeloporinya disebut “personalisme”, sebuah pemikiran filosofis yang sangat berpengaruh terhadap disiplin ilmu yang berkaitan dengan manusia di antara disiplin ilmu yang menggunakan asas personalisme adalah “personologi”, yang mengembangkan teori yang komprehensif (luas dan lengkap) mengenai kepribadian manusia.
Stern dan para pengikutnya, dalam menetapkan faktor yang memengaruhi perkembangan manusia, tidak hanya berpegang pada pembawaan saja, tetapi berpegang pada kedua faktor yang sama pentingnya itu. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Perkembangan yang sehat akan berkembang jika kombinsai dari fasilitas yang diberikan oleh lingkungan dan potensialitas kodrati anak bisa mendorong berfungsinya segenap kemampuan anak. Dan kondisi sosial menjadi sangat tidak sehat apabila segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi psiko-fisis anak.
Pengaruh yang paling besar selama perkembangan anak pada lima tahun pertama ialah pengaruh orang tuanya. Pengaruh tersebut lebih mencolok lagi jika terjadi “salah bentuk” pada diri anak akibat “salah tindak” orang tuanya.
Dengan demikian, keadaan ini dapat dinyatakan bahwa faktor pembawaan maupun pengaruh lingkungan yang berdiri sendiri tidak dapat menentukan secara mutlak dan bukan satu-satunya faktor yang menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang.
Dari bermacam-macam istilah teori perkembangan seperti tersebut di atas, teori yang dikemukakan oleh Louis William Stern-lah yang merupakan teori yang dapat diterima oleh para ahli pada umumnya. Sehingga teori yang dikemukakan Louis William Stern merupakan salah satu hukum perkembangan individu di samping adanya hukum-hukum perkembangan yang lain.
Di Indonesia sendiri, teori konvergensi inilah yang dapat diterima dan dijadikan pedoman seperti yang diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara:
“Tentang hubungan antara dasar dan keadaan ini menurut ilmu pendidikan ditetapkan adanya ‘konvergensi’ yang berarti bahwa kedua-duanya saling mempengaruhi, sehingga garis dasar keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu. Mengenai perlu tidaknya tuntutan di dalam tumbuhnya manusia, samalah keadaannya dengan soal perlu atau tidaknya pemeliharaan dalam tumbuhnya tanam-tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik pada dasarnya, jatuh pada tanah yang baik, banyak airnya dan mendapat sinar matahari, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan dan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu walaupun pada dasarnya baik, namun tidak dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan.
Sebaliknya, kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lain-lainnya yang tidak baik dasarnya.”
Jadi, baik faktor pembawaan (gen) dan lingkungan itu diperlukan bagi seseorang meski hanya sekedar ada di dunia. Faktor bawaan dan lingkungan bekerja sama untuk menghasilkan kecerdasan temperamen, tinggi badan, berat badan, kecakapan membaca, dan sebagainya. Tanpa gen, tidak akan ada perkembangan, tanpa lingkungan tidak ada pula perkembangan karena pengaruh lingkungan tergantung pada karakteristik genetik bawaan, jadi dapat kita katakan bahwa ke-2 faktor di atas saling berinteraksi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai penutup uraian ini, maka yang perlu disadari bahwa pengaruh pembawaan dan pengaruh lingkungan, atau dasar dan ajar, ataupun pengaruh kekuatan dari dalam (endogen) dan kekuatan dari luar (eksogen), memang tidak selalu tetap. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diingat; pertama, sifat pembawaan yang ada; kedua, sifat lingkungan, dan ketiga, intensitas lingkungan. Ada beberapa sifat dan ciri manusia yang benar-benar tegar terhadap pengaruh lingkungan. Sebaliknya, ada pula sifat-sifat yang nampaknya sangat plastis terhadap pengaruh lingkungan. Jadi, tegar atau plastisya bergantung terhadap sifat dan intensitas dari kedua faktor tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Abd. Rahman. 1993. Psikolog Pendidikan, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Ahmadi, Abu. 1992. Psikologi Umum, Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmadi, Abu dan Sholeh, Munawar. 2005. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka Cipta.
Sabour, Alex. 2003. Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia.
Santrock, John W. Adoleslescence (Perkembangan Remaja),
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
20.24 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar